Prahara Djipang

7.9K 180 34
                                    

Pagi cerah, sinar matahari menerobos celah-celah daun pohon Asem. Beberapa akar pohon menyembul ke permukaan tanah. Batangnya masih berdiri kokoh meski usianya telah ratusan tahun. Di bawah rindangnya, nampak beberapa prajurit berjalan mondar-mandir. Dua orang prajurit berjaga di depan pintu masuk. Raut wajah mereka tegang. Kontras sekali dengan suasana pagi yang berlimpah cahaya. Di sebelah Barat pohon besar terdapat bangunan utama serupa joglo. Tempat itu adalah keraton Djipang. Cahaya yang terpendar melalui embun dedaunan, seolah bermain silau di ujung tombak para prajurit jaga.

Suasana keraton tegang mencekam. Dua lelaki gagah berusia paruh baya seperti tengah berbisik membicarakan hal genting. Lelaki yang berparas bijaksana itu berkali-kali membungkukkan badan pertanda ia takzim dengan lawan bicaranya. Sedangkan lelaki berkumis lebat yang duduk di singgasana, menatap tajam sembari sesekali menggelengkan kepala.

"Tak usahlah Kang Mas mengikuti tantangan Sutawijaya. Dia hanya diperalat oleh Jaka Tingkir," lelaki berparas bijaksana meletakkan surat tantangan dari kertas kayu di atas meja batu di hadapannya. Ia kembali menunduk takzim. Dirapatkan kedua tangannya di dada. Kepalanya menunduk sebagai tanda penghormatan. Lelaki itu bernama Arya Mataram. Sedangkan lawan bicaranya adalah raja Djipang, Raden Arya Penangsang. Kedua lelaki gagah itu terikat hubungan darah. Arya Mataram lalu bersimpuh di bawah tahta kakaknya.

"Jika aku tak memenuhi tantangan ini, maka wibawa keraton Djipang ini menjadi taruhannya. Empat utusan yang aku kirim ke Hadiwijaya bahkan mendapat penghinaan. Mereka ditangkap atas tuduhan makar. Aku harus menyelesaikan urusan ini segera," jawab Arya Penangsang dari atas singgasana. Ia lalu bangkit menghampiri adiknya. Tangannya memberi isyarat agar Arya Mataram tak lagi bersimpuh. Lalu, dipeluknya lelaki yang selama ini menjadi adik, sahabat dan penasehatnya itu.

"Jika terjadi sesuatu terhadapku, engkau harus menyelamatkan diri. Garis keturunan Raden Sekar Seda Ing Lepen ini harus engkau lanjutkan. Aku perintahkan engkau dan keluargamu segera pergi dari sini sekarang juga. Naiklah kapal keraton Djipang, telusuri wilayah leluhur kita di Palembang. Aku mengandalkanmu!"

Perintah itu menjadi akhir dari perbincangan mereka. Arya Penangsang tak lagi menggubris adiknya. Arya Mataram segera undur diri. Titah telah diturunkan, ia segera bergegas menjalankannya.

Raja Djipang itu kemudian memanggil patih Matahun untuk bertukar rencana. Kedatangan patih sepuh itu diiringi beberapa perwira pilihan. Arya Penangsang mengutarakan rencananya untuk menyambut tamu istimewa dari keraton Pajang.

"Aku akan menerima tantangan Pajang. Jika aku tak pergi menemui mereka, apa kalian pikir mereka bisa menembus Benteng Bengawan Sore?"

"Ampun Gusti. Kami manut titah Yang Mulia. Niat baik ini semoga bisa memadamkan murka mereka," suara Patih Matahun terdengar serak.

Arya Penangsang mengibaskan tangannya. Setengah berlari para perwira menuju regol. Para prajurit segera berkumpul di halaman keraton. Sependidih air, seorang prajurit menuntun Gagak Rimang. Arya Penangsang melompat ke pelana dan menarik tali kekang. Seketika kuda hitam pilih tanding itu berjalan perlahan. Patih Matahun mengekor di belakang menunggang Rindang Pinangin. Kuda kepatihan keraton Djipang itu menuju medan pertempuran. Lima ratus prajurit pilih tanding mengawal mereka di belakang.

Benteng Bengawan Sore dibuka. Parit besar yang dialiri air dari sungai Bengawan Solo itu selama ini menjadi benteng pertahanan Djipang. Derap langkah prajurit Djipang gegap gempita menyambut tamu tak diundang. Di depan sana nampak barisan pasukan Pajang siap menyerang. Arya Penangsang membedal Gagak Rimang. Kuda hitam itu melesat menuju barikade pasukan Pajang. Seorang remaja tanggung mengenakan blangkon Jawa menyambutnya di barisan paling depan.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now