Prinsip kehidupan

1.3K 51 1
                                    

Di hari ketujuh tak sadarkan diri, Raden Kuning siuman. Seluruh tubuhnya lemas. Wajahnya pucat, beberapa helai rambutnya memutih. Pemuda yang baru berusia dua puluhan itu berubah lebih tua dari umur sebenarnya. Kehilangan tenaga inti bumi dan tenaga kawedar membuat rambutnya berubah. Prajurit Djipang yang berjaga di buritan kapal membantu Raden Kuning dengan menyuapi sari pati makanan. Tubuh lemas itu terpaksa dipapah dua orang prajurit untuk turun ke lambung kapal beristirahat di petilasan Pangeran Arya Mataram.

Raden Kuning kehilangan dasar tenaga dalam untuk memainkan ilmu sangkan paraning dumadi. Enam jurus awal yang sebelumnya dikuasainya tak bisa lagi dimainkan karena tenaga yang tersisa di tubuhnya hanyalah tenaga semesta dan tenaga kiranam yang terserap dari anggota sekte Aghori. Kedua jenis tenaga dalam itu bersifat dingin. Jika pun sehat seperti sedia kala, belum tentu tenaga semesta sebagai dasar penggunaan jurus ketujuh dan kedelapan dapat digunakan.

“Semua nasib baik dan buruk itu yang kita alami sudah tercatat, Ngger. Apa yang terjadi pada dirimu sekarang menjadi bukti bahwa catatan itu ada. Engkau kehilangan ilmu kepandaian, sebagian rambutmu pun berubah putih.  Coba kuperiksa nadimu!” Pangeran Arya Mataram memegang tangan kanan keponakannya. Wajah berubah ketika memeriksa denyut nadi Raden Kuning.

“Ada apakah Yang Mulia. Apa yang telah terjadi dengan tubuhku?” Raden Kuning menatap wajah pamannya yang telah menjadi pengganti kedua orang tuanya yang telah tiada.

“Hmm...., denyut nadimu tak beraturan. Engkau keracunan tenagamu sendiri. Beruntung cepat kau musnahkan tenaga inti bumi milikmu. Jika tidak pasti nyawamu tak tertolong. Untuk sementara engkau kehilangan kepandaian, Ngger. Sampai tenaga semesta mu bisa menyatu dengan tubuhmu, baru engkau bisa berlatih kanuragan. Dan kita tak tahu kapan tubuhmu bisa menyesuaikan dengan tenaga semesta.”

“Aku pasrah, Yang Mulia. Jika memang harus kehilangan kepandaian pun, aku nerimo. Ajari aku tentang ilmu kehidupan. Agar hari-hariku tidak sepi, dan agar akhlakku bisa lebih baik lagi.”

Kedua paman dan keponakan itu kemudian belajar tentang ilmu kehidupan. Pangeran Arya Mataram menyampaikan tentang dua prinsip pokok yang mesti dipegang teguh oleh orang Jawa yaitu 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 𝘩𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 dan 𝘴𝘦𝘱𝘪 𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘮𝘳𝘪𝘩 𝘳𝘢𝘮𝘦 𝘪𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘸𝘦. 𝘔𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 𝘩𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 berasal dari kata 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 yang mempunyai kata dasar 𝘩𝘢𝘺𝘶 yang berartu cantik, indah atau selamat. Dengan mendapat awalan me menjadi 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 dapat berarti mempercantik, memperindah atau meningkatkan keselamatan.

“𝘏𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨 berasal dari kata 𝘩𝘢𝘺𝘶 dengan mendapatkan kata ganti kepunyaan ning yang berarti nya sehingga mempunyai makna cantiknya indahnya atau selamatnya. Jika digabungkan menjadi 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 𝘩𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨, maka akan berarti mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Ini adalah prinsip pertama yang selalu dipegang teguh oleh kita, kerabat keraton Djipang, Ngger.”

Sedangkan kata 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 berarti dunia. Ada dua pengertian yang bisa dikategorikan sebagai 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 yaitu dunia  dalam pengertian dunia batin, jiwa atau rohani dan dunia secara fisik atau lahiriah yaitu ragawi, atau jasmaniahnya.

“𝘉𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 terdiri dari tiga macam makna yaitu 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 𝘢𝘭𝘪𝘵 yang bermakna pribadi dan keluarga, 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 𝘢𝘨𝘶𝘯𝘨 yang berarti masyarakat, bangsa, negara dan 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘨𝘦𝘯𝘨 adalah alam akhirat. Jadi secara keseluruhan 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 𝘩𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 adalah mengupayakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia. Dalam konsep Islam 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘺𝘶 𝘩𝘢𝘺𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘸𝘰𝘯𝘰 disebut dengan 𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘭𝘪𝘭 𝘢𝘭𝘢𝘮𝘪𝘯.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now