Intrik

824 37 2
                                    

Satu hari menjelang ajang adu tanding, keramaian nampak terlihat di seantero Palembang. Di sebuah sudut kota yang dikelilingi aliran sungai Musi itu, di penginapan yang diperuntukkan bagi para tamu, kesibukan terlihat di dapur penginapan Mandau. Di tempat itu para tamu kerajaan Palembang yang akan menghadiri gelar acara adu tanding menginap.

Postur tubuh para pelayan penginapan itu tidak seperti pelayan pada umumnya. Kesemuanya berotot dan berperawakan gagah. Ya, orang yang menjadi pelayan itu adalah prajurit keraton yang ditugaskan untuk menjaga agar makanan yang dikonsumsi tamu tidak diracuni oleh lelaki asing bersorban. Perihal keamanan para tamu telah diserahkan kepada senopati Sentri Payu. Para prajurit dari kesatuan Ulung ditempatkan di lima buah penginapan yang disediakan keraton Palembang untuk para tamu.

Prajurit berpangkat wedana bernama Sahibul ditunjuk sebagai koordinator pelayan yang menyamar. Peristiwa penusukan seorang pelayan yang dicurigai menaruh racun pada makanan prajurit di ruang paseban bernama Manjar Bisma telah membuat Suma Banding tak percaya dengan keamanan kesatuan prajurit elit Wirabraja. Manjar Bisma diketahui merupakan prajurit di kesatuan khusus tersebut. Wedana Sahibul yang datang di saat yang tepat, akhirnya ditunjuk untuk mengamankan para tamu dengan menugaskan lima puluh prajurit di kesatuannya menyamar sebagai pelayan.

Binar Lawang seharian hanya mondar-mandir saja. Pemilik penginapan Mandau itu tak lagi memiliki kuasa atas usahanya setelah para prajurit yang menyamar itu datang. Ia hanya diberi kebebasan untuk melihat-lihat saja di lingkungan penginapan. Selebihnya menjadi tanggung jawab prajurit yang menyamar.

Wedana Sahibul siang itu turun langsung ke penginapan Mandau. Ia menyamar sebagai pemilik penginapan. Karena kehadiran wedana itu, kesusahan Binar Lawang semakin menjadi-jadi. Ia diharuskan menjadi bawahan wedana Sahibul. Ia pun siang itu mendapat tugas aneh.

“Engkau pergilah ke keraton Palembang. Temuilah Senopati Bagas Rilau. Dialah yang bertanggungjawab mengungsikan pelayan di penginapan Mandau,” ujarnya.

“Baik, tuan. Saya akan meminjam kereta kuda untuk mengantar ke sana,” sambutnya.

“Engkau datang jangan menarik perhatian. Sewalah saja kereta kuda di depan sana. Dengan menumpang kendaraan umum, kehadiranmu tak akan menarik perhatian orang banyak.”

Binar Lawang merasa perintah tersebut janggal. Sebelumnya ia mendapat perintah dari penasehat kerajaan Suma Banding untuk tetap berada di penginapan Mandau dan mengawasi pekerjaan yang dilakukan di dapur. Anehnya justru ia tidak diperkenankan oleh pelayan untuk melihat pekerjaan di dapur. Malahan ketika wedana itu datang, ia seperti mengusirnya secara halus.

Dengan terpaksa, ia menjalankan perintah wedana Sahibul. Tetapi tujuannya bukanlah ke istana. Dengan berjalan kaki, pengusaha itu berbelok ke arah pasar Candi Laras dan menemui seseorang yang berdagang ikan di tempat itu. Mereka berdua lalu terlibat obrolan serius.

“Aku justru curiga dengan para pelayan itu, telik sandi. Mereka sepertinya terganggu dengan kehadiranku di penginapan yang menjadi milikku sendiri itu. Secara halus aku merasa diusir oleh wedana Sahibul. Perintahnya bertentangan dengan apa yang pernah disampaikan Penasehat Suma Banding kepadaku. Apa yang harus kulakukan?” tanyanya.

“Engkau tetaplah jangan berangkat ke istana, tuan. Aku curiga ada orang yang hendak mengincarmu,” bisiknya.

“Janganlah engkau bicara berbisik-bisik seperti itu telik sandi. Memang aku datang ke sini untuk mengambil nyawa orang yang bernama Binar Lawang itu. Sudah menjadi nasib burukmu, engkau bertemu dengannya. Aku harus menambah namamu dalam daftar orang yang harus kuhabisi!” Teitba di tempat itu terdengar suara orang berbisik di telinga telik sandi. Dengan tergopoh-gopoh ia melolos kerisnya.

“Siapakah engkau orang yang telah mengirim pesan suara kepadaku barusan!”

Tetiba terdengar suara angin bercuitan menyerang Binar Lawang dan telik sandi. Keduanya terperanjat dan segera menangkis sekenanya. Tetapi dua orang itu bukan tandingan si penyerang gelap. Dengan mudah ia mengecoh mereka. Angin pukulan yang seolah menyerang ternyata hanya tipuan saja. Serangan sesungguhnya datang dari belakang mereka.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now