Bertarung sihir

874 51 1
                                    

Dalam pandangan mata mereka, pria bersorban seperti mengendarai ular naga yang memiliki sirip di kedua sisi kepalanya. Sekilas hewan itu mirip ikan besar yang bertubuh panjang seperti ekor ular. Hewan aneh yang dikendara pria aneh itu menghadang perahu yang ditumpangi para Depati. Raden Sabtu yang terkena racun masih tak sadarkan diri, kini mereka mendapat ancaman lebih hebat lagi.

Depati Santun segera menutup pandangan matanya. Dalam keadaan mata tertutup, ia tak terpengaruh dengan ilmu sihir lawan. Tetapi entah mengapa, ada keinginan yang kuat mendorong ia untuk selalu membuka matanya. Makin lama, mereka yang berada di atas perahu semakin terpengaruh dengan pria pengendara ikan mirip naga yang membuat oleng perahu. Depati Rengkaling yang temperamen bahkan lebih dulu terkena pengaruh sihir sehingga ia saat itu menggigil seperti orang yang sangat ketakutan.

Meskipun Depati Santun berulang kali memperingatkan agar mereka tidak terpengaruh dengan ilmu sihir lawan, tetapi lama kelamaan dirinya pun tak mampu meredam pengaruhnya. Dalam perjuangannya melawan kekuatan magis itu, Depati Santun akhirnya duduk bersila di atas geladak, menutup mata dan mengatur nafasnya. Dalam keadaan terdesam seperti itu, tetiba terdengar suara orang tertawa terkekeh.

“Hihihihihi……….. segala macam ilmu sihir murahan ini, mana bisa menakutiku. Ayo engkau pria bersorban, jingoklah majikan kau yang baru datang ini.” Suara itu berasal dari orang tua cebol yang mengendarai perahu kecil. Entah kapan perahu kecil itu datang, tetiba ia sudah menempel di perahu yang ditumpangi Raden Sabtu. Turut bersamanya seorang wanita tua berkebaya dan remaja tanggung yang juga ikut memamerkan giginya. Terlihat sekali anak kecil itu senang hatinya melihat ada orang menunggangi ikan naga.

Anehnya, setelah suara orang tua cebol terdengar, pengaruh sihir pria bersorban langsung hilang. Depati Santun yang sebelumnya menutup mata, kini dapat melihat siapa orang cebol yang datang menolongnya.

“Aih, kiranya tuan Belingis, Nyai Derimas dan Raden Gatra. Terimakasih telah menolong kami, tuan!” Depati Santun menjura hormat.

“Jangan kalian senang terlebih dahulu, cebol. Lihatlah perahu yang engkau tumpangi itu dipenuhi oleh semut merah.” Pria bersorban menggerakkan jarinya menunjuk ke arah perahu yang ditumpangi Belingis. Dalam pandangan Depati Santun, tetiba banyak sekali semut merah yang mengerubungi Belingis.

Tubuh Belingis bergetar hebat. Mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. Dengan cara yang sama, jarinya menunjuk ke arah lawan. Ikan mirip naga yang ditumpangi pria bersorban telah berubah menjadi perahu biasa. Dan tetiba  semut merah yang tadinya menyerang perahu Belingis, pindah ke perahu lawannya.

“Kau makanlah bersama semut rangrang itu. Aku tak sudi. Bukankah engkau juga tak suka dengan semut, Nyai?” Belingis terbahak-bahak.

“Aku memang tak suka semut rangrang, kakang. Biarlah semut itu menjadi teman orang bersorban itu saja, hihihihihi……..!” Nyai Derimas kini yang terkekeh.

Adu ilmu sihir itu terus berlangsung. Tetiba di muara Sungai Komering itu datang lima perahu yang ditumpangi belasan pria bersorban. Mereka membantu pria bersorban pertama menyerang dengan menggunakan ilmu sihir. Keadaan berbalik. Nyai Derimas yang membantu suaminya, juga terlihat kewalahan menghadapi serangan sihir dari banyak pria bersorban itu.

“Cepatlah engkau obati Raden Sabtu yang terkena racun itu. Jika tidak segera ditolong, jiwanya dapat terancam!” Nyai Derimas mengirimkan perintah kepada muridnya dengan mengirim suara jarak jauh.

Raden Gatra segera melompat ke perahu yang ditumpangi para Depati. Dengan cekatan tubuhnya melayang menuju perahu di sebelahnya. Ia mendarat dengan mulus di geladak tanpa membuat perahu bergoyang. Dengan usianya yang masih muda itu, ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tahap yang sedemikian tinggi. Depati Santun yang memperhatikannya, hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya tanda bahwa ia kagum dengan anak kecil tersebut.

Tanpa banyak bicara, Raden Gatra segera memberikan nafas buatan dengan cara menghirup udara dari mulut Raden Sabtu. Beberapa kali tindakannya itu ia ulangi. Hingga akhirnya Raden Sabtu mulai menggerak-gerakkan tubuhnya.

“Hei, lihatlah. Bagaimana mungkin anak kecil ini mampu menghirup racun dari tubuh Raden Sabtu tanpa ia tertular racun. Ah, banyak sekali keanehan yang kita alami kali ini Depati Santun.” Depati Rengkalis yang telah sadar dari pengaruh sihir berdecak kagum. Ia tak menyangka jika dalam usianya yang masih tergolong bocah, Raden Gatra mampu menetralisir racun dengan cara seperti itu.

Sependidih air, Raden Sabtu mulai membuka matanya. Meskipun awalnya ia belum bisa melihat dengan baik, namun setelah beberapa saat akhirnya ia dapat melihat bahwa kehadiran Raden Gatra. Ia segera bangkit dari posisi tidur dan melihat bahwa para Depati dan murid padepokan yang berlayar bersamanya masih berada di atas perahu yang sama.

“Aih, kiranya Raden Gatra telah menyelamatkan nyawaku. Terimakasih, jika saja engkau terlambat datang mungkin nyawaku telah melayang.”

“Hehehehe….., engkau begitu sungkannya dengan diriku, Raden Sabtu. Baik kalau begitu engkau ingat-ingatlah jasaku hari ini. Engkau berutang satu kepadaku.” Raden Gatra kembali terkekeh. Sorot matanya yang ganjil membuat prilakunya juga aneh. Raden Sabtu yang mahfum atas keanehan anak kecil yang terhitung keponakannya itu. Ia tak menanggapi ocehannya. Pandangannya diarahkan kepada Belingis dan Nyai Derimas yang tengah terdesak diserang oleh ikan mirip naga oleh belasan orang bersorban.

“Hei, kalian orang-orang bersorban. Mengapa kalian memakai sorban ular kobra!” Raden Sabtu tetiba berteriak nyaring. Teriakannya itu langsung mempengaruhi adu ilmu sihir itu. Kakek Belingis dan Nyai Derimas yang sebelumnya terdesak, tetiba mendapat bantuan dari suara yang diteriakkan oleh Raden Sabtu.

“Aih, engkau telah siuman Raden Sabtu. Mereka itu sepertinya tahu engkau menguasai ilmu kebatinan yang mumpuni. Serangan pertama yang meracunimu itu sudah direncanakan mereka sebelumnya.” Nyai Derimas tetiba bicara seperti orang normal.

Akibat pengaruh suara Raden Sabtu, belasan pria bersorban nampak memejamkan matanya dan bersemedi. Sedemikian hebatnya pengaruh suara yang dilontarkan putra Pangeran Arya Mataram itu, sehingga orang-orang berhidung mancung yang sebelumnya di atas angin tetiba sekuat tenaga berupaya lepas dari pengaruh suara Raden Sabtu.

“Bukalah mata kalian, lihatlah siapa aku.” Raden Sabtu kembali mengeluarkan suara.

Pria bersorban yang tengah bersemedi memejamkan mata tetiba terpengaruh oleh suara itu. Mereka sontak membuka mata dan langsung bersujud ketika melihat Raden Sabtu. Di mata mereka Raden Sabtu itu adalah guru mereka yang sangat mereka takuti.

“Ampunkan kami, guru. Kami tak tahu jika yang kami serang itu adalah engkau. Terimalah sujud kami sebagai permintaan maaf!”

“Enak saja kalian bicara, segera pukul pantat kalian seratus kali, baru senang hatiku melihatnya!” Suara itu adalah suara Belingis. Ia yang berpengalaman segera mahfum jika lawan-lawannya itu kali ini tak berkutik menghadapi kekuatan batin yang dimiliki Raden Sabtu. Dalam keadaan seperti itu, mudah sekali bagi Belingis untuk mempengaruhi lawannya meskipun mereka memiliki ilmu sihir yang kuat.

“Siap, guru!” seru mereka hampir berbarengan.

“Dar, Dar, Dar.” Tetiba terdengar suara letusan senjata api. Bau mesiu langsung menyengat. Dari pinggiran sungai nampak puluhan orang bercadar melepaskan tembakan asap beracun ke perahu yang ditumpangi Raden Sabtu. Seketika belasan pria bersorban yang hendak memukul pantatnya tersadar.

“Celakalah engkau anak muda. Lihatlah air di sungai ini berubah menjadi es!” Suara itu yang dikirim dari daratan itu terdengar mentereng. Belingis dan Derimas segera terpengaruh. Demikian pula dengan para Depati dan murid padepokan Tinggi Panular.

“Jangan dengarkan suara orang geblek itu. Kalian dengarkanlah perintahku. Air sungai yang membeku, kini mencair kembali!” Raden Sabtu kembali berteriak kencang. Namun kali ini suaranya terdengar tak sekeras sebelumnya.

“Aih, hebat sekali orang yang berada di daratan itu!” Raden Sabtu bergumam sendiri. Bulu kuduknya tadi langsung merinding mendengar suara yang dikirim dari daratan tersebut.

(Bersambung)

Jangan lupa vote, dan komen. Seperti biasa jika ingin author cepat update tulis komentar sebanyak-banyaknya 🙏

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now