Berebut Raden Gatra

1K 41 1
                                    

Sebuah bayangan melesat langsung merangsek menyerang dengan jurus ganas. Raden Kuning segera melompat mundur ke belakang sambil meladeni jurus si penyerang. Menghadapi serangan ganas itu, Raden Kuning terlihat tenang. Ia memainkan jurus langkah ajaib sehingga penyerangnya hingga puluhan jurus belum mampu menyentuh kulitnya.

“Anak muda, jangan engkau main kucing-kucingan dengan jurusmu. Ayo ladeni aku. Kita bertaruh nyawa di sini!” Tetiba penyerang menghentikan pukulannya. Semua mata yang ada di sana dapat melihat bahwa penyerang gelap itu adalah seorang nenek berpakaian kebaya.Tangannya memegang tongkat berbentuk ular.

“Nyai Derimas. Pucuk dicinta ulam tiba. Telah lama aku mencarimu. Cepat engkau kembalikan putraku.” Melihat wajah penyerangnya, Raden Kuning langsung naik pitam. Ia segera mempersiapkan jurus lesus sing purun damel. Tubuh Raden Kuning melesat ke udara dan berputar-putar seperti gasing. Debu dan dedaunan kering ikut berputar mengikuti putaran tubuhnya dan membentuk gulungan angin ribut.

Sementara Nyai Derimas menotol tongkatnya ke tanah tiga kali sehingga menimbulkan suara berdebum kencang. Totolan terakhir tongkatnya menancap kokoh di tanah diiringi oleh hentakan tubuhnya yang melesat ke atas duduk bersila di atas tongkat. Dari kepala tongkat yang berukiran kepala ular menyembur uap racun yang kemudian berputar-putar di depan wajahnya. Nyai Derimas mengempos tenaganya dan terdengar suara beradunya pukulan.

Pangeran Arya Mataram seketika melesat mengelilingi arena pertarungan sehingga bekas bayangan tubuhnya membentuk semacam benteng. Benar saja uap racun dari pukulan Nyai Derimas porak poranda tersapu pukulan Raden Kuning. Beruntung benteng yang dibuat Pangeran Arya Mataram menahan menyebarnya pukulan racun ke sekitar tempat pertarungan sehingga tidak nyasar melukai orang yang menonton pertarungan.

“Jahat sekali jurus pukulanmu, Derimas!” Suara Pangeran Arya Mataram berwibawa.

Orang yang disindir nampak sibuk menghimpun tenaga dalamnya. Terlihat sekali jika ia masih kalah satu tingkat soal tenaga dengan lawannya. Dari sela bibirnya menetes darah segar. Nyai Derimas langsung terluka dalam karena beradu pukulan dengan Raden Kuning. Tubuhnya tergeser dua langkah ke belakang.

Sementara Raden Kuning yang sebelumnya berada di atas udara kembali ke posisinya semula. Wajahnya tenang. Namun sorot matanya masih memperlihatkan kemarahan. Ia tak bisa melupakan peristiwa penculikan Raden Gatra yang dilakukan di depan mata kepalanya sendiri. Andai saja waktu itu Mentrabang tidak melarangnya mengejar, tentu saat itu ia akan mengadu nyawa dengan Nyai Derimas dan Belingis.

“Aku mengaku kalah, pria kuning. Tak disangka aku yang telah malang melintang di Palembang ini dikalahkan dengan satu pukulan oleh anak muda sepertimu.” Nyai Derimas menjura hormat kepada lawannya.

“Aih, janganlah merendah seperti itu, orang tua. Aku yang muda yang seharusnya memberi hormat kepadamu.” Raden Kuning tetiba berubah lunak. Ia berjalan menghampiri lawannya dan membungkukkan badan menjura.

“Hehehehe….., rasakan pukulan racun ularku ini anak muda!” Nyai Derimas memukul lawannya dengan pukulan tongkat ular. Raden Kuning yang tak siap menghindar terkena pukulan tongkat di bagian pundak kirinya. Ia terpental dua depa ke sebelah kanan. Dari bibirnya menetes darah pertanda pukulan lawan telah melukainya.

“Licik sekali caramu. Engkau menghipnotisku sehingga aku terpedaya. Dasar nenek iblis. Aih…., pukulanmu ini beracun!” Raden Kuning segera melolos Kyai Layon. Keris sakti itu langsung ditempelkannya ke bagian pundaknya yang terluka. Darah kental berwarna hitam tersedot keris. Sependidih air, warna luka yang menghitam itu berangsur berubah merah. Keadaan kali ini imbang. Keduanya sama-sama terluka.

“Siapa yang berani melukai istriku. Hayo bersujud di hadapanku. Biar kupukul pantatmu agar engkau kapok!” Tetiba di tempat itu telah muncul pria tua cebol. Ya, orang itu adalah Belingis, suami dari Nyai Derimas.

