Orang dalam

881 42 5
                                    

Orang yang menguping pembicaraan itu, kemudian berkelebat menghilang dari pandangan mata. Suma Banding mengejar kemana arah perginya orang yang telah membuat jantungnya berdegup kencang itu. Sepertinya ia sangat kaget saat melihat kehadiran orang yang sekarang tengah dikejarnya tersebut.

Purnama berada di atas kepala. Sinarnya yang terang memudahkan Suma Banding melihat ke arah mana orang itu pergi. Orang yang dikejarnya berhenti di sebuah tempat yang menyerupai gudang di seputaran dermaga Sungai Musi. Suma Banding menjaga jarak agar kehadirannya tidak diketahui lawan. Tepat di depan bangunan mirip gudang, orang itu meneriakkan sebuah kata yang menurut perkiraan Suma Banding adalah sandi rahasia.

“Amiga!”

Tak lama terdengar suara pintu dibuka dari dalam. Orang itu terlihat menjura hormat, selanjutnya ia masuk ke dalam. Suma Banding tak dapat lagi mengawasi apa yang dilakukan prajurit telik sandi itu. Dengan sabar ia menunggu di luar. Udara malam yang dingin membuatnya menggigil, tetapi ia memilih bertahan mengawasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sepenanak nasi, orang yang diawasinya keluar. Ia kembali mengempos tubuhnya dan berkelebat meninggal tempat tersebut. Beruntung Suma Banding kukuh tak mau melepas pandangannya. Jika lengah sedikit saja, pastilah ia akan kehilangan orang yang diintainya. Bergegas ia mengejar orang yang kini berlari cepat sehingga hanya menyisakan bayangannya saja.

Orang itu tak mengendurkan larinya sedikit pun. Untuk mengimbangi kecepatan lari lawan, Suma Banding harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Suma Banding sepertinya paham benar jika sang telik sandi memiliki berkepandaian tinggi. Tak heran jika saat ini ia mengerahkan seluruh kemampuan agar dapat menjaga jarak dengannya.

Entah berapa lama keduanya berlari di bawah temaram cahaya purnama. Akhirnya mereka tiba di sebuah bangunan mirip penginapan. Entah apakah ia menginap di sana, Suma Banding tak mampu lagi menduga. Yang dilihatnya, di tempat itu si telik sandi telah ditunggu oleh dua orang laki-laki tinggi besar berhidung mancung mengenakan sorban. Suma Banding menahan nafasnya. Ia melompat ke atap bubungan sesaat setelah dilihatnya orang yang diintainya masuk ke dalam penginapan. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Suma Banding berupaya mencuri dengar perbincangan di salah satu kamar yang berukuran besar. Sayangnya karena tak berani melakukan banyak gerakan, Suma Banding tak dapat melihat siapa saja yang tengah melakukan pertemuan di kamar yang berada tepat di bawahnya. Hanya lapat suara mereka yang menjadi fokus pengintaiannya.

“Apa khabarmu, prajurit telik sandi. Setelah lama sekali engkau menghilang, tak kusangka kami akan kembali menemuimu di tempat yang jauh sekali dari rumah ini. Kisahmu mengkhianati Sultan Pajang Yang Mulia Hadiwijaya lah yang membuat engkau menjadi sangat terkenal di kalangan prajurit telik sandi.  Kami diminta untuk melakukan kontak kembali denganmu. Kedatangan kami ke sini dalam rangka menunaikan amanat dari putra Sultan Prawoto yaitu Raden Arya Panggiri. Ini adalah stempel kesultanan Banten yang kami bawa untuk menguatkan bahwa kami adalah utusan dari keturunan raja-raja Demak. Adakah engkau bersedia mengemban tugas baru?”

“Sendiko dawuh, Gusti. Mana mungkin aku berani menolak tugas dari anak keturunan raja Demak, kisanak. Coba engkau sampaikan kepadaku apakah gerangan yang harus aku lakukan!”

“Mengingat latar belakangmu pernah menolak perintah dari Sultan Pajang Yang Mulia Hadiwijaya dengan alasan bahwa ia bukanlah keturunan langsung raja Demak, maka kedatangan kami kali ini berkaitan dengan sikapmu itu!”

“Aih, mengapa cerita masa lalu itu diungkit kembali kisanak?”

“Tugas yang akan engkau kerjakan kali ini mirip dengan cerita masa lalumu itu. Ki Gede Ing Suro bukanlah keturunan Sultan Demak. Ia hanya abdi keraton Demak. Tidak pantas ia menjadi raja di bumi yang kaya ini. Oleh karena itu, Ratu Ayu Kirana yang kini menjadi ratu di kesultanan Banten diminta meluruskan trah raja-raja Demak di Palembang. Beliau adalah putri dari Yang Mulia Sultan Trenggono yang terhitung bibi dari Pangeran Mas putra Raden Arya Panggiri yang kini menetap di Banten. Meskipun engkau pasti tahu akan hubungan kekerabatan Demak dan Banten itu, tetapi menurutku penting kiranya agar aku mengingatkanmu. Dan mengingat kisahmu di masa lalu, maka kami yakin engkau pasti tidak akan berani menolak tugas ini.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang