Genting

712 42 4
                                    

"Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya Suma Banding.

"Prajurit jaga menemukan ini, tuan." Seorang prajurit menunjukkan seragam prajurit Wirabraja kepada penasehat kerajaan. Pakaian itu terkena bernoda darah.

"Pakaian siapa ini?"

"Menurut dugaan kami, ini adalah pakaian milik Manjar Bisma, tuan."

"Darimana engkau tahu jika ini miliknya?" Suma Banding bertanya dengan penuh selidik.

"Kami ingat pakaian ini karena tidak mau dilepaskan oleh Manjar Bisma, tuan."

"Mengapa ada noda darah di pakaian ini?"

"Kami tidak tahu, tuan."

Suma Banding kemudian memegang keningnya. Ia berpikir keras. Di sebelahnya Raden Sabtu nampak menganggukkan kepalanya. Sepertinya ia memikirkan sesuatu. Lalu ia menggamit tangan Suma Banding.

"Paman, aku ingin bicara empat mata denganmu," tukasnya. Tanpa menjawab permintaan Raden Sabtu, dengan isyarat tangannya ia meminta keponakan raja itu untuk mengikutinya.

"Prajurit, bukakan ruangan Senopati Bagas Rilau sekarang!" seru Suma Banding.

Bergegas beberapa prajurit berlarian menuju ruangan kerja Senopati Bagas Rilau. Mereka melaksanakan perintah Suma Banding. Ruangan kerja senopati tertata sangat apik. Buku-buku tertata di rak kerjanya. Di dalam ruangan kerja itu terdapat ruang lain yang biasa dipergunakan untuk rapat. Ruangan rapat itu pun tertata dengan rapi. Kesan yang tertinggal dalam ruangan itu adalah Senopati Bagas Rilau adalah orang yang apik.

"Apa yang ingin engkau bicarakan, Raden?" Suma Banding mengawali perbincangan mereka dengan pertanyaan singkat.

Anehnya ia tak membalas pertanyaan itu. Raden Sabtu malah mendekatkan dirinya dan membisikkan sesuatu. Suma Banding nampak menganggukkan kepalanya. Mereka berbicara dengan saling berbisik. Cukup lama perbincangan mereka. Namun kali ini Raden Sabtu sangat berhati-hati sekali kali ini. Beberapa kali pandangannya diarahkan ke sekeliling ruangan. Setelah merasa aman, ia kembali berbisik kepada penasehat kerajaan itu.

"Jika begitu menurut pandanganmu, maka tak ada pilihan bagiku selain melaksanakannya. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi saat ini."

"Ya, paman. Aku sangat yakin sekali dengan itu," suara Raden Sabtu terlihat menyakinkan.

"Jika begitu, ayo kita segera menghadap raja."

"Baik paman."

Setelah menyelesaikan bisik-bisik rahasia itu, mereka meninggalkan ruangan Senopati Bagas Rilau. Mereka menuju istana.  Prajurit jaga istana raja menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat. Kedua orang penting keraton Palembang itu bergegas masuk ke dalam istana raja. Ruangan kerja raja adalah tempat teraman di keraton Kuto Gawang. Penjagaan di ruangan itu sangat ketat. Prajurit jaga tidak saja siaga di depan pintu istana, tetapi di sekeliling tempat itu berjaga prajurit khusus yang berkepandaian tinggi.

Ki Gede Ing Suro menerima mereka di tempat paling pribadi yang berada di istana itu. Ruangan itu berlapis kayu tebal dan kedap suara. Beberapa lukisan bergaya seni tinggi tergantung di dinding. Raden Sabtu yang biasanya gemar dengan karya seni, tak sempat memperhatikan keindahan ruangan itu. Ia nampak gugup sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu.

"Assalamualaikum. Aih kiranya keponakanku sudah besar sekarang."

Kehadiran Ki Gede Ing Suro di ruangan itu seketika mencairkan suasana. Raden Sabtu hendak bersujud di hadapan raja Palembang itu, tetapi dengan sigap orang nomor satu di keraton Palembang itu memeluk tubuhnya. Kedua paman dan keponakan itu saling berpelukan haru. Suma Banding hanya menatap dengan pandangan kosong. Memang sejak tiba di keraton Palembang, Ki Gede Ing Suro baru kali ini berkesempatan bertemu secara pribadi dengan Raden Sabtu.

"Aku menduga jika kalian bergegas menghadapku seperti ini, pastilah ada sesuatu yang sangat penting yang hendak kalian sampaikan," ujar Ki Gede Ing Suro.

"Benar Yang Mulia. Pada intinya kami tidak bisa menjelaskan duduk persoalannya sekarang ini. Waktu pelaksanaan adu tanding besok harus terlaksana. Keadaan Palembang saat ini darurat, Yang Mulia. Untuk itu izinkan aku mendapat limpahan kewenanganmu untuk mengamankan Palembang dari rencana jahat perusuh. Sudah ada beberapa orang yang terbunuh di luar sana, Yang Mulia. Aku akan mempertanggungjawabkan semua tindakan yang akan diambil dengan taruhan kepalaku sendiri," jelas Suma Banding.

"Mengingat persoalan ini menyangkut keberlangsungan keraton Palembang di masa depan, maka aku juga menjaminkan leherku untuk mendapat kepercayaan dari Yang Mulia," sambung Raden Sabtu.

"Aih, sebegitu gentingkah persoalan ini. Jika memang kalian harus segera bertindak, maka aku akan memberikan kewenangan penuh kepada kalian untuk bertindak. Bawalah lencanaku ini." Ki Gede Ing Suro tak memerlukan banyak pertanyaan untuk memberikan apa yang diminta oleh orang kepercayaannya itu. Kehadiran Raden Sabtu bersama penasehat kerajaan membuatnya yakin jika apa yang hendak mereka lakukan adalah untuk keamanan keraton Palembang.

"Terimakasih, Yang Mulia." Suma Banding berlutut menerima lencana kebesaran keraton Palembang. Lencana itu terbuat dari emas. Sinarnya berkilauan ketika berpindah tangan diterima oleh Suma Banding. Lencana itu berbentuk ceplok mawar sembilan di tengahnya terdapat replika punggung bulus. Tangan Suma Banding masih bergetar ketika menerima kehormatan dari Raja Palembang itu.

"Kami pamit Yang Mulia," tutup Raden Sabtu.

Suma Banding segera mengumpulkan orang-orang kepercayaannya. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Agar tidak menimbulkan tanda tanya mengingat apa yang akan mereka kerjakan sangat penting, Suma Banding menunjukkan lencana raja.

“Daulat Kanjeng Gusti Yang Mulia. Kami akan mengerjakan semua tugas yang diperintahkan penasehat kerajaan.” Seketika puluhan prajurit pilihan itu menundukkan kepala dan memberikan hormat ketika dilihatnya Suma Banding menunjukkan lencana kerajaan.

“Aku tak ingin dalam menunaikan pekerjaan kalian bertanya alasannya. Kerjakan saja sesuai perintahku karena apa yang kita akan lakukan ini telah mendapat persetujuan dari Yang Mulia Ki Gede Ing Suro.

Suma Banding memberikan perintah untuk segera dilakukan para prajurit ketika malam tiba. Saat itu malam mulai membayang, matahari tergelincir dari orbitnya menyinari bumi. Para prajurit pilihan mendengarkan dengan seksama perintah yang disampaikan oleh Suma Banding. Tugas yang diperintahkan itu sungguh menuai pertanyaan. Tetapi mereka yakin bahwa apa yang akan dilakukan tersebut adalah untuk keselamatan kerajaan. Setelah menerima tugas, para prajurit pilihan kembali ke baraknya masing-masing.

“Ada satu lagi yang harus kita lakukan,  Paman. Izinkan aku menyampaikannya dengan cara yang sama dengan sebelumnya.” Raden Sabtu yang sedari tadi berdiam diri kembali bicara.

“Aih, belum selesaikah masalah kita Raden. Baiklah, ayo segera engkau sampaikan kepadaku!” Suma Banding merespon dengan sedikit terkejut. Sebelumnya ia tak menyangka jika masih ada yang rencana yang tertinggal di dalam otak Raden Sabtu.

“Ini terkait dengan keterlibatan kawan lama, Paman!”

(Bersambung)

Apa yang akan disampaikan oleh Raden Sabtu tentang “kawan lama”. Baca lanjutan kisahnya besok ya hehehehe. Jangan lupa like.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang