Mengucapkan janji

1K 40 0
                                    

“Mengapa engkau berkata seperti itu, Putri Wuwu?” Raden Balewot bertanya heran.

“Saya perlu bicara terlebih dahulu berdua dengan Kakang Raden Kuning, Yang Mulia. Ada beberapa hal yang saya perlu dengar langsung darinya.”

“Baiklah, jika itu kehendakmu. Aku perkenankan kalian untuk bicara terlebih dahulu.” Raden Balewot menyetujui kehendak keponakannya yang keras kepala itu.

“Ayo, Kakang. Engkau ikutlah denganku.” Putri Wuwu segera mengajak tunangannya itu keluar dari paseban. Ternyata Putri Wuwu mengajak Raden Kuning ke sebuah taman yang berada di dalam lingkungan keraton Tuban.

“Ada apa gerangan, Diajeng. Apakah kesalahanku sehingga engkau seperti ini?” Raden Kuning bertanya.

“Begini Kakang. Ketika engkau meminta restu Eyang Kyai tadi aku langsung berpikir jika pernikahan kita ini tidak berlandaskan cinta dan sayang. Aku melihat yang engkau perdulikan hanyalah kepentingan keraton Palembang. Menurutku rencana pernikahan kita ini lebih bermotif politik. Aku hanya ingin penegasanmu, apakah benar seperti itu?”

“Sesungguhnya hubungan kita berdua ini memang menjadi rumit. Tidak salah jika engkau berpikiran seperti itu. Tetapi, sesungguhnya engkau selama hampir tiga tahun ini selalu ada di dalam hatiku, Diajeng. Artinya kedatanganku kembali ke tanah Tuban ini menunjukkan jika aku, aku sayang kepadamu, Diajeng.”

“Bagaimana jika aku menolak lamaranmu?”

“Tentunya aku akan patah hati, Diajeng.”

“Lebih baik kita tidak jadi menikah jika dasar pernikahan kita ini karena berlandaskan politik.”

“Sudah aku sampaikan tadi kepadamu bahwa sesungguhnya aku tidak perduli dengan alasan politik pernikahan kita, yang aku tahu dirimu selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.”

“Ah, engkau hanya ingin membuat aku senang saja, Kakang. Aku tetap harus mengambil resiko menentang keputusan orang-orang yang kuhormati jika harus hidup dengan lelaki yang lebih mengutamakan kepentingan politik untuk melamar calon istrinya.”

“Tidak seperti itu, Diajeng. Aku datang terlambat menjemputmu bukan disebabkan karena aku lebih mengutamakan membangun terlebih dahulu keraton Palembang. Selama hampir tiga tahun ini aku kehilangan ingatan, Diajeng. Aku dilukai oleh Mpu Bengawan Sanca ketika beru berlayar dari Tuban Menuju Palembang. Setiba di sungai Musi, naas aku diculik oleh rombongan perompak sehingga terpisah dari rombongan.”

“Aih, mengapa bisa begitu?” Terdengar nada kekhawatiran dalam suara Putri Wuwu.

“Ya begitulah takdirku. Hilang ingatan dan menderita luka dalam yang serius. Bahkan ketika sembuh dari luka pun aku masih kehilangan ingatan.”

Raden Kuning lalu menceritakan secara lengkap kisah hidupnya selama di Palembang. Ia pun mengakui bahwa saat kehilangan ingatan tanpa disadarinya ia telah mengikat hubungan suami istri dengan dua wanita anak pimpinan perompak yang mengobatinya. Putri Wuwu yang sebelumnya marah menjadi lunak hatinya. Bahkan ketika ia mengetahui bahwa laki-laki yang kini duduk di hadapannya itu telah memiliki dua istri lain, ekspresi wajahnya tidak seperti sebelumnya.

“Jadi, jika aku menerima lamaranmu berarti aku menjadi istrimu yang ketiga, Kakang. Apakah engkau sudha memberitahukan perihal ini kepada kedua istrimu di Palembang?” Putri Wuwu akhirnya bicara dengan nada jenaka.

“Aku sudah bicara dengan mereka, Diajeng. Dan mereka sepenuhnya mendukung perjalananku menjemput takdir di tanah Tuban ini,” jelas Raden Kuning.

“Baiklah, Kakang. Mengingat apa yang hendak aku ketahui sudah engkau sampaikan langsung, maka tidak ada lagi keragu-raguan di hatiku untuk melanjutkan rencana pernikahan kita. Baiknya kita berdua menghadap kepada Yang Mulia paman Haryo Balewot jika kita berdua telah setuju untuk meneruskan pernikahan.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant