Racun di istana

808 45 2
                                    

Sontak prajurit jaga melindungi Ki Gede Ing Suro. Suma Banding langsung mengambil posisi berhadap-hadapan dengan penghadang bercadar. Ketegangan langsung menyelimuti malam yang dingin itu. Sepoi angin yang sebelumnya terasa langsung menghilang entah kemana. Keringat yang tetiba muncul di tubuh Suma Banding tak tersapukan oleh malam yang gelap. Kaki mereka seolah terkunci. Suma Banding yang berupaya memberi sandi kepada prajurit lainnya seperti tersirap oleh aura ketiga orang bercadar. Tatapan mata mereka yang merah darah seolah merampas sukma dan Suma Banding merinding.

“Lepaskan semua senjata kalian. Kami adalah tuan yang dipertuan oleh kalian semua!” penghadang bercadar kembali menancapkan pengaruhnya melalui suara.

Seketika prajurit jaga yang mengelilingi raja mereka menjatuhkan senjata. Hanya Suma Banding yang memiliki batin kuat yang belum terpengaruh oleh perintah suara itu. Namun terlihat tangan kanannya yang memegang keris nampak bergetar hebat. Hal itu menjadi pertanda bahwa ia sekuat tenaga berupaya melawan pengaruh sihir yang kini tengah dilancarkan oleh penghadang bercadar.

“Berlututlah kalian!”

“Tutup telinga dan jangan pandang mata mereka!” Suma Banding berupaya mengingatkan ketika dilihatnya beberapa prajurit jatuh lemas dan mulai berlutut. Seluruh prajurit jaga saat itu sudah terampas kesadarannya. Hanya Ki Gede Ing Suro dan Suma Banding yang masih bertahan. Di saat suasana makin memburuk, tetiba melesat tiga bayangan yang langsung tertawa cekikikan.

“Aih, rupanya ada orang-orang jelek yang datang menyusup ke istana. Kalian ini hanya mengganggu santap malam kami. Hei prajurit jaga, ngapo pulo kamu belutut dengan tigo monyet itu. Bangun, ambil senjata kalian dan serang mereka!” Suara perempuan yang ternyata adalah Nyai Derimas itu seketika mengembalikan kesadaran mereka. Lima belas prajurit jaga segera memungut senjata yang tergeletak di tanah dan menerjang tiga orang pria bercadar.

“Suit, suit, suit!” Suma Banding meniup peluit tanda bahaya. Seketika terdengar derap kaki prajurit berlarian menuju sumber suara berasal.

Tiga pria bercadar segera direpotkan oleh serangan prajurit jaga. Tetapi mereka memang bukan tandingan prajurit. Dengan cepat pukulan dan tendangan pria bercadar segera bersarang di tubuh prajurit yang mengakibatkan mereka terpental dari arena pertarungan. Salah seorang dari penghadang melemparkan benda yang ternyata bom asap. Kakek Belingis yang berpengalaman segera memerintahkan prajurit jaga menahan nafas dan menjauhi lawannya.

“Tutup pernafasan dan segera menjauh dari penghadang. Asap itu beracun!”

Di saat lawan menjauhi arena, tiga pria bercadar memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Nyai Derimas yang sedari tadi mengawasi ketiganya mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Selanjutnya ia terlihat melepas senjata rahasia ke arah musuh. Suara berdesing benda mirip paku melesat mengarah ke para penghadang. Mereka yang saat itu tengah berlari cepat meninggalkan tempat pertarungan berupaya menghindar dari kejaran senjata rahasia.

“Aduh!” Salah seorang penghadang mengaduh karena terkena senjata rahasia. Suaranya cukup keras sehingga terdengar jelas. Selanjutnya penghadang bercadar itu terjatuh bergulingan di tanah. Nyai Derimas berkelebat mengejarnya. Dengan cepat ia melesat menghampiri lawan. Senjatanya ternyata bersarang di punggung sebelah kanan orang bertubuh besar itu. Bergegas perempuan berkepandaian aneh itu membalikkan tubuh orang yang kini tertelungkup di tanah itu. Sayangnya, ia terlambat. Orang itu baru saja menelan sesuatu yang membuat tubuhnya kelojotan dan dari sela-sela bibirnya mengeluarkan busa.

“Aih, aku terlambat.” Nyai Derimas membetot cadar yang menutupi wajah si penghadang. Ternyata ia adalah salah satu pria bersorban yang berhidung mancung yang ditemuinya saat perahu Raden Sabtu dihadang di muara sungai Ogan.

Suma Banding dan ratusan prajurit tak lama kemudian sampai ke lokasi itu. Ia segera memeriksa pakaian orang asing yang kini telah membujur kaku itu. Matanya melotot sedangkan lehernya membiru. Hasil pemeriksaan di pakaian dan tubuh orang itu, tak diketemukan apa-apa. Dengan isyarat tangannya, Suma Banding memerintahkan prajurit untuk menyingkirkan mayat tersebut. Ki Gede Ing Suro sudah diamankan di dalam istana dengan penjagaan yang ketat.

Suma Banding selanjutnya mengumpulkan semua prajurit di paseban utama. Waktu dini hari itu seluruh prajurit yang bertugas melakukan pengamanan di keraton terjaga dengan banyak tanda tanya. Beberapa di antara mereka sudah mendengar adanya desas desus penyusupan di istana. Beberapa lainnya mendengar raja mereka nyaris menjadi korban upaya pembunuhan. Suara riuh rendah prajurit langsung terhenti ketika Suma Banding dan Senopati Bagas Rilau dan Senopati Sentri Payu masuk ke paseban utama.

“Mohon perhatian semua prajurit. Harap tidak bersuara lagi!” perintah Senopati Bagas Rilau seketika membuat suasana hening. Suma Banding langsung tampil ke hadapan para prajurit dan mengucapkan salam.

“Kita baru saja kedatangan tiga orang penyusup. Mereka bertujuan membunuh Yang Mulia Ki Gede Ing Suro….,” buka Suma Banding. Seketika suasana riuh terdengar di paseban utama. Para prajurit yang kaget mendengar cerita langsung dari penasehat kerajaan tanpa sadar bergumam geram.

“Harap kalian kembali tenang. Tak ada gunanya mengeluarkan geraman di pertemuan ini. Peristiwa itu baru terjadi sepenanak nasi tadi. Beruntung kita ditolong oleh tamu keraton Nyai Derimas beserta suami dan muridnya. Jika tidak, mungkin kepalaku sudah terpisah dari badan. Mereka memiliki kepandaian sihir yang kuat. Selain itu mereka juga mahir menggunakan racun. Seto Kalyan dan Depati Santun telah menjadi korban racun yang disusupkan ke dapur istana.” Suma Banding terlihat menghela nafas panjang.

“Karena keraton saat ini dalam keadaan yang luar biasa bahaya, maka aku perintahkan kepada kalian untuk memperketat penjagaan. Jangan biarkan ada satu semut pun yang mencurigakan yang datang menyusup ke lingkungan keraton. Kalian senopati Bagas Rilau dan senopati Sentri Payu, pimpinlah pertemuan ini. Beberkanlah strategi pengamanan yang telah kita sepakati tadi.” Suma Banding memerintahkan kepada dua senopati kerajaan untuk memimpin pertemuan dengan prajurit. Sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya, prajurit jaga akan jumlahnya ditambah tiga kali lipat. Mereka akan memperketat pintu masuk ke keraton Kuto Gawang.

Posisi keraton yang dikelilingi sungai-sungai yang melingkar membuat pertahanan alam. Sebelah Utara berbatasan dengan sungai Musi. Di sebelah Selatan berbatasan dengan sungai Lunjuk, sebelah Timur berbatasan dengan sungai Buah dan sebelah Barat berbatasan dengan sungai Taligawe. Suma Banding memerintahkan untuk menambah perlindungan pagar keliling cerucup kayu unglen di sebelah Utara yang berbatasan dengan sungai Musi. Diduga para penyusup masuk dari tempat tersebut. Pintu masuk dari sebelah Utara akan ditambah lima kali jumlah prajurit jaga dengan tanggungjawab langsung senopati Bagas Rilau dan senopati Sentri Payu.

Setelah pemaparan strategi pengamanan keraton, Suma Banding pamit meninggalkan paseban utama. Ia berjalan bergegas dengan ditemani tiga orang prajurit pengawal. Di selasar paseban ia berpapasan dengan pelayan yang membawa penganan untuk pertemuan. Awalnya ia tak curiga dengan rombongan pelayan yang berjumlah sepuluh orang itu. Tetapi telinganya seperti menangkap sesuatu hal yang janggal ketika ia berpapasan dengan pelayan yang berada di posisi terbelakang. Langkah-langkah perempuan itu biasa saja, cenderung berat selayaknya orang yang tidak memiliki kepandaian beladiri. Tetapi sorot matanya yang cemas, membuat Suma Banding yang terlatih sebagai telik sandi menghentikan langkahnya. Di saat ia berpikir keras, rombongan pelayan itu telah jauh meninggalkannya menuju paseban utama.

Para pelayan yang membawa penganan dan minuman hangat, disambut riuh rendah oleh prajurit. Apalagi pelayan itu membawa wedang kopi panas dari ulu Gumay yang terkenal memiliki citra rasa yang khas. Kebulan asap kopi menggiurkan siapa saja yang berada di sana. Beberapa prajurit yang berada di depan tak sabar langsung meraih gelas kopi dan menyeruput minuman hangat itu.

“Tahan. Jangan kalian minum kopi itu!” Suara Suma Banding yang menggelegar membuat kaget seluruh prajurit di paseban.

(Bersambung)

Jangan lupa follow akunnya, vote, dan comment

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang