Sambat

947 58 7
                                    

“Keris ini sepertinya memang berjodoh denganmu. Seperti yang baru saja engkau tuturkan, dalam mimpimu dia datang berbentuk elang raksasa. Keris di tanganku ini, aku sendiri yang membuatnya. Tirakatku selama di perguruan wanakerta salah satunya adalah membuat keris yang ternyata berjodoh denganmu. Sekalu lagi, apa yang engkau alami di dalam tirakat matimu itu adalah pertanda bahwa engkau memang berjodoh dengannya. Elang raksasa adalah perlambang yang sangat cocok dengan gagang keris ini yang bermotif kepala burung. Aku belum memberi nama untuk keris ini. Tak sanggup aku memberinya nama karena aku sadar ketika nama itu telah melekat dengannya, maka itu adalah pertanda batas kebersamaan kami telah usai.” Rembalun berkata dengan suara parau. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikirannya.

“Alhamdulillah engkau telah sadar, muridku. Memang kakangmu Rembalun mendapat petunjuk untuk membuat keris yang nantinya akan diambil oleh seseorang. Aku sendiri tak menyangka jika orang itu adalah engkau. Keris yang dibuatnya itu berisi inti ilmu bayangan yang telah dipelajari olehnya selama belasan tahun. Pemilik yang berjodoh dengan keris itu akan mendapat petunjuk bagaimana cara mempelajari ilmu bayangan sebagaimana yang kini dikuasai oleh kakangmu.” Ki Ageng Selamana menganggukkan kepalanya.

“Tetapi guru, maksud kedatanganku ke sini tidak lain adalah bersilaturahmi denganmu. Dan selain itu, aku ingin minta penjelasan terkait kitab suluk linglung yang diberikan kepada Eyang Kyai kepadaku.”

“Ya, aku sudah membaca isi kitab itu, Ngger. Tetapi, terus terang aku sendiri sulit untuk memahami kedalaman maknanya. Satu-satunya petunjuk yang dapat kuberikan kepadamu adalah jurus pamungkas sangkan paraning dumadi yang kita kenal sebagai jurus payung teng inggil adalah pencapaian luar biasa seorang manusia. Artinya, bagi orang yang telah menguasai jurus itu, maka ia akan seumur hidup menjalani lakonnya. Hanya orang-orang suci yang telah bersih hatinya dari segala macam keinginan yang bisa memahami isi kitab suluk linglung ini sekaligus menguasai jurus pamungkas itu.”

“Jadi menurut guru, aku belum tepat untuk mempelajari kitab suluk linglung?”

“Engkau saat ini sedang menjalani takdirmu sebagai prajurit pejuang, Ngger. Tentu saja dalam tahapan ini engkau masih mengejar dunia. Tak mungkin dirimu membersihkan nafs, jika di satu sisi rajamu membutuhkan dirimu untuk bertempur melawan musuh.”

“Aih, jadi untuk menguasai jurus payung teng inggil harus bersih dari kepentingan dunia. Lalu, bagaimana jika dengan kepandaianku yang sekarang, aku tidak mampu menjalankan tugasku sebagai prajurit. Terlebih ketika di Tuban, aku hampir kehilangan nyawa karena bertarung dengan Mpu Begawan Sanca.”

“Aku harus meluruskan pemikiranmu yang keliru. Kitab suluk linglung yang diwariskan kepadamu itu adalah sebuah jalan untuk dirimu meninggalkan kepentingan dunia. Ini adalah jalan untuk menemukan kebenaran sejati. Dengan mempelajari kitab itu, engkau tidak akan menjadi lebih sakti sebagaimana engkau mempelajari kitab jurus silat lainnya. Pada intinya kitab suluk linglung tidak mengajarkan kepadamu bagaimana mengolah jurus hingga mendapatkan kepandaian baru. Kitab suluk linglung itu mengajarkan kepada orang yang mempelajarinya bagaimana cara mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dan lagi untuk belajar kitab ini engkau harus telah belajar terlebih dahulu tentang dasar ilmu tasawuf.”

“Aih, jika begitu sepertinya aku tahu siapa yang pantas mendapatkan kitab ini, guru. Terbuka sudah mataku saat ini. Eyang Kyai meninggalkan kitab ini untuk aku antarkan kepada Paman Arya Mataram. Apalagi sebelumnya beliau juga pernah mendapat gemblengan tentang ilmu tasawuf dari Eyang Kyai.”

“Nah, kalau begitu aku kembalikan lagi kitab ini kepadamu. Aku tak merasa pantas untuk mempelajarinya. Ilmu batinku masih cetek, masih penuh nafs dalam dadaku ini.”

“Oh ya, Kakang Rembalun. Aku punya satu pertanyaan untukmu?”

“Pertanyaan apakah, Dimas Raden?”

“Dalam tirakat matiku, aku melihat engkau terlibat aktif menuntun jalanku. Hingga saat ini aku masih yakin, jika orang yang aku temui dalam mimpiku itu adalah engkau sendiri. Oleh karena itu, izinkan aku untuk menolak kehadiranmu yang di sini. Maafkan aku, guru. Aku menemukan kejanggalan terhadap diri Kakang Rembalun.” Raden Kuning langsung menerjang kakak seperguruannya sendiri. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia seperti orang kalap.

Mendapat serangan cepat dari Raden Kuning, Rembalun terlihat tenang. Ia menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ajaib, seluruh serangan Raden Kuning seperti memukul bayangan. Tanpa tedeng aling-aling, Raden Kuning terus mengeluarkan jurus mautnya. Tetapi, lagi-lagi seluruh jurus yang dikerahkannya tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Rembalun. Orang yang diserang bagaikan bayangan yang tubuhnya tidak berada di tempat itu.

Raden Kuning akhirnya tersadar. Orang yang dilawannya kali ini menguasai jurus bayangan. Dengan cekatan ia melompat keluar rumah. Melihat adik seperguruannya melesat keluar rumah, Rembalun mengejarnya. Kedua bayangan berkelebat keluar. Rangga Balun, Rempa Balin dan Bangau Jijen yang berjaga di depan rumah ikut berlari mengikuti kemana arah bayangan itu pergi. Ternyata dua orang sakti itu menuju padepokan.

Sore itu, kebetulan sekali seluruh murid-murid tingkat pertama perguruan wanakerta tengah berlatih. Mereka segera bersiap menyambut kedatangan musuh karena melihat ada dua bayangan yang datang. Dua bayangan itu akhirnya berhenti berlari. Murid-murid perguruan wanakerta segera mengenali mereka. Namun belum sempat bertukar salam, dua murid kinasih Ki Ageng Selamana itu sudah kembali saling serang. Para murid yang kebingungan, akhirnya memilih menonton pertandingan seru dari pinggir lapangan.

Raden Kuning segera melolos kerisnya. Ada hawa dingin masuk melalui tangan kanannya. Sepertinya gagang burung itu mengalirkan tenaga magis ke dalam tubuh orang yang memegangnya. Tenaga dingin itu segera melebur dengan tenaga semesta yang dimiliki oleh Raden Kuning. Berbeda dengan keris Kyai Layon yang mengalirkan hawa panas dan meningkatkan nafsu membunuh bagi siapa saja yang memegangnya, keris yang belum diberi nama itu mengalirkan tenaga dingin. Sepertinya ia mampu mendeteksi seperti apa tenaga tuannya.

Saat melihat lawannya memegang keris bayangan, Rembalun menghentikan serangannya. Ia seperti menunggu reaksi lawan. Tetiba Raden Kuning merasa ada tenaga liar yang berupaya menguasai tenga semestanya. Akibatnya, tubuh Raden Kuning menggigil kendati matahari masih cukup tinggi di sore itu.

“Aih, keris ini membuat tenaga semestaku liar. Ia sepertinya hendak menguasai diriku melalui tenaga semesta.” Raden Kuning berseru kaget. Ia kemudian menghimpun tenaga semesta di dada dan memulai gerakan jurus pamungkas toyo ing uripan.

Dengan menyalurkan tenaga dingin semesta, tubuh Raden Kuning kembali stabil. jurus ketujuh sangkan paraning dumadi itu, diawali dengan merapatkan kedua tangan yang memegang keris di depan wajah. Kemudian ia membuat gerakan melengkung dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Kedua tangan dibalikkan dan diregangkan sebahu, lalu tubuh Raden Kuning melompat bergulingan di udara hingga dua depa. Selanjutnya tubuhnya mencelat ke atas lalu menukik turun dengan keris menusuk ke bawah ke arah lawannya.

Anehnya, jika sebelumnya Rembalun terlihat santai meladeni serangan musuh, kini ia terlihat serius. Tubuhnya melompat ke atas bergulingan. Awalnya tubuh pria yang mengenakan surjan itu terlihat berputar diiringi dengan suaranya yang nyaring. Selanjutnya Rembalun menggeser tubuhnya ke samping kiri. Tangannya menangkis serangan keris.

“Tak, desh!” Beradunya tangan menimbulkan bunyi keras. Meski suaranya memekakkan telinga, tetapi baik penyerang maupun yang diserang seperti tidak lagi mempedulikan lingkungan. Keduanya terus bertukar jurus, hingga ada salah satu dari mereka kelelahan. Dengan bersenjatakan keris bayangan, tubuh Raden Kuning seperti mampu menembus dimensi tubuh lawan yang sebelumnya tidak mampu disentuhnya. Hingga akhirnya, Raden Kuning terhuyung ke belakang.

“Aih, hoek!” Raden Kuning muntah darah segar. Tubuhnya langsung disambut oleh murid padepokan. Pertarungan terhenti.

“Mengapa kakang Raden Kuning terluka. Padahal pukulan kakang Rembalun belum ada yang menyentuh kulitnya?” Rangga Balun bergumam sendiri. Remaja tanggung yang memiliki otak cespleng itu seperti berpikir keras. Tetiba ia melompat mendekati tubuh Raden Kuning yang tengah tak sadarkan diri.

“Sambat. Minggir semua kalian. Aku tahu cara mengobatinya!” Rangga Balun berteriak kencang.

(Bersambung)

Semoga yang baca, terus komen and vote dilimpahkan rezekinya sama Allah SWT, amin....

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora