Kyai Layon Hilang

1K 37 0
                                    

“Takdir kita memang bersua kembali di Tuban, Raden Kuning. Aku yang kesusu ingin menghadiri hari bahagiamu, ternyata datang terlambat. Karena itu malam-malam aku seperti pencuri menyelinap ke dalam kamar tidurmu. Hanya dengan cara begitu sang pengantin laki-laki bisa kutemui di luar kan?” Di tua buta Agam merentangkan kedua belah tangannya. Raden Kuning segera membalas dengan pelukan hangat.

“Apa khabarmu, orang tua. Sungguh lama sekali kita tidak bertemu. Banyak hal yang terjadi padaku di tanah Palembang. Tetapi….., mengapa pula engkau mengunjungi sahabat lama dengan cara seperti ini. Ayolah kujamu kau di keraton.” Raden Kuning menjura hormat.

“Sekali lagi maafkan aku, Raden. Jika kita bertemu di keraton Tuban, maka maksud kedatanganku kali ini tak akan bisa tertunaikan. Biarkan kita bicara di bawah pohon rindang di sana. Ada hal penting yang ingin kuutarakan kepadamu.” Tua buta Agam menarik tangan Raden Kuning dan mengajaknya menuju pohon besar. Meskipun kedua matanya buta, orang sakti segala tahu itu memiliki mata batin. Raden Kuning sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana orang buta itu bisa melihat.

“Ada apa gerangan hal yang sangat penting yang hendak engkau sampaikan. Sedemikian pentingkah perihal itu sehingga tega-teganya engkau mengganggu pengantin baru?” Senyum mengembang di bibir Raden Kuning.

“Ini berkaitan dengan masa depan Tuban ke depan.”

“Lalu apa hubungannya denganku, paduka?”

“Aku sudah sampaikan ketika kita terakhir bertemu, takdirmu berada di pusaran konflik keraton Tuban.”

“Bukankah engkau sendiri yang menyampaikan jika takdirku berada jauh di bumi Sriwijaya.”

“Ya memang takdirmu ada di sana, tetapi sebagian ada di sini.”

“Mengapa begitu, paduka?”

“Tidakkah kau sadari hari ini engkau sudah menjadi bagian dari kerabat keraton Tuban. Tidakkah kau sadari bahwa kerajaan Palembang nun jauh di sebrang sana membutuhkan sekutu agar bisa bertahan dari incaran kerajaan lain. Tidakkah semua yang engkau lakukan di sini termasuk menikahi keponakan Raden Balewot adalah bagian dari takdir itu?”

“Tidak, paduka. Keputusanku menikahi Putri Wuwu karena kami berdua memang telah terikat janji. Kami berdua menikah atas dasar cinta.”

“Engkau salah, Raden. Ketika berikrar untuk menegakkan kembali kejayaan keraton Djipang, maka seluruh hidupmu telah engkau serahkan untuk mewujudkan ikrar itu. Termasuk pernikahan dirimu dengan Putri Wuwu, ini benar-benar pernikahan atas dasar kepentingan politik.”

“Ya, memang hubungan kami menjadi rumit karena ada embel-embel itu, paduka. Tetapi sesungguhnya alasan kami menikah karena saling mencintai.”

“Hahahaha…., apa kau pikir dua istrimu yang ada di Palembang itu juga engkau nikahi atas dasar cinta?”

“Aih, engkau tahu tentang ceritaku, paduka.”

“Tidak saja tahu, tetapi takdirmu menikahi dua orang gadis Palembang itu pun untuk kepentingan politik. Istrimu yang pertama Putri Cinde itu adalah putri dari pemimpin perompak yang memiliki banyak pengikut. Ketua Litantong tidak saja disegani oleh lawannya, tetapi pengaruhnya juga sampai ke China. Selanjutnya Putri Cala, ia pun demikian. Ayahnya adalah pemimpin perompak yang memiliki kekayaan dan pengikut. Tentu saja sadar atau tidak sadar, takdirmu menikahi mereka atas dasar kepentingan keraton Palembang untuk mendapatkan dukungan dari sekitar. Karena engkau menikahi putri dari dua pemimpin besar yang namanya ditakuti di sepanjang Selat Malaka, tentu saja keraton Palembang akan semakin kuat.”

“Ah, aku menikahi mereka berdua dalam keadaan lupa, paduka. Tetapi jika memang engkau sebut itu adalah takdirku, maka menurutku kepentingan yang melandasinya juga menjadi takdir keraton Palembang.”

