Kampung Perompak

1.2K 44 0
                                    

Perkampungan perompak di muara Sungsang berkaitan erat dengan sejarah keberadaan perompak Chen Zuyi. Perantauan Tionghoa dari Kanton itu melarikan diri ke Palembang karena tak cocok dengan kebijakan Dinasti Ming. Ketika itu Cina memberlakukan haijin berupa pelarangan melaut untuk berniaga secara mandiri ke luar negeri bagi seluruh warga Cina.

Akibatnya pedagang Cina khususnya yang berasal dari kawasan pesisir dengan pelabuhan internasional besar nan terkenal macam Kanton, merasa dikerangkeng ruang gerak mata pencahariannya sesudah “haijin” diberlakukan. Beberapa diantaranya memilih melawan haijin agar kebutuhan hidup mereka yang utamanya bersandar pada jual-beli dengan negara lain lewat jalur maritim, bisa tetap terpenuhi. Pada masa era Dinasti Song berkuasa, para pedagang Cina dapat bebas melakukan transaksi luar negeri dengan aman.

Latar belakang pemberlakuan haijin tersebut karena Dinasti Ming tak rela kehilangan pundi-pundi pajak dari para saudagarnya. Ketika itu banyak saudagar kaya asal Cina yang kabur keluar Cina karena tak sepakat dengan haijin. Di era kaisar Yongle diberlakukan pengampunan bagi saudagar yang mau pulang ke Cina setelah lama bersemayam di luar negeri. Bahkan Kaisar Yongle berjanji menghidupkan kembali usahanya sepanjang saudagar tersebut berjanji menjadi warga liangmin (warga yang baik).

Orang Tiongkok yang kabur dan sembunyi di luar negeri kalau tetap bersikeras tidak mau bertobat pulang ke Tiongkok, kedinastian akan mengerahkan bala tentara untuk jiao lu (membasmi). Padahal sebelumnya Dinasti Ming memberlakukan barang siapa yang berani melanggar ‘haijin’ dan menggelar perniagaan secara mandiri dengan negara luar, pasti akan dihukum berat. Kebijakan itu kontradiksi.

Chen Zuyi dan Liang Daoming saudagar dari Kanton menjadi buronan paling dicari karena nyata-nyata berani menantang kaisar dan melarikan diri ke luar Cina. Keberanian Chen Zuyi bahkan tidak saja dalam hal melanggar haijin, tetapi juga merompak kapal dagang dari Tiongkok yang melintas jalur sutera laut di sekitar perairan Palembang.

Liang Daoming kemudian terpaksa pulang ke Cina di masa Dinasti Ming memberlakukan pengampunan bagi warganya yang lari ke luar negeri. Ihwal keputusannya untuk pulang karena anaknya dijadikan sandera pemerintah. Setelah mudik ke Cina, usaha perdagangannya di Palembang tetap berjalan karena dijalani oleh asisten kepercayaannya, Shi Jinqing. Namun di waktu yang sama, Chen Zuyi  justru kian mendapatkan simpati dari masyarakat Palembang sehingga usahanya bisa bertanding dengan Shi Jinqing. Melihat makin besarnya pengaruh Chen Zuyi di tanah Sriwijaya, dirasa bagai duri dalam daging bagi Shi Jinqing.

Naas, bagi Chen Zuyi. Shi Jinqing memanfaatkan kedatangan Laksamana Cheng Ho di perairan Palembang. Jinqing membuat cerita tentang kebengisan Chen Zuyi selama di pelabuhan. Yang lebih memberatkannya adalah bahwa Chen Suyi merompak barang-barang dari kapal pendatang asal Tiongkok yang melintas di pelabuhan lama Jiugang (Palembang). Pasukan Cheng Ho kemudian menyerang Chen Zuyi dan membunuh lebih dari lima ribu orang pengikutnya, membakar 10 kapal, menawan 7 kapal, dan merampas 2 stempel perunggu lambang kekuasaan.

Chen Zuyi kemudian ditangkap hidup-hidup, lantas dibawa pulang ke pusat kekaisaran di Nanking untuk dieksekusi mati dengan dipancung kepalanya di depan khalayak umum. Berkat jasanya menyingkap ‘kebengisan’ Chen Zuyi, kekaisaran menganugerahi tanda jasa bagi Shi Jinqing, dan mengembalikan kepemimpinan besar Pelabuhan Lama kepadanya agar bisa kembali menguasai wilayah Palembang.

Ihwal perkampungan perompak Hokkian di bawah pimpinan Litantong, mereka adalah bekas pengikut saudagar Chen Zuyi. Mereka yang kini terpisah-pisah dalam kelompok kecil memiliki cara sendiri untuk bertahan hidup. Sebelumnya kelompok Shi Jinqing sempat memburu kelompok bekas pengikut Chen Zuyi. Namun kelompok Litantong selalu bisa meloloskan diri berkat adanya tabib sakti Yueren.

Kepandaian mereka untuk tetap bertahan hidup diwariskan turun temurun sebagai pedagang dan pelaut. Meskipun memiliki perkampungan di daratan, kelompok hokkian itu tidak memiliki keterampilan bercocok tanam. Oleh karena itu, dalam perkembangannya, komplotan Litantong menjelma sebagai kelompok bajak laut yang mengincar kapal dagang asal Tiongkok. Awalnya tindakan merompak kapal dagang Cina adalah karena didasari balas dendam, tetapi dalam perkembangannya kelompok itu akhirnya benar-benar menjadi komplotan bajak laut yang ditakuti.

Namun yang menjadi catatan bagi komplotan Li, mereka hanya memprioritaskan merompak harta benda saja. Sedapat mungkin kelompok Li menghindari bentrok yang menyebabkan korbannya kehilangannya nyawa. Sudah menjadi cara mereka dalam setiap beraksi selalu menculik orang penting dalam kapal dan meminta mereka menyerahkan tebusan. Begitu pula yang dialami oleh Raden Kuning. Prajurit pilih tanding asal Djipang  yang tengah hilang kewarasannya itu tak sengaja menjadi korban penculikan komplotan perompak Li.

***

Sekoci kecil yang dikayuh dengan dayung itu melesat cepat ke tengah lautan. Di dalamnya ada tiga laki-laki terdiri dari seorang pemuda gagah dengan pandangan mata ganjil dan dua pria bermata sipit bertubuh ceking dan yang satunya berkepala plontos. Ya, mereka adalah Raden Kuning, Asen dan Cuncun. Tujuan perjalanan ketiganya adalah menculik orang penting dalam kapal milik saudagar dari Cina yang melintas menuju Selat Malaka. Jika tak salah buruan mereka kali ini adalah saudagar pedagang sutera asal Tiongkok yang hendak mengirim dagangannya ke Asia Tengah.

Kapal besar itu dijaga oleh banyak prajurit Tiongkok. Untuk alasan keamanan memang kapal Cina selalu dikawal pasukan pemerintah. Namun hal itu bukan halangan bagi Raden Kuning. Di malam yang gelap pekat itu, pria berkepandaian tinggi tersebut dengan mudah mampu menyelinap ke dalam kapal bersama dengan sahabatnya Asen. Mereka lalu menangkap seorang pria paruh baya yang berpakaian mewah dan berpenampilan mentereng. Dengan sekali totok orang itu langsung tak berdaya. Raden Kuning menggendong tubuh sanderanya dan segera mengendap-endap keluar kapal.

Ya, Raden Kuning saat ini memiliki tugas baru yaitu menculik sandera dari kapal milik saudagar yang hendak mereka rompak. Kali ini komplotan Li berhasil mendapat buruan kakap. Kapal besar itu berbendera perusahaan Shi Jinqing, musuh bebuyutan leluhur Litantong. Saat Asen, Cuncun, Raden Kuning kembali dengan membawa sandera, Litantong tertawa senang. Ia sendiri bahkan yang kemudian melepas anak panah berisi pesan tulisan meminta tebusan ke kapal Tiongkok tersebut.

“Hahahaha..... Hebat kau monyet kuning. Engkau sangat berguna bagi kelompok kita melebihi tebusan satu peti emas. Kapal mereka kemudian mendapat respon dari kapal buruannya. Para gerombolan perompak itu kemudian mendekat. Mereka meminta tebusan satu peti koin emas. Perompakan tersebut berlangsung damai dan komplotan Li mendapat jarahan besar malam ini.

Sandera baru dilepaskan setelah tebusan diberikan dan Raden Kuning sendirianlah yang melepas sandera. Hal itu demi pertimbangan keamanan dan keselamatan komplotan. Dengan menggunakan kepandaiannya tingkat tinggi, tak ada halangan bagi baginya untuk menunaikan tugas itu. Usai melepas sandera, Raden Kuning segera mengempos sekoci hingga mampu membalap laju kapal pemburu yang ditumpangi Li dan perompak lainnya. Bergabungnya Raden Kuning dengan kelompok Li itu akan menoreh sejarah baru dalam perkembangan komplotan Litantong di masa mendatang.

Kedatangan mereka membawa hasil jarahan mendapat sambutan riuh rendah dari warga di perkampungan perompak. Mereka mengelu-elukan Raden Kuning yang telah berjasa pada malam itu. Disambut bak raja seperti saat itu, Raden Kuning yang kurang waras malah menari. Gerakannya seperti monyet kegirangan jejingkrakan kesana kemari. Para kaum perempuan menyuguhkan sajian penganan dan minuman tanda mereka bersuka cita bak merayakan prajurit yang menang perang. Kegembiraan itu baru berhenti sampai larut malam. Raden Kuning yang kekenyangan bahkan tertidur pulas di teras rumah tabib Yu, setelah Asen meminumkan ramuan penyembuh kepadanya.

Perkembangan kesehatan Raden Kuning yang menunjukkan kemajuan sebenarnya menggembirakan sekaligus menjadi momok bagi Litantong. Dirinya khawatir ketika tawanan mereka yang kini telah jadi bagian keluarganya itu sadar, maka ia akan berbalik memusuhinya. Saat semua sudah terlelap, Li menghadap tabib Yu guna menyampaikan kegelisahan hatinya.

“Aku terus berpikir bagaimana jika si Kuning itu nanti sadar ia malah menerkam kita. Jangan sampai kita seperti menolong harimau sakit, tabib Yu. Bagaimana pandanganmu?”

“Ya, akupun berpikiran sama. Melihat tingginya kepandaiannya, aku khawatir dengan usia yang telah sepuh ini tak akan mampu mengalahkan dirinya. Menurut pandanganku, kita harus segera mengangkat ia menjadi bagian dari keluarga kita ini. Caranya dengan mengikat ia menjadi anak menantumu. Kawinkan ia dengan putri sulungmu!”

(Bersambung)
Vote

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now