Restu Sang Pangeran

1.6K 57 0
                                    


“Aih... Kakang Wira, tolong aku!”

Teriakan Putri Wuwu membuat Raden Kuning tersadar. Di saat berbarengan, keris Kyai Layon menusuk ke arah dadanya. Reflek, Raden Kuning membuang tubuhnya ke samping.

"Crat!" Keris Kyai Layon mengenai bagian tubuh Raden Kuning. Beruntung keris hanya  menyerempet lengannya. Wuwu masih tak bisa mengendalikan tenaga liar keris Kyai Layon.

Melihat itu, Raden Kuning langsung memasang kuda-kuda. Ia bersiap menanti datangnya kembali tusukan keris Kyai Layon. Benar saja keris itu masih menyasar bagian tubuh vitalnya. Namun kali ini pemuda tampan itu telah bersiap. Dengan mudah ia berkelit. Tangannya memukul pelan ke arah pergelangan tangan calon tunangannya itu. Keris Kyai Layon terlepas dari tangan kanan Wuwu.

“Subhanallah, keris ini tidak boleh dibuat main-main. Ia bisa mendatangkan celaka. Diajeng, engkau tidak apa-apa kan?” Raden Kuning menghampiri Putri Wuwu yang masih pucat pasi. Hampir saja ia menikam calon tunangannya yang gagah itu.

“Alhamdulillah aku tidak kenapa-napa Kang Mas. Hanya agak lemas saja. Eh, tanganmu itu mengeluarkan darah. Aih... apa yang telah aku perbuat ini.”

Sontak Putri Wuwu meraih tangan kanan Raden Kuning yang mengeluarkan darah. Tanpa bicara ia mengambil sapu tangan dan membalut luka itu sekenanya. Dari caranya merawat luka kecil tersebut, Raden Kuning sadar jika rasanya tak bertepuk sebelah tangan.

“Eh, terimakasih Diajeng. Aku tidak apa-apa kok. Ini hanya luka kecil saja. Baiknya aku segera pulang ke pesanggrahan.” Raden Kuning kemudian mengambil keris Kyai Layon yang tergeletak di lantai kayu. Keris itu lalu disarangkan ke warangka yang terselip di pinggangnya. Ia pun berkelebat pergi.

Putri Wuwu sempat tertegun dan ngeri membayangkan bahwa ia nyaris membuat calon tunangannya itu celaka. Keris Kyai Layon hampir saja makan korban. Jika saja Raden Kuning tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu aksi jahilnya barusan akan disesalinya seumur hidup. Dalam hati Wuwu, ia harus melaporkan tentang keris Kyai Layon kepada pamannya, Raden Haryo Balewot.

“Ah, hampir saja sifat egoisku membunuh orang yang selalu membuat jantungku berdebar-debar. Ada hawa jahat di dalam keris Kyai Layon.” Putri Wuwu bergumam sendiri.

Setelah bertemu dengan Raden Kuning, maka puaslah hati Putri Retno Wulan. Ia lalu keluar dari kamarnya dan langsung menghadap bibi Ratu Ayu Haryo Balewot. Di hadapan wanita sabar itu, Wuwu bersimpuh memohon maaf. Kendati keras, putri adik perempuan suaminya itu memang rendah hati.

“Maafkan aku bibi. Aku memang selalu merepotkanmu.” Putri Wuwu menangis. Bibinya lalu memeluknya erat-erat.

“Mewakili pamanmu, bibi mengucap maaf. Jika engkau memang tak bersedia bertunangan dengan Raden Kuning, biarlah bibi yang bicara dengan pamanmu!”

Putri Wuwu terkejut. Sikapnya yang awalnya menolak dirias, ternyata disalahkan artikan oleh bibinya. Padahal dalam hatinya, ia sangat bersyukur dengan keputusan pamannya. Jika saja bibinya tau bahwa jantungnya berdegup kencang jika berhadapan dengan Raden Kuning, tentu bibinya tak akan bicara seperti ini.

“Eh, uh... Hmm be.. begini bibi. Sebenarnya a-a-aku tak keberatan jika harus berkorban untuk kepentingan Tuban ke depan. Biarlah perjodohan itu diteruskan saja. Aku siap asalkan itu untuk kepentingan orang banyak.” Suara Wuwu terdengar terbata-bata. Bibinya yang telah banyak asam garam pengalaman itu langsung paham bahwa keponakannya itu sebenarnya telah jatuh jati dengan pria pilihan suaminya. Kanjeng Ratu Ayu kemudian berpura-pura tidak tahu dan ngotot untuk membatalkan pertunangan.

“Biarlah keponakanku, aku yang minta kepada pamanmu agar membatalkan perjodohan ini. Tak kuat rasanya bibi melihatmu bersedih seperti sekarang ini.”

Putri Wuwu langsung salah tingkah. Tingkahnya jadi lucu di mata Kanjeng Ratu Ayu. Namun ia kemudian tertawa dan memeluk keponakannya itu.

“Hehehehe.... Aku tahu jika keponakan bibi yang cantik ini telah jatuh cinta dengan pria tampan itu. Jangan lagi engkau berpura-pura seperti itu!” Bibi dan keponakan itu berangkulan dan mereka tertawa bahagia bersama.

Kanjeng Ratu Ayu kemudian memanggil juru rias keraton untuk bekerja. Mereka memoles Putri Retno Wulan sehingga menjadi seperti putri bidadari keraton. Hingga akhirnya waktu yang ditunggu tiba.
Calon tunangan Putri Wuwu datang dikawal oleh Bujang Jawa dan Punggawa Tuan. Tak nampak terlihat si Tua Buta Agam. Istimewanya rombongan Raden Kuning dikawal langsung oleh Eyang Kyai yang didaulat mewakili pihak pria untuk menyampaikan lamarannya.

“Mewakili Raden Kuning, aku meminta Putri Retno Wulan agar dapat bertunangan dengan cucu muridku, Raden Kuning.” Meskipun pelan suara Eyang Kyai berwibawa. Raden Haryo Balewot yang menerima lamaran itu nampak menganggukan kepalanya.

“Aku sebagai Adipati Tuban dan sekaligus paman Putri Retno Wulan menerima lamaran Raden Kuning. Untuk selanjutnya mereka aku perkenankan untuk bertunangan terlebih dahulu. Pernikahan akan dilangsungkan setelah Raden Kuning menunaikan tugasnya sebagai prajurit Djipang.”

“Tunggu dulu Dimas Raden Haryo Balewot. Aku belum diminta persetujuannya!”

Suara itu berasal dari seorang wanita cantik. Langkahnya ringan memasuki aula keraton Tuban. Di sebelahnya ada seorang laki-laki gagah separuh baya yang juga berwibawa. Aura tubuh perempuan itu putih kekuning-kuningan. Sepasang pria dan wanita itu adalah orang yang saat ini paling dicari oleh pihak Pajang.

“Aih.... Engkaukah itu Mbakyu Aisyah dan ah..., kangen sekali aku denganmu Kakang Mas Arya Mataram!”

(Bersambung)

Yang suka jangan lupa vote

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now