Bertemu Kanjeng Sunan

979 43 2
                                    

Rembalun melihat ada keanehan dari luka di tangan kanan Raden Kuning. Ia segera meminta salah seorang murid yang berada di padepokan untuk membawa tempayan berisi air. Dengan cekatan ia merendam tangan yang terluka akibat tergores cakar Elang raksasa di tempayan.

“Semoga pemikiranku tak salah kali ini. Luka goresan ini membawa pelengkap dari telur besi.” Rembalun bergumam sendiri.

Raden Kuning tak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Keanehan demi keanehan yang melanda dirinya ketika melaksanakan tirakat mati dalam dimensi bayangan telah menggerus akal sehatnya. Dalam hatinya sekarang hanya tertanam satu keyakinan bahwa ia mempasrahkan keadaannya kepada takdir.

“Aku merasa saat ini aku tidaklah tengah menjalankan lakon tetapi lakonlah yang menjalankan diriku. Ayolah Kakang Rembalun, jangan engkau ragu untuk bertindak karena di antara lakon ini lakon tentang bayangan dirimulah yang menjadi cerita utamanya.”

Meskipun jelas-jelas Raden Kuning menujukan ucapannya untuk kakak seperguruannya, tetapi orang yang dimaksud seperti tidak mendengar kata-kata itu. Rembalun tengah mengheningkan diri mengeluarkan semua kemampuannya untuk mengobati luka di tangan kanan Raden Kuning yang kini membengkak.

Rembalun mengeluarkan telur besi dan merendamnya bersama tangan Raden Kuning yang terluka. Tetiba keanehan lain terjadi. Dari luka yang menggores panjang itu muncul sebilah kayu berwarna hitam. Sekilas kayu itu seperti benda usang yang terbakar api. Panjangnya sekira empat jengkal.

“Bagaimana mungkin dari luka kecil di tanganku ini muncul kayu hitam sepanjang dan sebesar itu. Akal sehat memang sepertinya tak diperlukan dalam lakon ini,” Raden Kuning kali ini yang bergumam sendiri.

Setelah mengeluarkan kayu hitam, luka yang tadinya membuat tangan Raden Kuning bengkak, langsung normal seperti sedia kala. Bekas goresan yang memanjang pun seolah hilang ditelan bumi.

“Kehadiran kayu hitam ini melengkapi tirakat matimu, Dimas Raden. Lengkap sudah bahanku untuk menempa telur besi ini menjadi senjata. Ayo kita kembali ke petilasan guru!”

Rembalun segera menyentuh tangan Raden Kuning. Di mata murid-murid di padepokan yang menyaksikan peristiwa itu dari jauh, dua orang murid Ki Ageng Selamana itu seperti menghilang. Ya, Rembalun memang tak sungkan-sungkan lagi menunjukkan kepandaiannya. Jika sebelumnya ia hanya dikenal hanya sebagai ahli ukir kayu, tetapi kali ini mata murid-murid di perguruan wanakerta menjadi terbuka. Rembalun bukanlah orang sembarangan. Menjalani kehidupan sebagai juru ukir di perguruan wanakerta hanyalah lelakon yang tengah dijalaninya. Apa yang sesungguhnya tersirat tidak seperti yang tersurat.

Sekedipan mata, dua orang berkepandaian tinggi itu telah kembali ke rumah petilasan Ki Ageng Selamana. Rembalun segera menyerahkan kembali telur besi, cetakan lilin kepala burung dan kayu hitam yang baru didapatnya tubuh Raden Kuning. Ki Ageng Selamana segera memegang benda-benda itu kedua tangannya. Matanya terpejam. Sependidih air, ia membuka kembali matanya.

“Kalian mendekatlah kemari. Aku akan membuka mata batin kalian berdua agar dapat berinteraksi langsung dengan Kanjeng Sunan.” Ki Ageng Selamana mengusap wajah kedua muridnya.

“Aih, maafkan aku, Kanjeng Sunan. Muridmu yang bodoh ini tak menyadari kehadiranmu!” Tubuh Rembalun gemetar dan ia segera menghaturkan hormat dengan sikap sujud takzim.

“Tak kusangka nasib takdirku akan mempertemukan kita kembali di sini, Eyang Sunan. Terimalah sembah sujud cucu muridmu ini!” Kali ini giliran Raden Kuning yang bersujud di hadapan laki-laki sepuh yang mengenakan gamis dan bersorban itu. Tubuh Raden Kuning juga kelihatan bergetar hebat. Entah kapan datangnya, tetiba di dalam rumah Ki Ageng Selamana telah hadir orang yang disebut-sebut sebagai Kanjeng Sunan itu.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now