Wujud Sangkan Kuasa

804 48 4
                                    

Punggawa Wijamanggala bergegas melangkah keluar masjid. Di halaman tempat sebelumnya terjadi pertarungan telah berdiri dua orang lelaki bersorban. Wajah mereka terlihat tidak bersahabat. Tatapan mata keduanya dingin. Mereka seperti menyelidik apakah gerangan yang telah terjadi di dalam masjid. Bulan yang bersinar separuh masih mampu menerangi wajah keduanya.

“Oh rupanya Mpu Taliwa dan Mpu Bayan yang datang. Sudah sembukah luka dalam kalian. Mengapa malam selarut ini masih mengurusi urusanku.” Wijamanggala menyindir kedua tamunya yang dikalahkan tabib Yueren di pinggir dermaga.

“Kami hanya memastikan apakah engkau tidak salah jalan, punggawa Wijamanggala. Kami dengar sejak sore tadi engkau terlihat sibuk di masjid itu. Dan kami mendapat khabar jika di dalam sana ada musuh yang harus segera ditaklukkan!” Mpu Taliwa bicara dengan suara kencang. 

“Oh.., maaf sekali tuan-tuan. Tidak ada kepentingannya kalian menghalangi kegiatanku. Sebagaimana titah Sultan Banten, aku adalah pimpinan tertinggi atas misi ini. Kalian tidak berhak pasang kuasa di sini!” Wijamanggala menjawab dengan nada tinggi. Seketika hulubalang yang berjaga di depan mengepung dua lelaki bersorban.

“Hei, apa-apaan kalian prajurit bodoh. Wijamanggala, tugasmu memimpin prajurit. Singkirkan mereka dari hadapan kami sebelum hilang kesabaranku.” Mpu Taliwa terdengar meradang.

“Bukan aku yang memulai terlebih dulu mencari perkara, tuan. Tugasku memang benar adalah memimpin prajurit. Dan tugasmu adalah mengalahkan jagoan musuh. Tetapi yang aku lihat sedari tadi adalah kalian dipecundangi oleh kakek tua dan pemuda belia. Siapa yang gagal, siapa yang berhasil jika begitu. Dengarkan saja nasehatku ini. Jika kalian gagal menangkap musuh, janganlah amarah kalian tumpahkan kepada prajurit!” suara Wijamanggala meski perlahan tetapi terdengar mengejek. Mpu Taliwa terlihat sudah tidak bisa menahan emosinya.

“Mengerti apa engkau tentang kalah dan menang. Izinkan aku memukul punggawa congkak ini, Mpu Bayan. Biar dia mengerti apa arti menang atau kalah!” Mpu Taliwa bersiap menyerang Punggawa Wijamanggala. Melihat jagoan Banten itu murka, Wijamanggala justru tersenyum. Dalam hatinya ia bergumam bahwa kesempatan Inilah saatnya ia akan pamer kepandaian di hadapan para prajurit.

“Baik, Tuan Taliwa. Jangan salahkan aku yang hanya mengerti tentang seni perang ini jika berhasil menangkis pukulanmu.” Wijamanggala memberi isyarat kepada para hulubalang untuk menyingkir. Keributan di tempat itu kemudian mengundang kehadiran puluhan prajurit. Mereka penasaran ingin menyaksikan adu kesaktian antara dua pendekar Banten itu.

“Lihat jurusku Punggawa!” Mpu Taliwa mengempos tenaga dan menyalurkannya ke tangan kanannya. Tangan yang membentuk cakar itu segera menyerang wajah Wijamanggala. Angin pukulan tangan kosong itu bercuitan pertanda tenaga dalam yang dikerahkan sangat berbahaya. Tak ingin mendapat malu di hadapan para prajurit, Wijamanggala segera menangkis cakar lawan.

“Hiyat!” Didahului teriakan kencang, Wijamanggala menapaki jurus lawan dengan tendangan. Kakinya mengincar lambung, sedangkan wajahnya seperti dibiarkannya diserang cakar lawan. Sungguh Punggawa Wijamanggala ingin pertarungan itu berakhir dengan cepat.

Melihat lawannya nekad, Mpu Taliwa menarik cakarnya dan mundur dua langkah. Tendangan Wijamanggala luput, tetapi dengan cekatan Punggawa Kesultanan Banten itu telah menerkam dengan cakarnya. Sungguh pertarungan itu sangat menarik untuk ditonton. Para hulubalang yang menyaksikan pertarungan dari dekat, nampak menahan nafas.

Mpu Taliwa sempat terlihat gugup dengan serangan lawan yang trengginas. Dalam keadaan mundur dan bertahan seperti itu, posisinya tidak menguntungkan jika harus beradu tenaga dengan Wijamanggala. Tetapi untuk menghindar dari sergapan lawan, Mpu Taliwa tak mungkin melompat mundur dua kali. Dalam hatinya tentu saja ia akan menang adu tenaga dalam dengan Wijamanggala yang mahir dalam ilmu perang itu.

“Sungguh engkau memaksaku, Punggawa. Terimalah jurus cakarku!” Mpu Taliwa menangkis cakar Wijamanggala dengan cakar.

“Dap, bum!” Terdengar suara pukulan beradu. Yang terjadi selanjutnya cukup membuat para prajurit menahan nafas. Sisa tenaga pukulan dari Mpu Taliwa dan Wijamanggal menyasar ke tanah. Meskipun penerangan di tempat itu hanya diterangi obor dan lentera, tetapi debu yang berterbangan karena terkena pukulan nyasar dapat dirasakan memenuhi arena pertarungan.

“Aku belum kalah, tuan. Ayo kita lanjutkan pertarungan kita!” Wijamanggala kembali menyerang lawan. Beradu tenaga cakar dengan Mpu Taliwa tidak menyebabkan ia terjengkang. Tenaga mereka seperti beradu tembok tak kasat mata sehingga menyasar ke tanah. Beruntung tenaga liar itu tidak mengenai para prajurit yang menonton. Dari adu tenaga itu terlihat bahwa keduanya berimbang. Hal itu tentu saja membuat Mpu Taliwa terkejut bukan main.

“Bagaimana mungkin engkau yang sehari-hari berlatih strategi perang memiliki tenaga dalam yang begitu dahsyat. Baik, aku tidak akan sungkan lagi terhadapmu!” Mpu Taliwa membaca mantra. Mulutnya komat-kamit. Tetiba di tempat itu tercium aroma amis menyengat. Di tangannya telah tergenggam sebilah keris berwarna hitam. Bau amis menyengat itu sepertinya berasal dari keris yang tetiba telah terhunus di tangan Mpu Taliwa.

Punggawa Wijamanggala mengambil tombak panjang yang dipegang hulubalang.  Memegang senjata panjang akan menguntungkan jika melawan musuh yang memegang keris. Dengan percaya diri, Wijamanggala memainkan jurus tombak. Ia memutar tombak ke samping kiri dan kanan dengan cekatan. Selanjutnya tombak panjang itu ditusukkan ke perut lawan.

“Trang, krak!” Terdengar suara tombak beradu dengan keris. Bukan main terkejutnya Punggawa Wijamanggala, tombak di tangannya patah jadi dua. Dengan tangan kosong ia harus menahan serangan Mpu Taliwa yang memainkan jurus-jurus aneh. Tubuhnya melompat-lompat seperti seekor kera menyerang dari penjuru arah seperti tak beraturan. Kedua matanya seperti menyala terang dalam gelap, menyorot tajam ke titik vital Wijamanggala. Sebentar saja, punggawa pimpinan pasukan itu telah terdesak sedemikian hebatnya. Di saat yang genting itu, dari dalam masjid terdengar suara membahana.

“Aih, malam ini aku benar-benar terhibur menyaksikan ketololan kalian. Mengapa di antara kalian beradu tanding di sini. Bukankah kalian orang sendiri. Bagaimana jika salah satu diantara kalian ada yang tewas. Aku benar-benar tak habis pikir, kakek!” Tetiba dari dalam masjid muncul Raden Sinjar. Di belakangnya mengekor Kyai Muara Sungsang.

“Hei bukankah dia Pangeran Sungsang!” Mpu Bayan yang terkejut tak sadar meneriakkan nama julukan Raden Sinjar.

“Engkau belum lupa denganku rupanya, paman. Sudah sembuhkah luka dalammu tadi. Mengapa kalian membuat onar di rumah ibadah?” pertanyaan beruntun dari Raden Sinjar seperti menyindir dua lelaki bersorban. Seketika Mpu Taliwa menghentikan serangannya.

“Benar apa yang dikatakan bocah itu, Mpu Bayan. Mengapa aku jadi menyerang orang sendiri?” Mpu Taliwa seperti tersadar dari keadaannya saat itu. Sangking kesalnya dengan perbuatannya sendiri, lelaki paruh baya tersebut membanting-banting kaki kanannya ke tanah.

“Jangan engkau kesal seperti itu, paman. Inilah esensi aji sangkan paraning dumadi, hahahaha....!” Raden Sinjar tertawa lepas. Dari belakangnnya muncul Punggawa Wijamanggala. Sontak Mpu Taliwa terhenyak.

“Ba-ba-bagaimana mungkin Wijamanggala ada di belakangmu. Siapakah yang bertarung denganku barusan?” Mpu Taliwa mengerjapkan matanya berulang. Sosok yang dikiranya Wijamanggala yang baru saja beradu ilmu dengannya telah raib dari pandangan.

“Itulah aji sangkan kuasa, paman. Jangan salahkan aku yang mempermainkanmu. Salahkan Paman Wijamanggala yang menyuruhku melakukannya.” Raden Sinjar tertawa jenaka. Mpu Taliwa seperti bertemu dengan makhlus halus. Seluruh bulu kuduknya merinding. Bagaimana mungkin anak semuda itu telah menguasai ajian aneh yang mampu membuatnya terpedaya. Padahal dalam olah ilmu batin, Mpu Taliwa bukan anak kemarin sore. Ia bahkan kerap memainkan sihir untuk mengelabui lawan.

“Oh, hari ini mataku benar-benar terbuka. Sungguh tak kusangka, aku benar-benar dipermalukan. Ayo kakang Mpu Bayan, kita pergi dari sini!” Kedua lelaki bersorban itu berkelebat cepat meninggalkan siuran angin malam yang dingin.

(Bersambung)

Baca terus kisahnya dan jangan lupa follow akun penulis ya...

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang