Racun

766 38 0
                                    

“Bagaimana prajurit wanabraja itu bisa sampai kesini, senopati?” Suma Banding berbisik kepada Sentri Payu.

“Entahlah, tuan. Terakhir prajurit itu melarikan diri dalam peristiwa keributan di dalam penjara. Apakah yang harus saya lakukan tuan penasehat? Atas perkenanmu, bolehkah kami menangkapnya sekarang?”

“Jangan dulu, senopati. Aku ingin melihat akan ada peristiwa apa lagi yang terjadi setelah ini,” jawab Suma Banding.

Prajurit Manjar Bisma langsung melolos keris di tangan kanannya. Dengan ganas ia menyerang lelaki bersorban. Prajurit biasa itu terlihat hanya mengandalkan tenaga kasar. Lelaki bersorban membiarkan saja keris lawan menusuk ke arah lambungnya.

“Des, uh!” Keris Manjar Bisma menghujam dengan kerasnya ke tubuh lawan. Anehnya meskipun keris itu terlihat menancap di perutnya, lelaki bersorban bergeming dari berdirinya. Di ujung bibirnya ia terlihat tersenyum simpul. Di saat bersamaan, Manjar Bisma merasakan tangannya yang memegang keris terasa di aliri oleh tenaga panas.

“Engkau telah keracunan tenaga dalamku, kisanak. Dengan bobot racun di dalam tubuhmu sebelumnya, dan ditambah dengan racunku yang sekarang, maka jangan harap engkau dapat melihat sinar matahari lagi besok, hahahahaha!”

“Aih, mengapa dadaku sangat sesak seperti ini?”

“Aku sudah bilang baru saja kepadamu. Tubuhmu saat ini penuh dengan racun. Bagaimana engkau bisa melukaiku. Kepandaianmu yang tak seberapa ini menunjukkan bahwa ke depannya engkau harus mengusai ilmu kanuragan agar karirmu sebagai prajurit cepat naik kelas.”

“Cepat engkau berikan obat penawarnya. Aku tak butuh nasehatmu yang kapiran itu,” ujarnya jengkel.
“Kalahkah dulu aku,” Mpu Saliwan terkekeh.

Tetiba prajurit Manjar Bisma terhuyung ke belakang. Matanya terpejam dan kedua tangannya mengembang. Dengan diawali ayunan kedua tangannya, tubuhnya berputar seperti gasing. Ia sepertinya telah hilang kendali. Putaran tubuhnya itu lama kelamaan menjadi semakin kencang dan gulungan tubuhnya itu menyerang Mpu Saliwan.

“Hei, ada orang pandai yang menyusup ke raga prajurit mabuk ini. Keluarlah!” Mpu Saliwan membuka lima jari tangan kanannya dan memukul tubuh lawan yang terus berputar.

“Des, augh!” Manjar Bisma terpental hingga membentur pembatas arena dengan penonton. Tubuhnya yang terbaring sempat bergerak-gerak liar kemudian diam. Prajurit jaga segera membawa tandu dan membawanya ke ruang pengobatan.

“Aku mengaku kalah,” ujar Mpu Saliwan. Usai memukul Manjar Bisma, ia terdorong ke belakang hingga tiga tombak. Dari sela-sela bibirnya terlihat darah segar. Ia segera melompat mundur ke arah tempat jagoan Malaka menonton pertandingan.

Saliwan duduk bersila mengatur nafasnya dalam semedi. Seorang lelaki sepuh bersorban yang sedari tadi mengamati jalannya pertarungan dengan tenang, menghampiri Saliwan yang tengah bersemedi. Dengan cekatan lelaki itu terlihat menyentuh pundak Saliwan dengan tangan kanannya. Perubahan segera terlihat. Jika sebelumnya nafas Mpu Saliwan terengah-engah, tetapi setelah mendapat sentuhan di pundaknya, nafasnya segera teratur.

Kejadian aneh itu sempat membuat penonton bergumam riuh rendah. Pembawa acara kembali naik ke atas panggung untuk menenangkan penonton. Berkali-kali ia memberikan isyarat dengan kedua tangannya agar penonton kembali tertib.

“Tolong semua yang hadir untuk tertib. Kita masih mempunyai banyak ahli bela diri yang belum turun ke arena. Karena pertarungan aneh ini membuat utusan dari kedua kerajaan tak dapat melanjutkan peratarungan, maka kami akan kembali mengundang utusan dari kerajaan Aceh untuk naik ke atas arena,” tukasnya.

Seorang lelaki muda berkumis tipis menggunakan tanjak dan bersarung rumpak bermotif ukiran bunga berkelebat naik ke atas panggung. Wajahnya terlihat bersinar memancarkan aura persahabatan. Semua penonton yang melihatnya segera jatuh hati. Ya, lelaki muda itu memang terlalu tampan untuk ikut pertarungan yang mungkin saja dapat membahayakan jiwanya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now