Prahara Tuban

1K 46 2
                                    

“Izinkan saya, Raden Kuning dari keraton Palembang beserta rombongan menghadap Yang Mulia Raden Haryo Balewot.” Raden Kuning menjura hormat.”

“Dari mana asalmu, tadi?” Salah seorang prajurit Tuban bertanya dengan pongah.

“Kami berasal dari keraton Palembang, Prajurit.” Raden Kuning menekan nada bicaranya. Sepintas ia curiga dengan tampilan prajurit-prajurit yang menghadang langkahnya itu.

“Hahahaha…., baru kudengar ada keraton di Palembang. Kalian tidak diizinkan menghadap. Tidak ada pentingnya kami menerima rombonganmu ini!” Prajurit pongah itu kembali bicara. Kali ini suaranya keras menghardik.

“Baik jika begitu, izinkan kami beristirahat di dermaga Tuban. Kami tidak akan mengganggu di sini.” Raden Kuning kembali mengalah.

“Tidak bisa. Kalian harus segera angkat kaki dari bumi Tuban!” Prajurit itu sepertinya sengaja membuat Raden Kuning marah. Beruntung orang yang dituju tidak terpancing. Dengan memberi hormat, Raden Kuning kembali ke kapal Jung dan memerintahkan nakhoda meninggalkan pelabuhan Tuban.

“Angkat sauh. Kita tidak diterima di sini!” Raden Kuning memberi perintah.

Dalam hatinya Raden Kuning menduga pasti telah terjadi peristiwa penting di Tuban yang tidak diketahuinya. Kapal Jung diperintahkan bersandar di sisi lain pantai Tuban. Tengah malam nanti, Raden Kuning akan menyelidiki sendiri apa yang terjadi di Tuban. Beruntung perjalanan mereka membawa banyak bekal sehingga prajurit yang ikut serta tidak kelaparan.

Malam meninggi sesosok bayangan berkelebat dari sisi Timur dermaga pelabuhan Tuban. Tujuannya masuk ke dalam keraton Tuban. Namun langkahnya terhenti di depan tembok pembatas kota Tuban dengan daerah luar. Tinggi tembok sekira dua hingga tiga depa. Raden Kuning menahan nafas dan mengempos tubuhnya menotol dinding melompat tinggi hingga hinggap melayang turun ke sisi lain tembok. Ia memilih masuk dari sisi paling luar dinding tembok yang kurang diawasi prajurit.

Bergegas sosok itu berlari menuju kotaraja. Tujuannya adalah rumah bekel Soka Lulung. Ya, pria itu adalah Raden Kuning. Tiba di tujuan, ia menyelidik dulu ke sekitar rumah. Setelah ia yakin, Raden Kuning mengetuk pintu belakang rumah. Ia tidak berani bertamu dari depan karena khawatir ada mata yang melihat. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, Raden Kuning mengirim pesan kepada si empunya rumah perihal identitas dirinya.

“Soka Lulung sahabatku, aku Raden Kuning datang berkunjung. Bukakan pintu belakang!”

Tak lama terdengar suara berderit berasal dari pintu yang dibuka dari dalam. Sesosok pria muncul dari balik pintu. Pria itu langsung menyambut Raden Kuning dengan pelukan hangat. Mereka berdua segera masuk ke dalam rumah.

“Apa khabar sahabatku. Lama sekali engkau tidak berkunjung ke Tuban. Banyak sekali yang telah terjadi di sini. Silakan masuk!” Soka Lulung mempersilakan tamunya masuk.

“Terimakasih, Soka. Aku tiba sore tadi, tetapi di dermaga kami dihadang prajurit Tuban yang mengusir kami dari sini. Aku curiga melihat gelagat yang ditunjukkan oleh prajurit-prajurit itu. Malam ini aku seperti pencuri mengendap-ngendap tengah malam ke rumahmu.” Raden Kuning membuka bicara. Ia tak sempat menjawab dengan kalimat basa-basi akibat rasa ingin tahunya tentang apa yang terjadi di Tuban.

“Ya, kecurigaanmu memang benar. Malam kemarin terjadi huru-hara di kotaraja Tuban. Salah seorang adik sepupu jauh Kanjeng Gusti Haryo Balewot memimpin pasukan mengepung kotaraja. Ia mendapat dukungan dari seorang mpu sakti bernama Mpu Bengawan Sanca. Ia selama ini berguru dengan Eyang Kyai di pesanggrahan Kawedar. Sebelumnya mpu itu tidak pernah terlihat memiliki gelagat mencurigakan. Ia bersama puluhan muridnya mengabdi dengan Eyang Kyai menimba ilmu agama. Satu tahun belakangan, ia mendirikan perguruan sendiri dan mulai merekrut anak-anak muda untuk menjadi muridnya.”

“Nah jika benar seperti itu, mengapa Eyang Kyai tidak turun tangan menyelesaikan urusan antara guru dan murid itu?” Raden Kuning bertanya heran.

“Itulah masalahnya, di usianya yang telah senja itu, Eyang Kyai tidak mau lagi mencampuri urusan dunia. Kecuali urusan itu menyangkut janji dirinya di masa lampau. Jika peristiwa itu tidak ada hubungan dengan janji, maka Eyang Kyai tidak akan mungkin diharapkan muncul menyelesaikan persoalan.”

“Lalu bagaimana keadaan di kotaraja. Apakah pasukan pemberontak begitu mudahnya menguasai keraton Tuban.”

“Tentunya keraton Tuban memiliki pertahanan keamanan yang kuat. Tetapi apalah dayanya jika ada orang maha sakti yang berada di belakang aksi pemberontakan itu?”

“Hmmm….., Di mana Pangeran Sekar Tanjung, putra Gusti Balewot yang sakti?”

“Mpu yang menjadi dalang pemberontakan itu memiliki kesaktian seluas samudera. Tak mungkin Pangeran Sekar Tanjung dapat menandinginya. Terlebih dirinya saat ini tidak berada di Tuban karena tengah mengembara menimba pengalaman. Tidak ada yang tahu dimana keberadaan dirinya saat ini. Menurutku yang bisa melawannya hanya Eyang Kyai dan yang kedua……., mungkin orang itu adalah engkau sahabatku,” ujar Soka Lulung.

“Jadi peristiwa pemberontakan itu berhasil menguasai kotaraja. Bagaimana dengan Gusti Balewot dan keluarga?”

“Engkau melewatkan satu nama, sahabatku,” goda Soka Lulung.

“Maksudmu?” Raden Kuning yang tengah serius tak mengerti maksud sahabatnya itu.

“Engkau melupakan tunanganmu, Putri Wuwu.” Tawa Soka Lulung pecah.

“Aih, bisa-bisanya engkau mempermainkanku dalam kondisi seperti ini.” Raden Kuning ikut tertawa.

“Iya, bagaimana keadaannya?”

“Itulah yang mencemaskanku. Pangeran yang memimpin pemberontakan itu bernama Pangeran Sentapa. Ia membutuhkan dukungan dari keluarga keraton untuk segera mengambil alih tahta. Oleh karena itu, Putri Wuwu menjadi alatnya untuk mendapat dukungan itu. Ia akan menikahi secara paksa tunanganmu minggu depan. Pernikahan itu tengah dipersiapkan oleh kaki tangannya.”

“Aih, dimana gerangan dirinya sekarang. Terlambat saja aku datang ke Tuban, aku pasti tak lagi bisa bertemu dirinya.”

“Aku saat ini tidak lagi menjadi pasukan keraton Tuban. Setelah kekuasaan diambil alih, aku diberhentikan. Tak tahu lagi aku apa yang terjadi di dalam keraton. Tetapi jika engkau mau bersabar, tunggulah esok aku akan mencari tahu!”

“Tak sabar rasanya menunggu esok hari, Soka. Kedatanganku di sini membawa serta ratusan pasukan. Jika memang dibutuhkan, kita bisa menggempur kotaraja. Engkau harus menghimpun prajurit-prajurit Tuban yang masih setia. Dengan dukungan mereka, aku yakin kotaraja dapat dengan mudah kita rebut kembali,” ujar Raden Kuning berapi-api.

“Kita tidak bisa grasa-grusu, Raden. Perlu ada rencana matang untuk itu. Kita punya waktu sepekan untuk mengatur rencana. Jika memang engkau yakin mampu mengatasi Mpu Bengawan Sanca, mulai malam ini aku akan susun rencana kita. Engkau masuklah ke bagian atas rumahku. Di sana ada beberapa prajurit yang berpengaruh yang masih setia terhadap Kanjeng Gusti Balewot.”

Raden Kuning tertegun. Rupanya sahabatnya Soka Lulung telah lebih dulu memulai rencana untuk merebut kembali kotaraja. Kedatangan Raden Kuning justru menambah semangat Soka Lulung untuk meneruskan aksinya.

“Hei…, Soka Lulung. Lancang sekali engkau memulai pertemuan tanpa mengundangku!” Tetiba melesat sesosok bayangan menuju lantai atas rumah kayu Soka Lulung. Melihat siapa yang baru saja datang itu, semua prajurit yang hadir terkejut.

(Bersambung) 84

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang