Berdamai

999 40 0
                                    

Dengan mudah tangan kecil mungil itu melerai adu tenaga dalam yang melibatkan tiga pendekar sakti. Tenaga Belingis dan Nyai Derimas yang tengah berupaya mengatasi tenaga sedotan jurus Bumi tetiba ditarik tenaga asing masuk ke tempat hampa udara. Begitu pula tenaga semesta Raden Kuning tak lagi berfungsi karena mengalami hal serupa. Setelah tiga tenaga yang saling tumbuk itu teralihkan ke tubuhnya, Raden Gatra mendorong kedua tangannya ke tempat berbeda. Dengan lembut Raden Kuning terdorong satu langkah ke belakang, begitu pula yang terjadi dengan Belingis dan Nyai Derimas.

“Hihihihi…..a-a-yah, nyai….. ayok main cama acu!” Suara cadel Raden Gatra mengejutkan semua yang ada di sana.

“Subhanallah, cucuku Raden Gatra. Engkau anak pilihan. Bagaimana mungkin dengan usiamu yang masih kanak-kanak, engkau sudah mampu melumpuhkan tenaga kalian. Luar biasa cucuku ini!” Pangeran Arya Mataram berseru kaget.

Keterkejutan mereka yang hadir menonton pertarungan teralihkan ketika Raden Kuning menegur putranya. Dengan menahan rindu, ia setengah berlari menghampiri putranya, Raden Gatra yang telah lama terpisah.
“Sini, Ngger. Ayah rindu kepadamu.” Raden Kuning menyapa putranya. Tak ada lagi keraguan di wajah Raden Gatra. Sepertinya ia sudah ingat pria di hadapannya itu adalah ayahnya. Dengan berlari kecil ia juga menyambut pelukan Raden Kuning. Keduanya saling berdekapan melepas rindu. Raden Kuning kemudian menggendong putranya sambil menitikkan air mata. Tak lama berselang Raden Gatra turun dari gendongan ayahnya dan kembali berlari menuju tempat Nyai Derimas berdiri.

“Ayah, ini Nyai. Aku suka ikut Nyai!” Raden Gatra berseru girang sambil memeluk Nyai Derimas.

Pemandangan langka itu mengejutkan Raden Kuning. Perkiraannya selama ini jika putranya itu pasti telah menjadi bahan siksaan Nyai Derimas. Ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti. Raden Gatra malah senang bersama penculiknya. Itu menandakan bahwa putranya itu mendapat perlakuan baik.

“Iya, cucuku. Ayo kita pulang ke rumah!” Nyai Derimas hendak beranjak pergi.

“Tunggu, Nyai. Engkau tidak boleh membawa putraku. Ia harus kubawa pulang!”

“Tidak bisa. Aku memiliki hak untuk mendidiknya sesuai perjanjianku dengan Mentrabang. Pertandingan kita tadi tidak ada yang kalah dan menang. Jadi perjanjian kami dengan Mentrabang mertuamu tetap berlaku!” Nyai Derimas menjawab tak acuh.

“Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Berikan kebijaksanaanmu agar putraku bisa kubawa pulang ke rumah.” Raden Kuning memohon bantuan dari pamannya.

“Baiknya kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Ayok kalian semua tamuku, kita naik ke rumah. Mimi Aisyah segera siapkan penganan ringan, kita kedatangan tamu istimewa.”

Seluruh tamu Pangeran Arya Mataram akhirnya naik ke atas tangga rumah kayu. Pintu rumah kayu itu berukiran khas keraton Djipang. Lambang keraton Djipang ceplok mawar sembilan yang terukir di atas punggung penyu, terpahat dengan apik di pintu rumah. Bujang Jawa memang memiliki ketrampilan di bidang ukiran kayu. Ia bahkan pernah menimba ilmu di Sam Po Kong belajar membuat galangan kapal. Rumah kayu yang ditempati Pangeran Arya Mataram berukuran paling besar di antara rumah-rumah yang ada di sana. Ruang di bagian dalam sangat luas sehingga bisa menampung seratus orang. Rumah itu memang kerap dijadikan tempat pertemuan oleh penduduk.

Dalam acara-acara pernikahan yang dirangkai dengan acara adat, rumah yang dirancang kokoh dan indah itu menjadi tempat prosesi pemberian gelar adat. Pangeran Arya Mataram menggunakan risalah yang terdapat dalam kitab Piyagem Pangeran ing Djipang dicampurkan dengan adat istiadat lokal untuk menjadi pedoman menggelar ritual pernikahan. Dengan cara begitu, ia dengan cepat mampu menyebarkan agama Islam di sepanjang sungai Ogan dan sungai Komering.

“Berhubung aku diminta oleh keponakanku Raden Kuning agar memberikan pandangan atas persoalan yang dihadapinya, maka aku perlu memberikan saran kepada Tuan Belingis dan Nyai Derimas terkait hak pengasuhan Raden Gatra. Tetapi sebelum itu, aku perlu mendengarkan kehendak dari para pihak. Aku mulai dari Raden Kuning, silakan Ngger,” ujar Pangeran Arya Mataram.

“Daulat gusti. Aku sebagai ayahnya tentu saja menginginkan putra kami kembali ke rumah. Biarlah ibunya yang mengasuh Raden Gatra. Aku menginginkan putra kami pulang tanpa syarat,” tegasnya.

“Ya, ya. Lalu bagaimana dengan kalian, Derimas?”

“Hihihihi….., enak saja kau asal bacot. Raden Gatra hingga nanti usia 17 tahun menjadi tanggung jawab kami. Itu sudah diikrarkan oleh kakeknya sendiri, Mentrabang puluhan tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama menjadi saudara seperguruan.” Nyai Derimas tetap kukuh dengan pendiriannya. Sedangkan Belingis hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda ia mendukung perkataan istrinya itu.

“Baik, baiklah. Aku akan menawarkan jalan tengah. Semoga kalian bisa menerimanya. Hak asuh Raden Gatra tetap berada di tangan engkau Derimas, tetapi dalam jangka waktu setahun sekali engkau harus mempertemukan anak ini dengan ibu dan ayahnya. Engkau harus menyisihkan waktu satu bulan dalam satu tahun untuk mengunjungi rumah Raden Kuning. Tak baik memisahkan anak dengan ibu dan ayahnya, Derimas.” Pangeran Arya Mataram telah memberikan kebijaksanaan.

“Bagaimana kalau kami menolak?” Tanya Belingis.

“Jika ada diantara kalian yang menolak saranku ini, maka aku akan mengambil keputusan sendiri. Raden Gatra akan aku ambil sebagai anakku dan ia akan aku asuh disini. Kalian boleh mengunjunginya, tetapi tidak boleh membawanya!” Tegas Pangeran Arya Mataram.

Mendengar ketegasan suara Pangeran Arya Mataram, sepasang suami istri Belingis dan Derimas nampak jerih. Mereka berdua segera meralat pertanyaannya dan menyatakan setuju dengan saran Pangeran Arya Mataram yang pertama. Dalam setahun mereka akan berkunjung ke tempat Mentrabang dan mempertemukan Raden Gatra dengan ibu dan kakeknya.

“Baik agar perjalanan keponakanku Raden Kuning tidak sia-sia, maka kalian berdua harus segera mempertemukan Raden Gatra dengan ibunya. Kalian juga harus menyampaikan kesepakatan ini kepada Mentrabang. Berarti urusan kalian berdua dengan keponakanku Raden Kuning, dianggap selesai. Dan diantara kalian tidak ada lagi permusuhan. Ayok kita rayakan kesepakatan ini dengan minum wedang jahe.” Pangeran Arya Mataram mempersilakan tamunya untuk menyantap hidangan yang telah disajikan.

Hari beranjak sore ketika Belingis dan Nyai Derimas pamit undur diri. Raden Kuning sempat memeluk erat putranya Raden Gatra sebelum akhirnya mereka pergi dari tempat itu menuju ke perkampungan Mentrabang di bilangan Kawasan hutan Sembilang. Jika saja tidak ada tugas negara yang akan dibicarakan oleh Pangeran Arya Mataram, pastilah Raden Kuning akan membawa sendiri putranya ke hadapan istrinya Putri Cala. Ia paham betul betapa murungnya istrinya itu selepas kepergian Raden Gatra. Terlebih kepergian putra mereka itu diculik oleh orang yang memiliki dendam dengan Mentrabang.

***
(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang