Raden Gatra

1K 41 0
                                    

Setelah mual dan muntah, Putri Cala terlihat segar kembali. Raden Kuning meminta istrinya istirahat. Dasar Putri Cala keras kepala, ia kembali melanjutkan melatih jurus Mantra Matahari. Beralasan memanfaatkan waktu tujuh hari cahaya bulan purnama, Putri Cala meminta Raden Kuning untuk mendukungnya menguasai jurus itu agar dapat segera keluar dari gua Sembilang. Sayangnya, hingga hari ketujuh purnama berlalu, tangga ikan yang dihasilkan oleh jurus Mantra Matahari tak bertambah tinggi.

“Mengapa aku tak bisa menambah kekuatan tenaga Sembilang untuk membuat tangga ikan menjadi lebih tinggi?” Putri Cala frustasi. Hingga purnama berlalu jurus Mantra Genggam tak mengalami kemajuan.

Raden Kuning justru mendapati istrinya kerap sekali mual dan muntah. Awalnya ia beranggapan itu adalah efek dari melatih jurus Mantra Matahari. Namun ia curiga setelah melihat perangai Putri Cala berubah manja dan kerap sekali marah-marah tanpa alasan yang jelas. Hingga akhirnya di saat senja temaram, Raden Kuning mendapat berita yang mengejutkannya.

“Aku hamil, Kakang. Kita akan punya anak sebentar lagi.” Putri Cala memberi khabar gembira itu dengan sumringah.

“Benarkah, Putri. Aku akan menjadi seorang ayah. Engkau harus menghentikan sementara melatih jurus Mantra Matahari. Aku khawatir kesehatan anak kita.” Raden Kuning memberi perintah. Putri Cala menganggukkan kepala tanda setuju.

Demikian mereka berdua sepakat untuk memprioritaskan lahirnya si jabang bayi ketimbang melanjutkan berlatih ilmu dari kitab Mantra Sembilang. Meskipun tak berlatih fisik, namun Putri Cala terus berpikir bagaimana cara menggunakan jurus Mantra Matahari agar dapat keluar dari gua Sembilang. Ia selalu memikirkan semua kemungkinan agar dapat memecahkan misteri tersebut. Padahal setidaknya Putri Cala sudah menguasai sebagian jurus Mantra Matahari sebagaimana yang diajarkan dalam kitab.

Delapan purnama berlalu, kesunyian di dalam gua Sembilang dipecahkan oleh tangisan bayi. Ya, di malam itu Putri Cala telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan seperti ayahnya. Raden Kuning menyambut kelahiran putranya dengan suka cita. Sendirian ia mengurus persalinan istrinya sekaligus mempersiapkan tempat yang nyaman untuk si jabang bayi. Raden Kuning telah memberikan nama bagi buah hatinya yaitu Sembilang Rupagatra.

“Lihatlah istriku, anak kita Raden Gatra ini. Ia sangat mirip dengan dirimu. Semoga kelak ia akan dapat membanggakan orang tuanya dan menjadi anak yang berbakti.” Raden Kuning mendekatkan si jabang bayi kepada ibunya.

Kehadiran buah hati mereka membuat suasana di dalam gua Sembilang lebih berarti. Raden Kuning kesehariannya disibukkan oleh Raden Gatra sedangkan istrinya melanjutkan melatih jurus Mantra Matahari. Hingga akhirnya ketika sang putra sudah mampu berjalan, Putri Cala Rupagatri menemukan jalan untuk keluar dari gua Sembilang.

“Kakang ingatkah engkau dulu aku pernah menyampaikan kepadamu tentang jalan keluar yang ada di dasar telaga. Hari ini aku kembali memikirkan kemungkinan kita bisa keluar dari sini dari dasar telaga. Tadi aku sudah menyelam ke dasar telaga dan apa yang aku lihat membuatku yakin bahwa ada jalan keluar di dasar telaga itu.”

“Ya, dulu engkau pernah menyampaikan kemungkinan tersebut. Tetapi pertanyaanku masih sama. Bagaimana mungkin kita dapat menahan nafas di dalam air begitu lama untuk melalui jalur itu. Terlebih sekarang ada Raden Gatra bersama kita?” Tanya Raden Kuning.

“Itulah teka-teki yang coba aku pecahkan, Kakang. Di dalam kitab Mantra Sembilang dijelaskan bahwa kita akan bisa keluar dari gua ini jika telah menguasai tiga jurus sakti Mantra Tunjuk, Mantra Genggam dan Mantra Matahari. Secara keseluruhan aku sudah menguasai tiga jurus itu. Aku kini bisa memerintah penghuni telaga itu untuk ikut keinginanku. Terakhir aku bisa membuat tangga dari ratusan ikan dengan ketinggian satu depa. Tadinya aku berpikir jika ratusan ikan itu bisa membentuk tangga hingga ke atas sana, maka itulah jalan keluar kita. Namun sekarang aku justru berpikir kebalikannya.” Putri Cala menjelaskan dengan semangat.

“Biarkan aku menebaknya. Pasti engkau saat ini berpikir bahwa ratusan ikan itu seharusnya membuat jalan untuk kita ke dasar telaga. Bukankah begitu istriku?” Tanya Raden Kuning.

“Ya, Kakang. Kurang lebih seperti itu. Aku akan menggunakan jurus Mantra Matahari untuk memerintahkan ratusan ikan membuat lingkaran kedap air. Kita bertiga akan masuk dalam lingkaran itu hingga mereka mengantarkan kita keluar melalui dasar telaga.”

“Hebat sekali. Mengapa hal sepele itu tidak terpikirkan olehku. Engkau memang pintar sekali istriku. Tak salah engkau menjadi ibu dari anak-anakku.” Raden Kuning melonjak kegirangan.

Raden Kuning kemudian meneliti pasang surut air telaga Sembilang. Ketika pagi hari air pasang mulai surut dan akan kembali pasang saat matahari mulai tergelincir ke ufuk Barat. Mereka akan memanfaatkan waktu surutnya air telaga untuk keluar dari dasar telaga. Pagi itu sambil menggendong Raden Gatra, Putri Cala dan Raden Kuning bersiap di pinggir telaga. Putri Cala mengerahkan konsentrasinya untuk menggunakan jurus Mantra Matahari. Ratusan ikan muncul ke permukaan dan berkomunikasi melalui kekuatan batin pewaris ilmu Rakryan Rupagatri. Ratusan ikan berlompatan ke udara silih berganti dan membentuk lingkaran. Dengan isyarat matanya, Putri Cala meminta suami dan anaknya masuk terlebih dahulu ke dalam lingkaran. Selanjutnya ia menyusul ke dalam lingkaran yang terbentuk dari ratusan ikan.

“Mantra Rupagatri!” Putri Cala berteriak kencang. Dan ratusan ikan segera menutup lingkaran lalu pasukan ikan itu bergerak ke dalam telaga membawa tiga orang penumpang. Sebentar saja mereka sudah tiba di dasar telaga. Putri Cala terus berkonsentrasi memerintahkan pasukan ikan untuk mengikuti jalannya arus air surut yang bergerak terus menuju celah di dinding dasar telaga. Sependidih air, Raden Kuning melihat cahaya di kejauhan. Sepertinya itu adalah cahaya matahari pagi. Berbeda dengan cahaya matahari yang biasa mereka lihat di dalam gua Sembilang. Cahaya yang dilihatnya kali ini lebih terang.

Raden Kuning tak mau mengganggu konsentrasi istrinya yang tengah berupaya keras mengendalikan ratusan ikan yang terus berenang membawa mereka menuju keluar dari telaga. Hingga akhirnya mereka muncul ke permukaan di sebuah sungai besar yang berada di bawah tebing jurang tempat di mana lebih dari lima belas purnama yang lalu mereka tersesat.

Sepasang suami istri itu melompat keluar dari lingkaran dan menjejakkan kakinya di daratan. Matahari belum tinggi benar ketika Raden Kuning, istri dan anaknya melakukan sujud syukur di pinggir sungai.

“Kita telah bebas istriku. Ayo kita menghadap keluargamu. Semoga mereka bisa memaafkanku yang pernah menculikmu.”

(Bersambung)76

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن