Penyusup

724 41 3
                                    

Prajurit itu kembali menyusup keluar. Kini ia sudah berganti pakaian yang bercirikan pasukan Wirabraja. Dengan tenang ia menuju barak prajurit tempat Senopati Bagas Rilau tinggal. Ia segera berbaur dengan rekannya sesama prajurit. Dengan cekatan, prajurit penyamar tersebut menuju bangunan belakang barak.

Langkahnya tegap, tak terlihat jika prajurit itu merupakan prajurit yang menyamar. Sepertinya ia telah sangat hapal dengan tempat yang kini disinggahinya. Ada bangunan besar di belakang barak tempat prajurit tinggal. Bangunan itu tak seperti bangunan lainnya. Bentuknya seperti kotak, jika dipandang bangunan itu sama sekali dibangun tanpa citra rasa dan estetika. Di sanalah tempat para prajurit yang melakukan pelanggaran dihukum.

Lelaki itu memandang bangunan penjara dari kejauhan. Ia sempat menghentikan langkah hanya untuk memantau keadaan. Di kanan kiri tempatnya berdiri terdapat pokok batang kayu besar. Ya, saat pembangunan penjara di tempat itu memang merupakan hutan Trembesu. Kayunya yang besar dan lurus menjulang tinggi ke angkasa, menambah seram tempat tersebut. Prajurit Wirabraja itu menyelinap di balik pepohonan. Sependidih air dari balik pepohonan berkelebat sesosok bayangan menuju penjara.

“Bak, buk, bak, buk!” terdengar suara empat orang prajurit penjaga yang roboh terjengkang ke tanah. Prajurit penyamar itu ternyata memaksa masuk penjara. Ia kemudian menarik tubuh prajurit jaga yang roboh tertotok ke dalam penjara. Setelah menyembunyikan mereka, ia melangkah tenang ke menuruni tangga bawah tanah menuju penjara.

“Hei siapa yang mengizinkanmu, masuk!” Seorang prajurit jaga yang melihat kehadirannya menghardik tamu tak diundang itu.

“Senopati Bagas Rilau yang memintaku datang ke sini,” jawabnya.

“Apa buktinya engkau utusan senopati. Tak seperti biasa, jika ada petinggi keraton yang datang pasti komandan pasukan kami yang menyampaikan pesan itu.”

“Engkau mendekatlah kemari,” balasnya.

Dengan hati-hati prajurit jaga sel bawah tanah itu berjalan menghampiri tamunya. Ia sengaja menjaga jarak dan terus siaga. Sepertinya prajurit itu curiga dengan orang berseragam prajurit Wirabarja yang baru datang itu.

“Cepat engkau tunjukkan kepadaku surat perintah yang engkau bawa!’

Baru selesai ia bicara, ia langsung diserang dengan pukulan mematikan oleh orang yang ditanyanya. Beruntung ia sedari semula telah memperhitungkan jika lawannya itu bisa saja menyerangnya. Dengan gesit, ia menggeser tubuhnya untuk menghindari serangan yang dilancarkan lawan mendadak.

“Aih, engkau memang penyusup. Seragammu menandakan bahwa dirimu adalah prajurit Wirabraja. Kawan-kawan, kita kedatangan penyusup. Ah, aduh!” Tubuhnya terpental membentur dinding. Namun suaranya yang keras telah keburu keluar dari mulutnya. Sekedipan mata di tempat itu telah datang sepuluh orang prajurit jaga.

Melihat ia terkepung sepuluh prajurit, penyusup itu masih terlihat tenang. Dengan senyum mengejek ia memaki prajurit yang baru datang.

“Prajurit tak berguna kalian ini. Tugasmu hanya menjaga sel tahanan kecil di tempat yang tidak disinari matahari. Bagaimana mungkin aku dapat berpikir jika kalian ini adalah bukan prajurit buangan. Menyerah sajalah, kalian nanti akan aku rekrut sebagai kaki tanganku di lingkungan keraton ini. Ingatlah keraton ini sebentar lagi akan jatuh dan dikuasai oleh musuh.”

“Enak saja engkau memandang kami seperti itu. Kami bukanlah prajurit cadangan, tetapi kami adalah prajurit pilihan. Hanya orang-orang terpilih sajalah yang mampu menjaga penjara ini dari serangan musuh. Ada apa gerangan drimu mengacau di penjara ini?”

“Aku tak mau berdebat dengamu. Yang jelas kedatanganku ini adalah untuk mencuri salah seorang tahanan dari tempat ini. Minggirlah kalian jika tidak ingi aku habisi.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن