Takdir Perjaka Kurap

788 40 2
                                    

Sesepuh Panji langsung beradu jurus dengan tamu tak diundang itu. Dalam pandangannya Kedum melihat bahwa orang yang baru datang itu mirip dengan Puyang Masumai yang hampir mencelakakannya dan juga telah menolongnya. Tak ingin terus dipusingkan dengan misteri Puyang Masumai, Kedum akhirnya berkonsentrasi menonton pertarungan dua orang sakti itu.

Mereka berdua menggunakan jurus silat uluan. Sesepuh Panji terlihat lebih tenang. Kendati jurusnya juga mencakar dan menerkam, tetapi serangannya tidak trengginas seperti lawannya. Sudah puluhan jurus mereka bertarung, tetapi Kedum tak juga dapat menyimpulkan siapa yang lebih unggul. Hingga akhirnya kedua orang aneh itu mengeluarkan jurus pamungkas.

Sesepuh Panji melompat ke belakang, sementara kedua jari tangannya membentuk cakar. Hanya sesaat ia menghimpun tenaganya, lalu tanpa bersuara ia melepas pukulannya ke arah lawan. Angin pukulan itu bercuitan hingga memekakkan telinga.

"Aih, dahsyat sekali jurus pukulan silat uluan itu jika dimainkan oleh sesepuh Panji." Kedum bergumam sendiri.

Sementara lawannya juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling melepas pukulan. Saat itu matahari telah tergelincir di ufuk Barat, malam menjelang. Sinar sang surya telah redup menerangi tempat itu, dua orang sakti dari Gunung Dempo saling beradu kesaktian.

"Suit, dar!" Suara pukulan beradu. Tenaga dalam keduanya sangat dahsyat. Kedum terdorong ke belakang dua langkah. Tanah tempat beradunya tenaga berlubang kira-kira seukuran tangan orang dewasa. Dua orang sakti itu sama-sama terdorong ke belakang enam langkah. Dari bibir keduanya terlihat menetes darah segar.

"Kemampuanmu terus mengalami kemajuan, Penjaga Dempo. Janganlah engkau menakuti orang-orang dengan menjadi Puyang Masumai. Aku mengaku kalah darimu!" Sesepuh Panji yang welas asih memuji kepandaian lawannya.

"Jangan engkau mengejekku, orang tua jelek. Memang engkau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Tetapi begitu pula aku tak pernah bisa mengalahkanmu. Penyamaranku sebagai Puyang Masumai adalah untuk menjaga Gunung Dempo dari tangan orang jahat. Seperti muridmu ini. Hampir saja ia salah menghimpun tenaga ketika mendapat petunjuk Suhu. Beruntung kala itu aku sedikit penasaran dengannya, jadi kuputuskan untuk membantu sekaligus meracuninya, hahahaha. Dalam pandanganku, kepandaiannya tak kalah dengan kepandaianmu. Bagaimana mungkin engkau berani mengaku guru kepadanya." Penjaga Dempo tertawa mengejek.

"Engkau memang tak pernah berubah. Selalu tak mau kalah. Ya, benar aku diangkat guru oleh Kedum. Ia akan belajar ilmu agama kepadaku. Tetapi hingga saat ini ia belum benar-benar menjadi muridku. Masih ada satu syarat lagi yang belum aku mintakan kepadanya."

"Hei orang gagah yang bernama Kedum. Jika orang tua itu banyak meminta syarat kepadamu, tinggalkan saja ia. Ikutlah denganku. Engkau akan aku ajari bagaimana menjaga alam sekaligus berguru langsung dengan alam. Kulihat selain menderita sedikit racun dari tenagaku, engkau telah terlebih dahulu terkena racun lain. Aku bisa mengobati penyakit gatalmu itu asalkan engkau mau menjadi muridku!" Penjaga Dempo menyampaikan keinginannya tanpa tedeng aling-aling.

Kedum hanya menyunggingkan senyum. Dalam hatinya ia telah mantap. Sesepuh Panji adalah orang yang dimaksud oleh Pangeran Arya Mataram. Kepadanyalah Kedum akan belajar tentang ilmu agama dan sekaligus ia minta agar penyakit gatalnya disembuhkan.

"Mengapa engkau hanya melemparkan senyuman, Kedum. Orang seperti Penjaga Dempo itu harus ditegasi agar ia tahu bahwa keinginannya mengambilmu sebagai murid tak mau engkau terima!" Sesepuh Panji menegur Kedum.

"Ya, benar apa yang dikatakan guruku. Saat ini aku belum bisa menerima tawaranmu, tuan. Meskipun dalam hati aku merasa sangat bangga mendapat perhatian darimu. Tetapi aku terikat takdir dengan guruku sesepuh Panji untuk belajar ilmu agama." Kedum bicara hati-hati. Ia tak mau menyakiti orang yang telah bersedia menjadi gurunya.

"Orang tua jelek itu memang selalu bisa mempengaruhi orang ya. Baiklah jika saat ini engkau belum bisa ikut denganku, mungkin setelah engkau bosan mendengarkan ceramahnya yang bau, engkau bisa mencariku di puncak Gunung Dempo. Aku pergi!" Secepat kilat Penjaga Dempo berlari. Meskipun tengah menderita luka dalam, tetapi kesaktiannya tak berkurang sedikit pun. Kedum hanya bisa menghela nafas panjang. Ia tak menyangka di tempat terpencil dan sunyi ini dirinya bertemu dengan orang-orang berkepandaian tinggi.

"Nah Kedum, cobalah engkau ceritakan pengalamanmu!"

"Baik, guru. Saat aku mendaki Gunung Dempo, kabut asap tebal menghalangi pandangan mataku. DI saat itu tetiba muncul orang yang mirip Datuk Panjaga Dempo tadi. Tetapi sorot matanya bersinar dan wajahnya juga mirip dengan harimau. Orang itu memintaku untuk mengikutinya. Awalnya aku manut saja, tetapi setelah menempuh jalan terjal mendaki, aku mulai khawatir. Jangan-jangan ada jurang di depan jalan yang kami tempuh. Benar saja, ketika aku memutuskan berhenti mengikutinya, orang itu hilang dibawa kabut asap. Lalu aku mengumandangkan adzan untuk mengusir kabut asap. Saat itu aku ternyata berdiri tepat di bibir jurang yang dalam."

"Jadi, orang yang engkau temui itu bukanlah Penjaga Dempo. Sampai dengan sebelum kalian bertarung tadi, aku masih menyangka jika mereka orang yang sama. Tetapi setelah aku perhatikan, mereka serupa tapi tak sama. Orang yang aku temui di tengah kabut asap tebal itu berbeda dengan Datuk Penjaga Dempo."

"Aih, jadi benar Puyang Masumai itu ada. Jika bukan engkau yang berkisah kepadaku, tentu aku tak percaya."

"Lalu mengapa Datuk Penjaga Dempo tadi menyamar sebagai Puyang Masumai, guru?"

"Ceritanya panjang, Kedum. Awalnya kami berdua adalah saudara seperguruan. Kami adalah santri yang berguru kepada Puyang Perikan. Tetapi selanjutnya ia memilih jalan sunyi dengan pergi ke puncak Gunung Dempo. Setelah kepergiannya, baru tersiar bahwa di puncak Dempo kerap terlihat manusia setengah harimau yang selalu menakut-nakuti orang luar yang mendaki gunung itu. Memang bagi kami Gunung Dempo adalah sumber penghidupan yang harus terjaga kelestariannya. Tugas mulia itu dipilih oleh Datuk Penjaga Dempo. Sedangkan diriku menjadi penerus Puyang Perikan."

"Ooo, mulia sekali jalan yang dipilih oleh Penjaga Dempo itu guru. Tadi guru menyampaikan bahwa masih ada syarat yang harus murid penuhi agar dapat menjadi menimba ilmu denganmu. Apakah itu guru?'

"Pagi hari nanti, engkau berjalanlah ke arah Barat. Di sana nanti ada sebuah perkampungan. Masuklah ke dalam kampung itu, nanti aku akan menantimu di sana," jelas sesepuh Panji. Setelah memberi petunjuk kepada calon muridnya, lelaki sepuh itu berjalan pelan menuju arah yang ditunjuknya lalu menghilang di balik pohon besar.

"Aih, banyak sekali pengalaman yang aku dapatkan di tempat ini. Semoga besok aku dapat memenuhi apa yang menjadi syarat dari guru Panji." Kedum kembali menghela nafas panjang. Ia kemudian menuju sungai kecil dan membersihkan diri serta bersuci. Malam itu, ia kembali tidur di bawah pohon rindang. Setelah dua hari berjalan, letih yang sebelumnya tak dirasanya mulai membuainya pulas beralaskan rumput kering. Lelaki perkasa itu tertidur nyenyak. Nyamuk hutan yang mendenging di telinganya seolah tak didengarkannya. Anehnya serangga malam itu tak mau hinggap di kulitnya yang penuh kurap itu.

"Bagaimana pemuda kurapan itu akan mampu membawa kemakmuran bagi dusun kita. Aku rasa dia bukanlah orang yang diramalkan oleh Puyang Perikan. Ayo kita uji saja kesaktiannya!" Tetiba dari rumpun semak perdu muncul dua pemuda tanggung. Jika dilihat dari penampilannya, pastilah ia kawula biasa. Dengan bertelanjang dada mereka mendekati Kedum yang tengah tertidur. Di tangannya masing-masing, pemuda itu menghunus pisau belati yang tajam.

(Bersambung)

Follow akun penulis yo

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora