Bertemu Ilmu Hikmah

852 38 3
                                    

“Assalamualaikum warahmatullah....,” kakek tua mengucapkan salam tanda selesainya sholat fardhu. Punggawa Wijamanggala dan tiga orang prajurit mengikuti salam, sedangkan tujuh orang prajurit lainnya masbuk. Mereka menyempurnakan sholat mereka.

“Hei orang tua, jangan engkau merasa besar hati karena baru saja mengimami sholat kami. Maksud kedatangan kami ke kampung ini adalah untuk berperang. Jadi, berdasarkan hukum yang berlaku aku tak akan berdosa jika menghentikan suaramu dengan pisau ini!” Seorang prajurit tetiba telah menggenggam belati. Punggawa Wijamanggala membiarkan saja tindakan prajurit itu. Ia terlihat mengamat-amati perubahan warna di wajah kakek tua.

“Astagfirullah hal adzim. Bagaimana lisanmu tak dapat engkau pelihara di rumah Allah ini, tuan prajurit. Engkau boleh membunuhku, tetapi jangan kau kotori tempat suci ini dengan darah manusia yang kotor!” Sepasang mata keriput itu menyipit. Tak ada pertanda jika kakek tua itu ketakutan. Suaranya yang tegas namun tenang menyiratkan kebijakan luar biasa yang dimilikinya. Punggawa Wijamanggala kemudian meminta prajurit yang tengah menghunus belati itu untuk duduk.

“Assalamualaikum, kakek. Maafkan kami jika datang dengan  perangai kasar. Hal itu tidaklah bisa dihindari karena misi perang melekat di pundak kami. Perkenalkan, aku Wijamanggala. Kami adalah pasukan perang kerajaan Banten. Kami datang untuk menguasai tempat strategis ini agar Palembang lumpuh. Apapun yang menjadi penghalang tujuan kami, maka pedang yang jadi jawabannya.”

“Waalaikum salam, Tuan Wijamanggala. Sungguh aku tak salah orang. Engkau adalah lelaki sholeh yang mendapat takdir untuk mencerahkan tempat ini. Namaku Huanglo. Aku tinggal di rumah kayu di sebelah masjid ini bersama istriku Jhiwyen. Silakan tuan, jika ingin bertanya kepadaku tentang kampun ini.” Kakek Huang Lo terlihat tenang. Tak ada kekhawatiran sedikit pun di wajahnya. Punggawa Wijamanggala mahfum. Kakek tua di hadapannya ini bukan orang biasa. Ia tentunya memiliki kedalaman batin yang tak terukur.

“Pertanyaanku yang pertama, mengapa engkau tidak ikut mengungsi dari kampung ini. Sedangkan penghuni lainnya telah pergi. Apa hikmah yang engkau cari Kakek Huanglo?” tanya Wijamanggala.

“Al kalimatul hikmah dhallatul mu’minin, fahaitsu wajadaha fahuwa ahaqqu biha. Kalimah hikmah itu sesuatu yang hilang dari seorang mukmin, maka di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak atasnya.” Kakek Huanglo menghela nafas panjang. Punggawa Wijamanggala seketika tertarik dengan kedalaman bahasa yang baru didengarnya.

“Apa maksudnya, kakek?” Tak sanggup Wijamanggala menutupi rasa penasarannya. Sontak ia bertanya.

“Maksudnya mukmin yang baik, wajib berkata-kata baik. Lisan yang keluar dari mulut mukmin hendaknya membuat orang lain tenang, merasa aman dan bersemangat untuk selalu taat kepada Allah serta berbuat baik terhadap sesama. Bukankah kita sesama muslim adalah bersaudara?” Jawaban menohok dari Kakek Huanglo membuat prajurit yang tadi menghardiknya tertunduk.

“Itukah maksudmu hikmah yang hilang itu, kakek?”

“Ya, tuan. Manakala kalimah hikmah dan perbuatan mulia tidak dimiliki seorang mukmin, bukankah kemuliaan dan keutamaannya akan ikut hilang. Dalam keadaan seperti itu, bisa jadi kalimah hikmah muncul dari orang yang berada bukan di barisan kita. Meskipun seharusnya orang mukmin itulah yang berhak atas untaian kalimah hikmah sehingga Allah senantiasa melimpahkan hikmah kepadanya.”

“Tidakkah engkau takut kepada kami, orang tua?” Prajurit yang merasa tersindir dengan ucapan Huanglo kini bertanya.

“Puncak dari hikmah itu disebut sebagai Ra’sul hikmah makhafatullah azza wajalla. Dan orang yang memiliki hikmah puncaknya adalah takut kepada Allah. Orang yang takut kepada Allah selalu berhati-hati dan mengisi waktu-waktunya dengan hal yang bermanfaat. Tidak mengumbar angan. Waktunya akan diisi dengan ketaatan, berdzikir, dan berbuat baik.” Jawaban itu langsung membuat prajurit tersebut tidak dapat berkata-kata lagi. Wajahnya memerah. Tak menang dalam kata, prajurit itu tetiba melompat ke depan sambil menikamkan belatinya ke dada Huanglo.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang