Kedatangan Tak Terduga

757 39 4
                                    

“Jangan menurunkan tangan jahat, Tuan. Biar aku yang menjajal jurusmu!” Mentrabang berteriak lantang. Ia melompat ke depan seraya memasang kuda-kuda. Kedua tangannya diletakkan ke atas pinggul, mulutnya menghirup nafas dan kemudian ia mulai berputar-putar. Putaran tubuhnya semakin lama semakin kencang. Dari awalnya ia hanya meliuk-liuk seperti ikan, lama kelamaan putarannya membentuk angin puting beliung yang bergerak menuju ke arah Mpu Bayan.

“Wuts, suuuut.” Angin puting beliung mengangkat tinggi tubuh penyerang Bendawa yang saat itu menempel di tubuh lawan. Seketika daya hisap dari tenaga kakek bersorban hilang, tubuh petarung Bendawa itu terlepas dan mental ke angkasa. Mpu Bayan sendiri terdorong lima langkah ke belakang.

Putaran angin kencang itu perlahan mereda. Kepulan debu ikut menghilang menampilkan sosok tubuh Mentrabang yang tengah mengangkat tubuh pengawalnya. Dengan cekatan ia menotok di beberapa bagian penting tubuh petarung itu. Ajaib, setelah mendapat totokan di syarafnya, petarung Bendawa yang nyaris jadi korban kakek bersorban akhirnya siuman.

“Mundurlah, engkau. Biar aku sendiri yang menjajal kepandaian orang itu. Hei orang bersorban yang mengaku bernama Bayan, ayo kita lanjutkan pertarungan kita yang belum selesai!” Mentrabang yang bertubuh kekar bertolak pinggang menantang musuhnya. Namun Mpu Bayan malah tersenyum girang.

“Hahahaha….., hei Mentrabang. Engkau boleh memiliki kepandaian setinggi langit. Tetapi dalam hal adu kepintaran, kau masih kalah jauh.” Suaranya terdengar mengejek.

“Apa maksudmu kakek busuk. Jangan engkau berlama-lama dengan bersilat lidah seperti banci. Ayo keluarkan jurus kesaktianmu!” Mentrabang tambah murka. Sebelum ia sempat menerjang lawan, Mpu Bayan mengangkat kedua tangannya.

“Tak mungkin engkau bisa mengalahkan aku, Mentrabang. Saat ini engkau terluka parah, bagaimana engkau bisa mengerahkan tenaga dalammu?”

“Aih, tak pandai aku mencerna kata-katamu. Lihat pukulan, ciyat!” Mentrabang mengempos tenaganya. Namun yang terjadi selanjutnya sungguh di luar nalarnya. Tenaga yang dikerahkannya di bawah pusar seperti mengempos dan berbalik naik ke atas.

“Hoaaaks,” Mentrabang muntah darah. “Apa yang telah lakukan, kakek busuk. Mengapa tenagaku hilang dan aku terluka dalam?”

“Engkau harusnya berhati-hati menghadapi orang pintar, Mentrabang. Jangan selalu kau andalkan ototmu. Sesekali pakai otakmu supaya engkau tidak celaka. Saat engkau menolong pengawalmu tadi, aku sudah menyisipkan tenaga beracun di tubuhnya. Aku yakin engkau akan gegabah menyalurkan tenaga dalammu untuk menolong anak buahmu itu. Ternyata dugaanku tak salah. Engkau memang tak pandai menggunakan otakmu. Mundurlah engkau, jika masih sayang kepada nyawamu yang kini sekarat itu!” Mpu Bayan tertawa mengejek. Kakek bersorban itu memang benar-benar telah memikirkan bagaimana cara menghadapi jago-jago dari Palembang. Buktinya dengan sekali gebrak saja, ia telah banyak memperdaya orang sakti.

“Jika saja engaku tidak berbuat licik, jangan sebut namaku Mentrabang jika tidak bisa menguliti batok kepalamu yang keropos itu!” Mentrabang masih sempat memaki musuhnya sesaat sebelum ia melompat mundur dari gelanggang.

Senopati Bagas Rilau yang saat itu menjadi pemegang kendali atas keamanan di arena adu tanding nampak berkerut. Sebagai tuan rumah tentu saja ia tidak ingin dipermalukan oleh orang-orang bersorban yang kini di atas angin. Tetapi jika melihat kondisi para pendekar Palembang yang diracuni musuh, tentu saja pihak tuan rumah saat itu sedang di ujung tanduk.

Mengakui kemenangan yang diperoleh melalui jalan licik, tentu saja akan sangat menyakitkan. Jika saja saat itu Bagas Rilau berada di medan tempur, tentu saja ia akan mengerahkan seluruh prajurit untuk menyerang. Tetapi saat yang pelik yang dihadapinya sekarang bukanlah perang dalam arti sesungguhnya. Saat ini ia harus memutar otaknya. Tidak ada lagi jagoan yang tersisa. Bagas Rilau kemudian memutuskan untuk melompat ke arena pertandingan.

“Jangan engkau jumawa dulu, Tuan. Masih ada aku, Bagas Rilau yang akan menghadapiny. Meskipun aku adalah prajurit, tetapi kepandaianku tidak di bawahmu,” ujarnya seraya menjura hormat.

“Tak mungkin aku beradu kepandaian denganmu, prajurit. Engkau ahli di medan tempur, bukan di arena pertandingan. Mundurlah kau, paksalah tuanmu Suma Banding untuk segera mengumumkan kemenangan kami!” Mpu Bayan memandang sebelah mata.

“Dasar engkau orang tua tidak mengerti dihormati, baiklah jika engkau memandang remeh, aku tak sungkan lagi untuk menggebuk pantatmu yang kotor itu!” Bagas Rilau langsung menerjang musuhnya. Di saat menegangkan itulah tetiba di tempat itu tercium bau semerbak mewangi. Sepintas wangi itu seperti harus bunga Melati, tetapi aromanya lebih kuat dan menusuk indera penciuman.

“Mundurlah engkau prajurit. Bagaimana bisa pemimpin pasukan sepertimu bertindak gegabah seperti ini. Tugasmu adalah mengamankan tempat ini dan mengamankan raja. Jangan berbuat hal yang nantinya akan engkau sesali seumur hidup!” Tetiba di tempat itu telah muncul seorang perempuan berpakaian merah. Ia mengenakan mahkota dari jalinan rumput kering. Di atas mahkota bertengger hiasan dari jamur. Perempuan bermata tajam itu memiliki kecantikan yang membuat orang-orang yang melihatnya berdecak kagum. Seketika suasana kembali riuh rendah. Tak ada yang tahu siapa gerangan perempuan yang baru datang itu.

“Hei perempuan molek. Jangan engkau mengorbankan kulit putihmu yang mulus itu. Aku tak tega melukai perempuan secantik engkau. Mundurlah sebelum racun di tanganku ini melukaimu!” Meski memilih kata yang cenderung meremehkan lawan, namun dalam hatinya Mpu Bayan terlihat berhati-hati. Menurut perkiraannya perempuan yang baru datang itu memilik kepandaian yang tidak bisa terukur olehnya. Kedatangannya yang tiba-tiba menjadi bukti bahwa perempuan yang baru datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Sebutkan namamu terlebih dahulu, sebelum putrimu yang jelita ini mencabut nyawamu. Aku tak ingin membunuh orang yang tidak aku ketahui namanya.” Meski disampaikan dengan suara yang lembut, namun ucapan perempuan cantik itu tak urung membuat orang yang mendengarkannya bergidik ngeri. Bagaimana bisa seorang perempuan secantik dia bisa berkata sadis seperti itu.

“Oh ya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Mpu Bayan. Aku adalah utusan dari Malaka. Seperti yang baru engkau ucapkan aku juga belum mengenal dirimu. Jangan sampai kakekmu yang sudah tua ini merontokkan gigimu yang putih itu tanpa mengetahui siapa dirimu ini,” Mpu Bayan memakai ancaman lawan sekaligus untuk menjatuhkan mental lawannya.

“Hahahaha…… Besar juga nyalimu, kakek keriput. Ketahuilah olehmu, tuan putri besarmu ini adalah Putri Cala. Aku adalah putri dari Pimpinan Perkumpulan Bendawa. Orang yang baru engkau perdaya dengan racun tadi adalah ayahku. Ayo cepat keluarkan seluruh racunmu, biar aku jadikan makanan untuk membuat putih kulitku.” Ucapan perempuan cantik itu seketika membuat geger. Mereka selama ini hanya mendengar khabar burung tentang adanya seorang perempuan cantik yang kemudian dipersunting oleh Raden Kuning. Mereka selama ini tahunya jika Putri Cala tak mau turun ke dunia luar. Tak disangka di saat kritis seperti sekarang ini, ia tetiba muncul.

“Maafkan aku yang tidak mengenal tingginya langit dan dalamnya lautan. Ternyata engkau Putri Cala yang tersohor itu. Janganlah engkau memaksaku untuk menurunkan tangan jahat, Putri. Lebih baik engkau berperan sebagai tabib untuk menolong orang-orang yang keracunan. Aku mendapat khabar jika engkau dan anakmu kebal terhadap segala jenis racun,” Mpu Bayan memandang jerih.

Seperti tak mau terpengaruh oleh lawannya, Putri Cala kemudian mengangkat tangan kanannya. Ia kemudian menunjuk lawan seraya membentaknya.

“Lukalah engkau orang tua!”

“Uh, ah…. a…a…. apa yang telah engkau perbuat, Putri. Mengapa tenaga racunku bergolak seperti ini.” Mpu Bayan gelagapan. Bagaimana mungkin hanya dengan menunjuknya, Putri Cala mampu membuat liar ilmu racun yang dikuasainya.

(Bersambung)

Apa yang akan terjadi selanjutnya. Nikmati kisahnya besok ya. 

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang