Wabah

765 41 2
                                    

Gemerlap air disorot terik matahari yang menerpa sungai Ogan, biasnya menyilaukan mata. Lalu lalang perahu yang biasanya menjadi pemandangan rutin, tetiba menghilang. Sebagai gantinya puluhan warga yang tinggal di sepanjang hulu sungai Ogan diserang penyakit aneh. Mereka berhenti mencari ikan karena terjangkit penyakit yang mengakibatkan kelumpuhan. Anehnya, penyakit lumpuh layu mendadak itu hanya menyerang anak-anak di bawah umur. Sedangkan para orang tua, tidak tertular.

Punggawa Kedum yang pertama kali mengabarkan perihal penyakit aneh itu kepada Pangeran Arya Mataram. Menjangkitnya penyakit lumpuh layu mendadak itu terus menular ke kampung-kampung lain. Dalam perjalanannya melakukan syiar Islam di dusun pedalaman, ia menemukan penyakit lumpuh layu telah menjadi wabah.

Pangeran Arya Mataram sebelumnya berniat meninggalkan Lubuk Rukam menuju Palembang. Karena khabar yang dibawa Punggawa Kedum, ia terpaksa menunda perjalanan. Padahal Pangeran Arya Mataram sendiri yang telah berjanji akan hadir dalam ajang adu tanding yang digelar keraton Palembang. Ia lebih memilih mengurusi kawula yang kesusahan terlebih dahulu ketimbang urusan keraton.

“Aih, penyakit aneh apa itu Kedum. Mengapa tetiba anak-anak menjadi lumpuh. Ayo engkau temani aku untuk memeriksa penyakit mereka,” tukas Pangeran Arya Mataram.

“Entahlah Yang Mulia. Aku sempat memeriksa keadaan mereka tetapi tak menemukan keanehan apa pun di tubuh korban. Memang warga mengharapkan Yang Mulia turun memeriksa keadaan anak-anak itu.” Punggawa Kedum bicara dengan penuh kekhawatiran.

“Ayo jangan membuang waktu lagi. Tetapi ingatlah jika sedang bersama kawula janganlah kamu menyanjungku dengan segala sebutan embel-embel keraton itu. Cukup panggil aku kakang Riye Belanga.” Pangeran Arya Mataram mengingatkan abdi setianya itu. Dalam hal petatah petitih, panggilan Yang Mulia kerap tak sengaja keluar dari mulutnya. Meskipun telah berkali-kali ia kena tegur akibat mulutnya itu, tetapi tetap saja Punggawa Kedum kepeleset bicara.

Mimi Aisyah keluar dari kamarnya. Mendengar suami dan abdi setia mereka hendak pergi ke pedalaman, ia bergegas menyiapkan bekal. Sependidih air wanita keturunan Tionghoa itu keluar dari kamar dengan membawa serta buntalan berisi pakaian dan makanan.

“Jauhkah perjalanan kakang. Mengapa membawa bekal begini banyak?” tanya Mimi Aisyah.

“Kami tak bisa menduga berapa lama perjalanan ini. Berita yang tersiar para korban lumpuh mulai berjatuhan. Untuk mengobati mereka, semua tumbuhan obat harus dibawa,” jelas Pangeran Arya Mataram. Istrinya yang masih terlihat cantik di usia senjanya itu tersenyum tulus. Aura wajahnya berpendar memberikan keteduhan bagi lawan bicaranya.

“Baiklah, Kakang. Doaku menyertai perjalanan kalian.” Mimi Aisyah mencium tangan suaminya dengan hormat. Hidup dalam pengungsian tentu saja jauh dari kata mewah. Semua fasilitas yang biasa ia dapatkan di istana tak mungkin dapat dijumpai di Lubuk Rukam. Satu hal yang membuat hatinya tentram, gemericik arus di sungai Ogan selalu mengingatkannya akan kampung halaman di Djipang. Jika ia rindu pulang, maka Mimi Aisyah akan pergi ke sungai Ogan untuk sekedar mengobati rindunya akan gemericik air sungai Bengawan Solo.

Pangeran Arya Mataram meninggalkan rumah dengan langkah kaki bergegas. Di belakangnya mengekor abdi keraton Djipang Punggawa Kedum. Meskipun saudaranya Ki Gede Ing Suro telah beberapa kali menawarkan jabatan penting di keraton Palembang, namun lelaki setia itu lebih memilih untuk terus mengabdi kepada tuannya dan berkeliling pedalaman untuk menyiarkan Islam. Mereka berdua melangkah menuju kandang kuda yang terdapat di padepokan Tinggi Panular. Di sana terdapat lima ekor kuda pilihan yang ditinggalkan oleh para depati. Berdasarkan saran dari Punggawa Kedum, Pangeran Arya Mataram akhirnya sepakat untuk menggunakan dua ekor kuda milik para tamunya itu.

Punggawa Kedum memimpin perjalanan. Kudanya melesat cepat meninggalkan padepokan. Derap kaki kuda terdengar hingga serratus meter sebelum akhirnya suaranya berubah sayup dari kejauhan. Pangeran Arya Mataram sengaja mengekor di belakang Punggawa Kedum. Tujuan mereka yang pertama aadalah menugnjungi sebuah dusun kecil yang berada agak di pedalaman. Di tempat itu pertama kalinya terjangkit penyakit aneh.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now