“Ya, itu disebut pertalian takdir. Demikian pula dengan penikahanmu hari ini. Itu pun akan membuat keraton Palembang terjaga dari serangan kerajaan dari tanah Jawa. Ingatlah bahwa pilihan Pangeran Arya Mataram menunjuk Punggawa Tuan sebagai raja di Palembang tidak terlepas dari wawasan beliau yang dapat melihat ke depan.”

Raden Kuning akhirnya tak mampu lagi membantah. Ia kemudian menjadi pendengar yang baik. Si tua buta Agam kemudian menyampaikan perihal Pangeran Ngangsar yang kini dibawa Mpu Bengawan Sanca. Dirinya khawatir akan terjadi huru-hara di Tuban di masa depan akibat peristiwa itu.

“Aku lihat akan terjadi pertumpahan darah di Tuban karena Pangeran Ngangsar. Takdir sepertinya tak bisa ditolak lagi.” Si buta Agam menghela nafas panjang.

“Meskipun aku khawatir, tetapi aku masih tidak mengerti apa hubungan takdir itu denganku, paduka?”

“Engkau akan terlibat karena saat ini Kyai Layon berada padamu!”

“Aih, jadi keris Kyai Layon yang sedari tadi engkau ingin bahas.” Raden Kuning menganggukkan kepalanya.

“Ya, betul. Mengapa Kyai Layon harus dibawa ke sebrang sana, karena ia akan mendatangkan pertumpahan darah di Tuban.”

“Jika demikian, maka Kyai Layon akan aman berada di tanganku. Toh aku tak akan lama di sini.”

“Seharusnya memang begitu. Tetapi engkau harus ingat, saat ini takdirmu sudah terikat dengan keraton Tuban. Istrimu Putri Wuwu adalah keponakan adipati Tuban. Ia juga adalah saudara sepupu Pangeran Ngangsar. Bukankah nantinya mudah sekali Pangeran Ngangsar mengunjungimu dan meminjam Kyai Layon. Bukankah jika terjadi hal seperti itu, maka akan terulang cerita keris Mpu Gandring. Engkau akan dituduh sebagai pelakunya, sebagaimana Kebo Ijo menjadi korban perbuatan Ken Arok.”

“Aih, mengapa aku tidak terpikir sampai ke situ, paduka. Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Raden Kuning bertanya dengan suara gemetar.

“Hanya ada dua pilihan bagimu. Hancurkan Kyai Layon sekarang, atau engkau kembalikan keris itu kepada Adipati Tuban. Sebagai sahabat aku telah menyampaikan hal penting itu kepadamu. Ke depannya, terserah kepadamu. Aku mohon pamit.” Tua buta Agam kemudian berdiri dan melangkah hingga menghilang di kegelapan malam.

Raden Kuning masih duduk termenung di bawah pohon besar. Ia bimbang apa yang harus dipilihnya terkait Kyai Layon. Pilihan memusnahkan keris sakti itu sangat sulit dipilihnya mengingat selama ini Kyai Layon sudah banyak sekali menyelamatkan nyawanya. Dalam kegundahan hatinya, Raden Kuning kemudian melompat berkelebat kembali menuju keraton Tuban. Putri Wuwu duduk di peraduan ketika Raden Kuning kembali. Sorot matanya dipenuhi tanda tanya.

“Siapakah penyusup itu, Kakang?” Putri Wuwu tak mampu menutupi penasarannya.

“Oh, iya adalah si Tua Buta Agam. Kedatangannya mengunjungi sahabat lama. Karena ia terlambat, maka dirinya menyusup ke kamar ini agar bisa bertemu denganku.”

“Adakah berita penting yang kakek semua tahu itu sampaikan?”

“Dirinya menyampaikan tentang Pangeran Ngangsar yang akan menumpahkan darah di keraton Tuban dengan menggunakan Kyai Layon. Aku harus mengembalikan Kyai Layon kepada Paman Raden Balewot. Jika tidak nanti aku yang tertuduh melakukannya. Atau pilihan yang kedua kita musnahkan saja keris ini. Bagaimana saranmu?” tanya Raden Kuning.

“Lebih baik kita musnahkan keris itu, Kakang. Kalau Kyai Layon musnah, maka kemungkinan besar pertumpahan darah dapat kita cegah.” Putri Wuwu langsung berdiri.

“Baik, malam juga kita musnahkan keris Kyai Layon.” Raden Kuning segera merogoh pakaiannya. Namun pendekar gagah itu, mengerutkan keningnya seraya berteriak kaget.

“Kyai Layon hilang.”

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now