Palembang baru

1.1K 51 2
                                    

Tak lama dari kedatangan rombongan dari keraton Djipang, Yang Mulia Arya Karang Widoro mangkat. Ki Gede Ing Suro kemudian mulai menghimpun kekuatan dengan jalan dakwah. Setelah mempelajari unsur masyarakat yang ada di Palembang, maka mantaplah hatinya untuk menjalankan strategi untuk menghimpun rakyat Palembang dimulai dari pemeluk agama Islam. Ki Gede Ing Suro kemudian memerintahkan kepada prajuritnya untuk membangun masjid di Kuto Gawang dan mulai mengumandangkan adzan di sana.

Kehadiran masjid di Kuto Gawang secara alami otomatis menghimpun umat Islam di sana. Struktur masyarakat Palembang yang multi etnis, perlu diberi pembatas melalui identitas agamanya. Sebagai daerah perdagangan yang terbuka, masyarakat Palembang terdiri dari masyarakat asli setempat termasuk orang uluan dari pedalaman, Jawa, China, Bugis, Portugis dan lainnya. Penyebaran agama Islam  telah dimulai setelah masa keruntuhan kerajaan Sriwijaya. Adipati Arya Damar, ayah tiri Raden Fattah yang memerintah di masa kerajaan Majapahit terakhir di Palembang bahkan telah memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Arya Dillah. Namun perkembangan penyebaran Islam di Palembang yang sibuk dengan aktivitas perdagangan itu masih dengan cara tradisional tidak terhimpun dengan baik. Ki Gede Ing Suro memulai perjuangannya menyatukan Palembang dengan melakukan pendekatan keagamaan.

Masjid yang dibangunnya mengumandangkan adzan sebagai panggilan bagi umat Islam untuk sholat. Dengan cara itu, dengan cepat kehadiran prajurit Djipang di Palembang segera tersiar. Pemeluk agama Islam yang datang ke masjid itu untuk beribadah kemudian berhimpun merencanakan kebangkitan Palembang baru di bawah kepemimpinan yang Ki Gede Ing Suro, pelarian Kerajaan Demak dari Djipang. Dengan cepat pengaruhnya menyebar di kalangan pemeluk agam Islam yang kemudian jumlahnya semakin banyak seiring dakwah yang dilakukan oleh ulama yang dihimpunnya. Untuk mempercepat penyebaran Islam di Palembang, dua puluh empat prajuritnya juga turun ke masyarakat. Dalam waktu singkat pengaruh Ki Gede Ing Suro makin meluas.

Setelah melalui proses pengakuan dari pengikutnya di Palembang, Ki Gede Ing Suro memulai tugas beratnya mempersiapkan pembentukan prajurit pemerintah yang berperan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat sekaligus sebagai alat untuk melindungi serta menjadi legitimasi.

Bujang Jawa yang merupakan ahli telik sandi bertugas untuk mengumpulkan semua informasi penting tentang Palembang terutama tentang saudagar China yang mengaku mendapat legitimasi dari Tiongkok dan Demak. Kekisruhan berebut pengaruh antara anak beranak Shi Jinqing membuat tugasnya menjadi mudah. Terlebih Nyi Ageng Pinatih yang disukai masyarakat keturunan dari saudagar kaya asal China itu melarikan diri dari Palembang karena dikucilkan oleh adik-adiknya yang dipelopori oleh Shi Jisun.

Suma Banding yang telah lebih dulu bermukim di Palembang bertugas melakukan akulturasi budaya Melayu dan Jawa. Meskipun awalnya hanya terlihat berkonsentrasi dalam bidang dakwah Islam, tetapi secara tersembunyi mereka mulai menyusun kekuatan.

Anak-anak muda yang berbakat langsung dilatih oleh Ki Gede Ing Suro untuk menjadi prajurit. kesaktiannya dalam hal ilmu kanuragan dan kemampuan strategi sebagaimana didapatnya sewaktu masih menjadi prajurit khusus di kerajaan Demak membuatnya mampu dalam waktu cepat mewujudkan pasukan pemerintahan yang kokoh di Palembang. Ia bahkan mengadobsi metode pelatihan prajurit patangpuluhan di mana anggotanya dilatih sejak dalam usia sangat muda. Seiring berjalannya waktu, Ki Gede Ing Suro merasa sudah cukup persiapan mereka untuk segera mendirikan pemerintahan.

Malam belum larut benar, ketika keputusan besar itu dirapatkan. Ki Gede Ing Suro didampingi Bujang Jawa, Suma Banding dan Punggawa kedum. Nama terakhir khusus diundang sebagai legitimasi atas persetujuan Pangeran Arya Mataram atas keputusan yang akan diambil. Malam yang dingin itu menjadi sejarah bahwa di masa depan, Palembang akan kembali menorehkan sejarah kebesarannya di nusantara.

"Aku berpikir sudah saatnya kita menunjukkan diri. Seiring dengan banyaknya pengikut kita dan perkembangan Islam di Palembang, maka untuk mengatur tata prilaku, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, perlu ada pemerintahan baru di sini. Langkah pertama kita harus menertibkan perdagangan di pelabuhan Musi karena itu menjadi simbol Palembang." Ki Gede Ing Suro bicara dengan berapi-api.

"Telah hadir di sini, saudaraku Punggawa Kedum dari Lubuk Rukam. Ia akan bicara mewakili Yang Mulia Pangeran Arya Mataram." Ki Gede Ing Suro mengangguk hormat pertanda ia mempersilakan prajurit pilih tanding yang lebih memilih mengabdi kepada junjungannya itu bicara.

"Sebagaimana diamanahkan oleh Yang Mulia Pangeran Arya Mataram, maka dengan ini beliau menyetujui langkah-langkah yang akan diputuskan oleh Ki Gede Ing Suro sebagai pemimpin tertinggi di Palembang. Segeralah kuasai tempat-tempat yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sebarkan pengaruh Islam hingga ke pedalaman dan keluar Palembang."

Setelah mendapat restu junjungan mereka, Yang Mulia Pangeran Arya Mataram yang kini telah menjadi mubaligh dan berganti nama menjadi Arya Belanga, seluruh mantan abdi keraton Djipang itu bersemangat. Malam itu Bujang Jawa menyusun rencana untuk mengambil alih pelabuhan Musi dari kelompok saudagar China yang sebelumnya berkuasa.

"Kita akan sedapat mungkin menghindari pertumpahan darah. Kekuatan mereka yang semakin lemah, akan membuat kita semakin mudah menguasai pelabuhan Musi. Kiranya nanti aku dan Suma Banding yang akan memimpin seribu prajurit kita menduduki pelabuhan, sedangkan Ki Gede Ing Suro akan meminta keluarga Shi Jinqing tunduk dan mengakui adanya pemerintahan yang baru di Palembang di bawah pimpinan Yang Mulia Ki Gede Ing Suro." Baru selesai Bujang Jawa memaparkan strateginya, riuh rendah suara dari peserta rapat yang mengelu-elukan Ki Gede Ing Suro sebagai pemimpin baru Palembang bergema.

"Allahuakbar, hidup Palembang, jaya Yang Mulia Ki Gede Ing Suro!" Demikian semangat prajuritnya itu membakar para prajurit Djipang yang kini atas persetujuan pewaris tahta keraton Djipang Pangeran Arya Mataram, telah berganti status menjadi pemimpin di Palembang itu.

Tanpa perlawanan berarti, pelabuhan Musi bisa segera dikuasai. Ki Gede Ing Suro mengajak para saudagar China dan keluarga serta pekerjanya untuk mendukung pemerintahan Palembang yang baru. Uniknya, pemerintah Palembang yang baru ini bukanlah bagian dari kerajaan di Jawa, tetapi merupakan daerah bebas yang memiliki kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Bujang Jawa yang juga ahli perkayuan dan pertahanan diperintahkan oleh Ki Gede Ing Suro untuk membangun keraton Kuto Gawang dengan mengadobsi keraton Djipang. Keraton Kuto Gawang kemudian berdiri dalam bentuk empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen besar yang tebalnya mencapai 30x30 cm setiap batangnya. Kota berpagar benteng itu mempunyai ukuran 500 depa lebih baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki.

Keraton Kuto Gawang menjelma menjadi kota berbenteng tinggi menghadap ke arah Sungai Musi (selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Sebelah timurnya berbatasan Sungai Taligawe, dan mata angin baratnya berbatasan Sungai Buah. Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah terus ke utara dan satu sama lain aliran konturnya tidak bersambung. Batas kota sisi utara berupa pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan atau bermukim di seberang sungai sisi selatan Musi, sebelah barat muara Sungai Komering.

Kerajaan yang didirikan bernama Palembang, sebuah nama yang sebelumnya telah dikenal dan mahsyur di masa lampau di zaman kejayaan kerajaan Sriwijaya. Palembang adalah suatu nama yang juga sangat kharismatik dalam dunia Melayu. Legitimasi yang dibawa oleh Ki Gede Ing Suro adalah titah Pangeran Arya Mataram cucu Raden Fattah raja Demak yang lahir di Palembang, yang juga merupakan “pewaris” Kerajaan Majapahit. Untuk memperkuat diri mereka di tengah orang-orang Melayu, Ki Gede Ing Suro juga menerapkan kebijakan perkawinan antar keluarga keraton dengan orang-orang besar Melayu. Selain itu, mereka juga mengadaptasikan kebudayaan Melayu.

Keraton Palembang adalah pusat dari Batanghari Sembilan, yang merupakan lambang delapan penjuru mata angin, di mana penjuru kesembilan berada di Keraton Palembang Dengan demikian, klaim Palembang atas daerah-daerah luar kekuasaannya adalah berada di batas-batas batanghari. Selanjutnya Ki Gede Ing Suro mulai memperkenalkan tata aturan di masyarakat Palembang dengan berpedoman kepada naskah keraton Djipang yang ikut dibawanya dalam pelarian, Piyagem Pangeran Ing Djipang yang kemudian dikenal dengan sebutan Jugul Muda. Pada pokoknya Piyagem Pangeran Ing Djipang mengatur pola hubungan pemimpin dengan yang dipimpinnya. Dalam perkembangannya terjadi akulturasi budaya Melayu dan Jawa sebagai pertanda diakuinya kepemimpinan Ki Gede Ing Suro di Palembang.

(Bersambung)
Jangan lupa vote ya a

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang