Memancing Harimau keluar dari sarang

792 38 9
                                    

“Trang!” Suara belati ketika menghujam dada Raden Sabtu. Belati tajam itu terlepas dari tangan lelaki itu. Raden Sabtu hanya meringis kesakitan. Pisau belati menusuk  baju pelindung yang dikenakannya meski tidak melukai, tetapi tetap saja mengakibatkan perih.

“Sadarlah engkau, Paman. Hiyaaaat!” Raden Sabtu langsung menghalau serangan susulan dari lelaki yang berada di bawah hipnotis itu. Setelah selamat dari maut, Raden Sabtu langsung mengambil kendali. Hanya sepeminum air lelaki itu mampu dilumpuhkan. Raden Sabtu menotok syaraf penting di bawah lehernya. Seketika lelaki keturunan China itu terkulai lemas.

Dalam keadaan tertotok, lelaki itu kembali tenang. Sorot matanya yang sebelumnya ganjil kembali normal. Raden Sabtu kembali bertanya dengan pengikut kelompok Ketua Li itu.

“Engkau hampir melukaiku, paman. Beruntung Paman Suma Banding telah membisikkan bahaya yang mungkin terjadi di tempat ini. Jika saja aku tidak memakai baju pelindung, tentu saja aku telah terkapar bersimbah darah. Musuh yang menyanderamu ternyata punya niat jahat terhadapku. Engkau istirahatlah dulu di sini, aku akan mengejar orang yang telah melukaimu. Prajurit, bantu paman ini. Baringkan ia kembali di kamar dan ikatlah kedua tangannya seperti saat semula kita temukan.” Raden Sabtu langsung melompat ke jendela yang terbuka menyusul Punggawa Kedum.

“Wush, des!” Suara pukulan tenaga dalam saling beradu menyambut kedatangan Raden Sabtu yang masih melayang di udara. Di bawahnya terlihat Punggawa Kedum tengah bertarung adu tenaga dalam dengan lelaki yang berseragam prajurit keraton Palembang. Di sekitar lokasi pertandingan itu telah mengepung rapat para prajurit jaga yang bertugas mengamankan penginapan Mandau.

“Hei, pengkhianat. Ilmu kepandaianmu ini tidak cocok dengan pangkat wedana yang engkau miliki. Jadi selama ini engkau memang sudah menyusup dan menyusun rencana untuk berkhianat dengan keraton Palembang. Biarkan aku dan prajurit setia keraton Palembang yang bertugas disini meringkusmu!” Punggawa Kedum menghardik musuhnya.

“Sebagian ocehanmu itu benar dan sebagian lainnya salah, prajurit purna tugas. Engkau sudah lama tidak lagi menjadi telik sandi, akibatnya otakmu menjadi dangkal. Lihatlah mereka yang mengepung kita ini. Kesemuanya adalah prajurit yang setia kepadaku, bukan kepada Palembang. Cepatlah engkau menyerah kalah, sebelum aku memerintahkan mereka untuk meringkusmu sebagai penjahat perang.” Orang berpangkat Wedana itu mengempos tenaga dalamnya. Seketika suasana pertarungan membuat sinar mentari yang bersinar malu-malu di senja itu menghangat. Pendaran hawa tenaga sakti dari dua orang berkepandaian tinggi itu membuat prajurit keraton yang berpangkat rendah berkeringat.

“Apa maksudmu aku salah, Wedana Sahibul?” tanya Kedum.

“Memang tak salah kesimpulanku bahwa engkau bukanlah prajurit berotak encer. Seluruh prajurit yang mengepung kita ini ada di bawah kendaliku. Mereka hanya tunduk dan taat kepadaku. Hei prajurit, siapkan pemanah. Lepaskan busur kalian ke arah prajurit pensiun ini. Hati-hati, jangan sampai busur kalian mengenai Raden Sabtu!” Seketika Wedana itu mengempos tenaga dalamnya untuk mendapatkan tenaga pantul dari lawannya. Dengan mudah ia berhasil melontarkan tubuhnya ke belakang.

Seketika prajurit yang mengepung pertarungan itu langsung membidik Punggawa Kedum dengan busur mereka. Ada sepuluh orang prajurit yang memegang busur. Mereka kemudian melepaskan anak panah mengarah ke titik mematikan di tubuh Punggawa Kedum.

“Aih, sungguh sial nasibku hari ini. Bagaimana mungkin puluhan prajurit pengkhianat ini justru bisa mendapatkan mandat mengamankan keraton Palembang. Dan mengapa pula aku yang harus berhadapan dengan mereka di saat perutku keroncongan seperti sekarang ini.” Punggawa Kedum mengoceh tak karuan.

Raden Sabtu terlihat terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka jika musuh sudah sedemikian dalam menyusup di keraton Palembang. Otaknya yang cerdas langsung berusaha mencari jalan keluar atas semua persoalan pelik itu. Matanya memutar ke kiri dan ke kanan tanpa henti pertanda ia tengah berpikir keras. Di saat genting itu, Punggawa Kedum merogoh koceknya dan melontarkan batu-batu kecil ke arah anak panah yang melesat ke arahnya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang