Mengatur strategi

837 46 2
                                    

Suma Banding berbalik mendekati Raden Sabtu. Ia kemudian menjawab pertanyaan anak muda itu dengan berbisik di telinganya. Raden Sabtu sontak terkejut. Dari ekspresi wajahnya sepertinya ia tidak percaya dengan khabar yang baru dibisikkan ke telinganya.

“Aih, apakah benar berita ini Paman. Kalau bukan engkau langsung yang menyampaikannya kepadaku, pastilah aku akan mati-matian membantahnya!”

“Ya, begitulah yang Raden. Aku sendiri yang melihat dan menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Berita yang baru kusampaikan ini hendaknya kau simpan dulu di dalam hati. Aku juga tak ingin gegabah. Mungkin ada alasan lain, dia berbuat seperti itu!”

Pagi itu terlihat prajurit bertukar jaga. Mereka nampak memberi hormat kepada penasehat keraton yang terlihat berjalan meninggalkan regol yang saat itu ditempati oleh para tamu raja.

Suma Banding ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya yang berada di Candi Laras. Penasehat raja itu justru menyempatkan diri menuju dapur istana. Ia menemui kepala juru masak. Secara khusus Suma Banding meminta bicara empat mata.

“Aku ingin melihat daftar nama abdi dalem yang bertugas di dapur istana. Jangan ada yang terlewat berikut masa kerja mereka,” ujar Suma Banding.

“Baik, tuan. Sebentar saya ambilkan nama-nama petugasnya berikut catatan tentang masa kerja mereka.” Si juru masak mengambil catatannya dari sebuah lemari. Mereka berdua bicara di sebuah ruangan yang menjadi kantor kepala juru masak. Sependidih air, ia telah menemukan apa yang dicarinya dan menyerahkan kepada Suma Banding.

Dengan teliti penasehat kerajaan itu membaca buku berisi catatan nama dan masa kerja petugas dapur istana. Ia kemudian memberi catatan terhadap tiga orang abdi dapur yang baru tiga bulan diterima bekerja di sana.

“Aku ingin tiga abdi dapur ini untuk sementara dibebastugaskan. Jangan sampai ada orang baru yang bertugas di dapur istana. Apakah ada lagi petugas baru selain catatanmu ini?” tanyanya.

“Tidak ada petugas baru selain tiga orang itu, tuan. Sesuai perintah tuan, mulai hari ini mereka bertiga akan saya liburkan.”

“Selanjutnya aku meminta engkau bertanggungjawab penuh untuk membuat dapur kedua yang akan memiliki tugas yang sama yaitu menyiapkan makanan pada saat ajang adu tanding berlangsung. Dapur kedua itu harus engkau rahasiakan. Hanya kita berdua dan orang-orangmu yang engkau pilih yang mengetahuinya. Apakah engkau sanggup melaksanakannya secara rahasia, Seto Kalyan?”

“Insya Allah saya mampu menjalankannya, tuan.”

“Kemudian aku ingin memberi tugas tambahan kepadamu. Segeralah engkau mendekat. Tugas itu mestinya aku sampaikan dengan suara yang pelan.” Suma Banding memberi isyarat agar kepala juru masak Seto Kalyan mendekatkan telinganya. Ia kemudian berbisik kepada kepala juru masak istana itu. Setelah mendapat perintah yang ketiga, terlihat wajah Seto Kalyan berkerut. Sepertinya ia tengah mencerna perintah ketiga itu.

“Nasib keraton Palembang ada di tanganmu, Seto. Keselamatan baginda raja dan petinggi keraton aku serahkan kepada dirimu. Jika engkau gagal, maka istana akan diambil orang asing.”

“Baik, tuan. Saya akan mempertaruhkan jiwa dan raga saya untuk melaksanakan tiga perintah tuan.”

“Selanjutnya aku minta agar jalur distribusi pasokan makanan dan minuman untuk dapur istana dibersihkan. Siapakah orang yang bertanggungjawab atas hal tersebut?”

“Sebagai kepala juru masak, saya lah yang bertugas mulai dari mempersiapkan bahan makanan hingga menyediakan minuman untuk istana, tuan. Namun saya perlu meminta bantuan dari tuan agar ada orang yang membantu saya untuk pengamanan jalur pasokan makanan tersebut.”

“Aku rasa engkau lebih mengetahui apa yang harus dilakukan. Jika dalam melaksanakan tugas itu engkau menemui kesusahan, segera laporkan kepadaku. Aku ingin laporan itu setiap sore hari disampaikan kepadaku. Setelah ini engkau harus membentuk tiga kelompok juru masak agar tugas yang aku berikan bisa dijalankan dengan baik.”

Setelah merasa cukup memberi penugasan kepada kepala juru masak, Suma Banding bergegas keluar dari dapur istana. Masih ada satu tugas lagi yang harus dikerjakannya. Ia hendak mengawasi jalur kedatangan para tamu ke bumi Palembang. Untuk kepentingan itu, Suma Banding memerintahkan seorang abdi dalem membawa kereta kuda dan menemaninya menikmati pagi di pelabuhan Musi yang selalu padat dengan aktivitas.

Matahari terlihat masih malu-malu muncul dari ufuk Timur. Suma Banding tak ingin kedatangannya mengganggu kegiatan bongkar muat di pelabuhan. Karenanya ia meminta kusir untuk berkeliling mengitari dermaga. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat bahwa banyak sekali orang asing yang baru tiba di Palembang. Menurut perkiraannya, mereka itu adalah tamu-tamu istimewa yang akan mewakili kerajaannya akan beradu tanding menunjukkan kekuatan.

Di pagi itu ada sebuah kapal yang baru sandar di dermaga Musi yang menarik perhatiannya. Kapal jenis Galai itu bertiang layar penuh. Di atas tiang layar utama berkibar berbendera kesultanan Malaka. Setelah melepas sauh, terlihat beberapa penumpangnya turun ke daratan. Dari atas kereta kuda yang ditumpanginya, Suma Banding dapat menghitung bahwa ada tujuh orang yang turun dari kapal tersebut. Di dermaga pelabuhan nampak ada dua orang lelaki bertubuh kekar yang telah menyambut kedatangan mereka.

Tujuh orang yang baru datang itu bukanlah ahli silat. Jika melihat dari pakaian yang dikenakan mereka serta gerakan tubuhnya yang lambat, mereka adalah orang biasa. Mungkin di kesultanan Malaka orang-orang itu hanyalah pegawai rendahan di istana. Kereta kuda yang ditumpanginya masih terhenti karena jalan yang dilewatinya menuju pelabuhan dipadati kendaraan pengangkut barang. Suma Banding yang tengah melakukan pengawasan terbantu oleh kemacetan di pelabuhan Musi karena orang-orang tidak menaruh curiga dengan kehadiran delman di pagi hari itu. Beberapa kereta kuda mirip pedati yang berfungsi mengangkut barang juga tidak mengenali jika dua ekor kuda yang menarik kereta kuda yang ditumpangi Suma Banding adalah kereta istana yang ditarik kuda-kuda pilihan. Di pelabuhan yang padat seperti pelabuhan Musi, waktu berjalan cepat dan semua orang hanya mengurusi urusannya masing-masing.

Dua orang yang menyambut kedatangan tujuh penumpang yang turun dari kapal Galai membawa mereka keluar pelabuhan dengan berjalan kaki. Ikut mengantar ketujuh orang itu para kuli pengangkut yang membawa barang bawaan para tamu yang baru datang itu. Di luar pelabuhan telah menunggu dua buah kereta kuda yang menyerupai pedati. Mereka menumpang kendaraan tersebut meninggalkan hiruk pikuk pelabuhan Musi.

“Engkau putarlah kereta kuda ini, ikuti mereka.” Suma Banding memberi perintah agar kusir kereta kuda memutar arah dan mengikuti orang-orang yang baru datang tersebut. Cukup sulit kusir kereta kuda itu memutar arah karena kemacetan. Sependidih air, mereka akhirnya berhasil pergi dari pelabuhan dan dengan perlahan tapi pasti berhasil mengejar pedati pengangkut barang yang ditumpangi orang-orang dari Malaka.

Sepenanak nasi, pedati yang diikutinya berhenti di sebuah tempat mirip gudang. Suma Banding langsung mengenali gudang itu sebagai tempat pertama yang dikunjungi oleh telik sandi yang diikutinya malam tadi. Ia memerintahkan kusir kereta untuk berjalan terus melewati tempat pemberhentian orang-orang Malaka. Setidaknya ia kini mahfum jika tempat itu dipergunakan oleh orang-orang dari Malaka untuk mengerjakan sesuatu. Mereka yang baru datang itu adalah pekerja yang akan bertugas di tempat tersebut. Setelah yakin atas temuannya, Suma Banding memerintahkan kusir kereta kuda mengantarnya pulang ke Candi Laras. Memejamkan mata adalah satu-satunya perbuatan yang ingin dilakukan olehnya. Setelah semalaman melek, Suma Banding memutuskan bahwa saatnya ia mengistirahatkan tubuhnya yang sudah mulai sepuh itu.

“Berhenti kalian hei penumpang kereta kuda!” Tetiba dari arah belakang terdengar sebuah suara yang memanggil mereka. Suma Banding bersiap. Jika memang orang itu bermaksud buruk, maka dengan sekali tebasan pedangnya ia akan mampu merobohkan setidaknya tiga orang.

“Berhentilah kusir!” perintah Suma Banding kepada kusir kereta. Jantungya berdegup kencang menunggu peristiwa apakah yang selanjutnya akan terjadi.

(Bersambung)
Jangan lupa follow akunnya, like and komentar 🙏🙏🙏

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang