Muara Sungsang

802 38 3
                                    

Seluruh pimpinan prajurit yang hadir segera menoleh ke arah suara. Seketika terdengar kegaduhan di tempat itu. Orang yang baru saja bersuara lantang adalah seorang prajurit muda berbadan tegap. Ia tidak sendiri. Segerombolan prajurit nampak melepas tanda kepangkatan mereka.

"Kami minta penjelasan yang masuk akal mengapa Senopati Sentri Payu dibebastugaskan?" tanyanya lantang.

"Kurang ajar kau prajurit. Engkau berani menentang perintah raja. Hah!" Melihat tingkah prajurit pongah itu Suma Banding naik pitam. Seketika suasana kembali tegang.

"Biarkan aku menjelaskan kepada prajuritku itu, Paman!" Raden Sabtu dengan suara halus melerai pertikaian yang terjadi karena salah paham tersebut.

"Hei engkau prajurit kemarilah!" suara Raden Sabtu terdengar mentereng. Seketika prajurit muda dan gagah itu berlari-lari kecil menuju ke hadapannya.

"Ampun beribu ampun, Senopati Sabtu. Bukan maksud hati saya untuk memanas-manasi suasana. Tetapi tolonglah berikan penjelasan kepada kami alasan Senopati Sentri Payu diberhentikan?" Suara prajurit muda itu terdengar kalem.

"Untuk kalian ketahui bersama. Senopati Sentri Payu tengah dalam keadaan yang kurat sehat. Akibat luka-lukanya saat terkena serpihan bom, belum sembuh benar. Oleh karena itu, Yang Mulia Raja Keraton Palembang memberikan waktu kepadanya untuk beristirahat. Sementara ia menyembuhkan diri, Raden Sabtu ditunjuk untuk memimpin kalian!" Suma Banding terlihat telah berhasil menguasai emosinya. Ia kemudian mengangkat kedua tangannya pertanda titah raja.

"Penjelasan tentang kesehatan Senopati Sentri Payu berbeda dengan berita yang kami dengar," prajurit tersebut memberi tanggapan.

"Kabar berita seperti apa yang kalian dengar, prajurit?" Raden Sabtu bertanya.

"Kami mendapat berita bahwa sebentar lagi Senopati Sentri Payu akan mendapat fitnah. Ia akan dituduh berkhianat. Dan ia akan ditahan karena tuduhan palsu tersebut, Senopati Sabtu."

"Aih, bagaimana mungkin bisa kabar berita yang baru saja terjadi ternyata sudah diterima simpang siur di kalangan prajurit." