Perjalanan menuntas janji

1.1K 43 0
                                    

“Aih, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menentang keputusan Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Tak pernah juga ada dipikiranku untuk menentangmu, Kakang Ki Gede Ing Suro. Selama ini engkaulah pengganti mendiang ayahku. Sejak kecil engkau mengenalku, tahu sikap dan sifatku. Mana berani aku menerima kehormatan begitu besar darimu.” Raden Kuning bergegas menjawab.

“Semua ini demi keutuhan dan kekuatan kerajaan Palembang yang akan kita deklarasikan nanti. Aku tak ingin engkau ada di bawah bayang-bayangku nantinya. Karena menurutku Raden Kuning lebih layak untuk menjadi raja ketimbang aku yang hanya prajurit biasa.” Ki Gede Ing Suro tetap bersikukuh.

“Menurutku, Kakang lebih pantas menjadi pemimpin pemerintahan. Kebijaksanaan Kakang dibutuhkan di sini. Aku yang muda dan berdarah panas ini tak cocok memegang tampuk kepemimpinan. Biarlah aku mendukungmu dengan armada perangmu, Kakang. Hari ini disaksikan oleh semua yang hadir di sini, terimalah sembah baktiku, aku berikrar di sini berikut anak keturunanku, akan terus mendukungmu dan pemerintahan setelahmu!” Raden Kuning menjatuhkan diri berlutut.

“Nah, ketika dua orang ksatria Djipang telah berikrar disaksikan semua yang hadir di sini, maka selesailah persoalan ini. Ki Gede Ing Suro telah mendapat restuku untuk menjadi pemimpin di Palembang. Bukan karena pada saat titahku itu Raden Kuning menghilang, tetapi andai pun saat itu Raden Kuning bersama dengan kita, aku akan tetap menjatuhkan titahku itu kepada Ki Gede Ing Suro. Banyak hal yang melatarbelakangi keputusanku itu, diantaranya telah disampaikan oleh Raden Kuning bahwa Ki Gede Ing Suro memiliki kebijaksanaan yang tidak dimiliki oleh yang lain. Amankan titahku ini dengan kesetiaan kalian semua!” Pangeran Arya Mataram yang semula diam kemudian buka suara. Perkataannya itu menjadi titah bagi semua yang hadir di sana.

Perbincangan mereka kemudian dilanjutkan dengan membedah sekaligus merancang aturan baru. Dasarnya adalah kitab Piyagem Pangeran Ing Djipang. Berdasarkan pandangan Ki Gede Ing Suro perlu ada penyesuaian terhadap aturan tata perilaku masyarakat tersebut dengan kondisi masyarakat di Palembang. Berdasarkan pendapat dari seluruh pihak, disepakati bahwa kitab hukum itu disesuaikan dengan nama baru kitab Jugul Muda. Kitab inilah yang kelak kemudian hari menjadi pedoman lahirnya kitab hukum Simbur Cahaya.

Setelah membahas semua yang diperlukan untuk mendeklarasikan keraton Palembang, Ki Gede Ing Suro dan Suma Banding pamit. Bujang Jawa lebih memilih tinggal bersama Punggawa Kedum menemani junjungan mereka Pangeran Arya Mataram di Lubuk Rukam. Raden Kuning ditemani dua sahabat setianya Cuncun dan Asen juga pamit kembali ke Muara Sunsang. Mereka terikat janji pada purnama kedua di Kuto Gawang untuk menghadiri peresmian keraton Palembang.
***

Suasana meriah terlihat dari banyaknya hiasan dan lampion yang diletakkan di sepanjang jalan menuju Kuto Gawang. Masyarakat menyambut suka cita prosesi naiknya Ki Gede Ing Suro sebagai raja Palembang. Pangeran Arya Mataram nampak gagah dengan pakaian bermotif rebung tujuh dengan bahan dasar hitam. Dikepalanya terikat kain berbentuk destar yang dimodifikasi dengan motif emas dengan warna dasar kain merah. Di pinggangnya melilit kain songket dengan warna dasar dominan merah. Warna merah sepintas mengingatkan adanya pengaruh China dalam struktur budaya Palembang.

Ki Gede Ing Suro menggunakan pakaian serupa. Pembedanya adalah pakaiannya bermotif rebung Sembilan. Ini menandakan bahwa beliaulah yang menjadi pemimpin utama dalam keraton Palembang. Di tangannya lah akan berlayar pemerintahan Palembang baru yang bercita-cita mengembalikan kebesaran kerajaan Sriwijaya di masa lampau.

Upacara naiknya Ki Gede Ing Suro mencapai puncaknya ketika ia membacakan ikrar sebagai raja. Ikrar itu terdiri dari kumpulan cita-cita atas nama Allah yang menempatkan rakyatnya sebagai tujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Pangeran Arya Mataram menitikkan air mata mengingat mereka telah terusir dari tanah Jawa, namun kembali menemukan jalan terang di kampung halaman leluhur mereka Raden Fattah.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now