Dimensi Bayangan

952 43 2
                                    

Meskipun telah berteriak sekuat tenaga, Raden Kuning tetap teralienasi. Ia sendirian di sana. Dilihatnya sekelompok kera berekor panjang masih melemparinya dengan kerikil. Namun, tak ada satu pun lemparan batu mengenai tubuhnya. Raden Kuning sadar bahwa ia berbeda dimensi dengan kera kecil berekor panjang itu. Mereka berada dalam dimensi bayangan yang ada di cermin. Sedangkan dirinya berada dalam dimensi lain. Begitu pula dengan pohon Beringin tua yang terlihat berdiri kokoh di hadapannya. Sepertinya pohon besar itu berada dalam dimensi yang sama dengan puluhan kera yang melemparinya.

Tetiba terbersit pikiran untuk mengarahkan cermin ke pohon Beringin. Batu kerikil yang dilemparkan oleh kera mengenai kulit pohon. Suara berkeletok pokok kayu terkena lemparan kerikil terdengar nyata di telinganya.

“Sedari tadi aku berupaya mendekati Beringin itu, tetapi ia selalu menjauh. Setelah aku berendam di air kubangan, Beringin aneh itu bisa kudekati. Aih, mengapa tak terpikirkan sebelumnya olehku.” Tetiba Raden Kuning seperti mendapat pencerahan. Ia mengarahkan cermin ke kakinya.

“Aduh!” Raden Kuning berteriak kesakitan. Lemparan kerikil mengenai kakinya.

Air kubangan ternyata media penyambung dimensi. Seketika ia merebahkan tubuhnya bergulingan di kubangan. Meskipun parit berisi air itu menyerupai kubangan, tetapi airnya terasa menyegarkan. Raden Kuning tak ubahnya seperti bebek yang tengah bermain air. Seluruh tubuhnya basah tanpa terkecuali. Ia kemudian melompat ke arah Beringin. Dengan mudah kakinya dapat menjejak di dahan beringin yang berdaun lebat.

“Saat ini aku telah berada dalam dimensi bayangan!” serunya takjub.

Belasan kera kerdil berekor panjang berlarian menjauh. Mereka sepertinya  takut dengan kehadiran manusia. Raden Kuning memandang sekelilingnya. Di atas pohon Beringin terlihat burung pipit bersarang. Belum selesai matanya mengenali situasi, tetiba matanya melihat burung besar mirip dengan Elang. Kuku kakinya mencengkeram dahan Beringin, sementara bola matanya yang berwarna merah memandang Raden Kuning dengan liar.

Tetiba burung mirip Elang itu terbang ke angkasa. Raden Kuning segera melompat ke tempat hewan itu sebelumnya bercokol. Ia menemukan sarang besar yang terbuat dari serat mirip serabut kelapa berisi sebuah telur berukuran besar. Ya, rupanya pucuk pohon Beringin itu adalah tempat burung raksasa itu bersarang.

Baru saja takjub atas temuannya, tetiba dari langit nampak Elang itu melesat dengan cepat menyerang Raden Kuning. Kuku kakinya membentuk cakar yang siap merobek kepala Raden Kuning. Sadar jika kehadirannya di sana tak disukai, Raden Kuning segera memasang kuda-kuda.

Ia tak mau main-main dengan serangan burung raksasa itu. Raden Kuning segera memainkan aji medhar sukma untuk mengecoh burung yang tengah murka. Tubuh Raden Kuning berpendar menjadi tiga dan ketiganya memainkan jurus melampah ingkang lurus. Cengkeraman Elang raksasa dilawan dengan jurus tendangan kaki.

Anehnya, Elang raksasa seperti tidak menghiraukan serangan dari dua bayangan tubuh Raden Kuning. Ia hanya fokus menghadapi serangan sosok asli Raden Kuning. Bahkan ketika dua sosok bayangannya berhasil menyarangkan tendangan ke tubuh Elang raksasa, tendangan itu lolos tak mampu mengenai kulit hewan besar tersebut.

“Aih, aji medhar sukma tak berlaku di sini.” Raden Kuning bergumam sendiri.

Ia kini kerepotan menghadapi serangan kaki dan patukan paruh Elang yang terus menyerang dari segala penjuru. Tangannya bahkan telah terluka terkena cakar Elang. Meski tidak menimbulkan luka yang dalam, tak urung tangan Raden Kuning berdarah.

Raden Kuning kemudian melompat ke atas menyerang dengan menggunakan jurus pukulan toyo ing uripan. Pukulannya disambut dengan patukan. Ia terkejut melihat salah satu jurus pamungkasnya itu tak mampu membuat Elang raksasa terjatuh. Ksatria yang menjadi pimpinan prajurit keraton Palembang itu terus memutar akalnya. Tetiba ia teringat jika saat ini dirinya tengah berada dalam dimensi bayangan karena terhubung oleh air yang membasahi tubuhnya.

“Apa boleh buat, aku harus menahan malu menunjukkan auratku kepadamu, Elang ganas!” Entah apa yang ada di dalam pikiran Raden Kuning, tetiba ia memainkan jurus langkah ajaib. Kakinya bergerak cepat tak beraturan hinggap dari ranting-ranting pohon Beringin. Lalu setelah berhasil mengendalikan keadaan, ia melepas pakaiannya.

Perkelahian tak seimbang antara manusia dengan hewan raksasa itu berakhir lucu. Raden Kuning tak lagi mengenakan pakaiannya, bertelanjang dada menghadapi serangan Elang raksasa. Anehnya, setelah melepas sebagian pakaiannya serangan ganas burung raksasa itu tak mampu menyentuh kulit tubuhnya.

Raden Kuning mendapat pelajaran berharga. Sekuat-kuatnya tenaga hewan, ia tetap tak mampu melawan akal manusia. Raden Kuning telah membuktikan bahwa akal yang membuat dirinya selamat.

“Menggunakan akal dan pikiran adalah salah satu ikhtiar yang berfungsi untuk menerjemahkan qodarnya takdir. Aku paham sekarang, guru.” Raden Kuning kemudian menggunakan pakaiannya untuk mengambil telur burung raksasa. Ia lalu memecahkan cermin kecil di tangannya. Air dan cermin itulah yang menjadi dimensi penghubung mereka.

“Aih, aku bermimpi aneh, guru!” Raden Kuning yang tengah menjalani tirakat mati tetiba membuka matanya. Rembalun yang berada di sisinya segera membangunkan tubuh Raden Kuning yang sebelumnya terbaring.

“Engkau tidak bermimpi, muridku. Jiwamu baru saja melakoni perjalanan spirituil mencari kunci ilmu bayangan. Apa yang engkau dapat dari perjalananmu?” tanya Ki Ageng Selamana.

“Aku tadi membawa telur burung raksasa yang kubungkus dengan pakaianku. Eh, dimanakah telur itu.” Raden Kuning meraba pakaian yang ternyata masih ia kenakan. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan benda berbentuk bulat seperti telur dari balik pakaian yang masih dikenakannya.

“Aih, telur ini nyata. Kupikir tadi aku hanya bermimpi saja!” Raden Kuning segera menyerahkan benda berbentuk telur besar itu.

“Benda yang engkau dapatkan ini adalah besi pilihan. Ia berjodoh denganmu, muridku. Rembalun, aku serahkan telur besi ini kepadamu untuk kau tempa menjadi senjata.”

“Sendiko dawuh, guru. Saya akan berusaha sekuat tenaga menempa telur besi itu hingga dapat menjadi senjata untuk Dimas Raden Kuning.”

“Apakah keistimewaan telur besi itu, guru?” Raden Kuning bertanya.

“Telur besi itu akan membuatmu terhubung dengan dimensi bayangan. Jika Rembalun butuh waktu seumur hidupnya menekuni tirakat lakon untuk menguasai ilmu bayangan, engkau akan dengan mudah mengusai ilmu bayangan dengan bantuan telur besi itu.”

“Aih, bagaimana bisa aku mampu menguasainya dalam waktu secepat ini?” Raden Kuning seperti keheranan sendiri.

“Engkau sudah tertidur selama satu pekan, Dimas Raden.”

“Aih, lama sekali aku tertidur. Pantas tubuhku terasa lemah dan perutku keroncongan.”

“Adi Rangga Balun, segera panaskan bubur. Berikan kakangmu Raden Kuning makanan!” seru Rembalun.

Tak lama kemudian Rangga Balun muncul membawa semangkuk bubur panas. Uapnya yang mengepul disambut dengan bunyi perut Raden Kuning. Dengan lahap ia menghabiskan bubur yang memang telah disiapkan untuknya.

“Aih, kakang. Pelan-pelan bubur ini masih panas,” Rangga Balun tertawa senang.

“Tak apa-apa Dimas Balun. Cacing di perutku ini tak bisa lagi kuajak kompromi!”

“Ya, kakang. Semoga kakang cepat sehat seperti sedia kala. Teman-teman di padepokan sudah ramai menanyakanmu.”

“Wah aku lupa jika di padepokan banyak sekali penggemarku.” Raden Kuning terbahak.

“Memang benar kakang. Banyak sekali penggemarmu di padepokan. Kami semua menanti petunjuk kakang. Cepatlah sehat!”

“Aih, hiyat!” Raden Kuning tetiba melompat seperti menghindari sesuatu. Ia langsung berdiri dan mengambil kuda-kuda bertahan.

“Cepat tutup semua indera perasamu, Dimas!” Rembalun berteriak panik. Tangan Raden Kuning tetiba berdarah seperti tergores cakar Elang.

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now