Ki Gede Ing Suro

1.2K 47 0
                                    

Bujang Jawa dan Punggawa Kedum diterima oleh pimpinan prajurit jaga. Mereka lalu meminta izin untuk dipertemukan dengan Arya Karang Widoro. Keduanya ingin memastikan apakah bangsawan kerajaan Demak yang masih terhitung kerabat junjungan mereka itu benar berada di Kuto Gawang. Keduanya akhirnya melihat sendiri orang yang mereka cari itu dalam keadaan sakit parah dan terbaring lemah di pembaringan.

Matanya bersinar cerah ketika mengetahui bahwa Bujang Jawa dan Punggawa Kedum merupakan prajurit dari Djipang. Meskipun sakit parah, dengan sorot matanya ia memberi isyarat kepada bawahannya agar mewakilinya bertanya dengan tamunya itu.

“Yang Mulia Arya Karang Widoro sudah sangat lemah kondisinya. Mengapa kalian bisa sampai ke sini dan dengan siapa saja kalian berangkat ke Palembang?” Pimpinan prajurit yang belakangan diketahui bernama Suma Banding itu mewakili junjungannya bertanya.

“Kami datang beserta rombongan keraton Djipang. Terjadi huru-hara di Demak, Yang Mulia Pangeran Arya Penangsang tewas terbunuh. Ia berwasiat agar kami pergi ke Palembang. Kami berdua ditugaskan untuk menjadi telik sandi mengetahui apakah Yang Mulia Arya Karang Widoro masih berada di Palembang. Cukup lama kami tidak mendengar khabar dari Palembang,” jelas Bujang Jawa.

Secara singkat mereka berdua menceritakan tentang pelarian mereka bersama Pangeran Arya Mataram. Mereka juga akhirnya mengetahui jika Raden Arya Karang Widoro diakui sebagai Adipati sebagai simbol kehadiran Demak di Palembang. Tetapi dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, dominasi kekuasaan saudagar Cina di bawah keluarga Shi Jinqing lah yang menguasai perdagangan di pelabuhan Palembang. Raden Arya Karang tidak memiliki kekuatan prajurit untuk tampil menguasai pemerintahan di Palembang. Berbekal informasi itu, Bujang Jawa dan Punggawa Kedum pamit. Mereka akan kembali malam hari membawa rombongan dalam kapal Jung untuk menghadap Adipati Arya Karang Widoro.

“Nuwun sewu, Yang Mulia. Informasi ini akan kami sampaikan kepada Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Kami akan kembali dengan membawa seluruh keluarga Djipang menghadap Yang Mulia malam nanti. Saat ini Jung kami tengah sandar di tempat yang aman.” Bujang Jawa meminta izin untuk kembali ke Jung. Ia menolak tawaran pengawalan dari Suma Banding. Jika ditiilik dari jumlah prajurit yang ada di Kuto Gawang, memang Adipati Palembang itu hanya diperankan sebagai simbol pemerintahan tanpa didukung kekuatan pasukan.

Dengan bergegas kedua prajurit Djipang itu kembali ke perahu sewaan. Juru mudi perahu sewaan itu kaget melihat prajurit penjaga di Kuto Gawang mengantarkan kedua tamunya itu hingga ke pinggiran sungai. Belum pernah ada tamu yang mendapat perlakuan terhormat seperti itu sebelumnya.

“Kalian beri apakah prajurit galak itu. Mengapa mereka berubah ramah?” Samsu juru mudi perahu sewaan tak mampu menutupi rasa penasarannya.

“Kami berikan mereka beberapa kepeng uang perak. Dengan begitu kami diperbolehkan melihat-lihat di dalam.” Punggawa Kedum menjawab sekenanya. Setelah itu, juru mudi tersebut tidak lagi banyak bicara. Mungkin dalam hatinya, ia mulai sadar jika tamu yang diantarnya ini bukanlah orang sembarangan. Sampai di dermaga, Bujang Jawa membayar ongkos sewa perahu. Ia sengaja membayar lebih banyak dari ongkos yang disepakati.

Tak ingin berlama-lama di pelabuhan, keduanya segera menuju tempat perahu sekoci ditambatkan. Tanpa banyak bicara Punggawa Kedum segera mengambil alih kemudi dan mendayung sekuatnya. Jarak tempuh perahu sekoci menuju kapal Jung cukup jauh. Namun dengan kekuatan tenaga mereka, perahu kecil itu meluncur cepat.

“Kami telah bertemu dengan Yang Mulia Arya Karang Widoro. Kita diminta untuk segera menghadap beliau yang kini dalam keadaan sakit. Sayang sekali, mereka tidak memiliki kekuatan pasukan sehingga hanya menjadi simbol penguasa Demak saja di sini. Sepertinya aktivitas di keraton Kuto Gawang yang mereka tempati juga diawasi oleh prajurit saudagar Cina yang berkuasa di pelabuhan.” Bujang Jawa memberikan laporan terperinci kepada Pangeran Arya Mataram.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now