“Ai ai. Kalian sepasang suami istri ini tidak lagi menghargai aku sebagai tuan rumah rupanya!” Pangeran Arya Mataram menegur.

“Mohon maaf paduka, kami suami istri ini tidak bermaksud melecehkanmu, tetapi aku dan istriku ini terikat urusan lama dengan anak menantu Mentrabang ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan kami terlebih dahulu. Aku mohon perkenanmu!” Belingis menjura hormat. Pangeran Arya Mataram tak bisa lagi beralasan untuk mencegah terjadinya pertarungan lanjutan. Meskipun agak khawatir dengan luka yang diderita Raden Kuning, tetapi ia yakin keponakannya itu masih mampu mempertahankan diri dengan ilmu kepandaiannya.

“Baiklah, jika kalian ingin menyelesaikan urusan lama. Aku tidak mengganggu. Tetapi baiknya sebelum kalian melanjutkan pertarungan harus ada kepastian tentang dimana keberadaan cucuku Raden Gatra!” Kali ini suara Pangeran Arya Mataram kembali mentereng. Ia sengaja menekankan bahwa anak yang diculik oleh pasangan suami istri aneh itu adalah cucunya.

“Suit suit!” Belingis memasukkan jari tangannya ke mulut sehingga menimbulkan suara bersuitan. Tak lama melompat seorang anak kecil berusia dua tahun ke arena pertarungan. Bocah laki-laki itu tampan sekali dan berperawakan tegap. Tinggi badannya sudah setara anak berusia lima tahunan. Ia menyeringai memperlihatkan giginya yang belum tumbuh sempurna.

“Ayo kesini, cucuku. Lihat siapa orang yang ada disini.” Ia mendekat ke arah Belingis. Pandangannya menatap tajam ke arah Raden Kuning. Nampak anak kecil itu ragu-ragu ketika dilihatnya sang ayah berteriak histeris memanggil Namanya.

“Raden Gatra. Aih…, ayah merindukanmu, Ngger. Ayo kesini peluk ayahmu ini!” Raden Kuning tak tahan menahan harunya. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Tetapi anak yang dipanggilnya tak juga kunjung menghampirinya.

“Engkau apakan anakku, cebol. Mengapa ia tak lagi mengenali ayahnya sendiri.” Raden Kuning menghardik marah.

“Aku tidak melakukan apa-apa. Kalian lihat sendiri. Ia lebih memilih aku kakeknya daripada pria berkulit kuning yang mengaku-ngaku ayahnya itu!” Belingis terbahak. Dari nada suaranya nampak sekali jika ia tengah berupaya membuat musuhnya marah.

“Ah, engkau memang orang tua tak tahu diuntung. Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Tolong amankan cucumu dari tangan orang jahat ini. Biar aku beradu nyawa dengannya.” Raden Kuning kali ini benar-benar tersulut hawa amarah. Belum pernah ia naik pitam seperti ini. Segera dihimpunnya tenaga semesta. Kali ini Raden Kuning sepertinya ingin memperdaya lawan dengan menyedot tenaganya. Ia memasang kuda-kuda jurus Bumi.

“Jika engkau bisa mengalahkan kami hidup atau mati, maka perjanjian kami dengan Mentrabang kami nyatakan pupus. Engkau boleh membawa anakmu pulang!”

Sepasang suami istri Belingis dan Nyai Derimas berpegangan tangan. Sepasang mata mereka menatap mesra. Dari bibir mereka tersungging senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. Tangan kiri Belingis menempel di tangan kanan Nyai Derimas sedangkan tangan mereka yang lain menghimpun tenaga dan melontarkan pukulan maut penganten sakit hati.

“Des!” Pukulan maut itu seperti memukul kapas. Tubuh Raden Kuning yang dipenuhi tenaga semesta menampung tenaga pukulan maut lawan. Ketiga orang yang beradu nyawa hidup dan mati itu sama-sama menahan nafas. Beberapa kali tenaga mereka menyentuh dasar tenaga Bumi. Tetapi berkali-kali pula Raden Kuning berhasil menyedot tenaga mereka.

Di tengah pertarungan hidup dan mati itu, semua mata memandang fokus ke arah pertarungan. Mereka luput memperhatikan Raden Gatra yang ternyata melompat ke arah pertarungan hidup mati itu. Dengan cepat anak kecil berusia dua tahun itu menggunakan kedua tangannya yang mungil melerai adu tenaga dalam yang mungkin berujung maut tersebut.

“Raden Gatra, jangan!” Pangeran Arya Mataram terlambat mencegah. Raden Gatra sudah terlanjur memisahkan mereka.

(Bersambung)80

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang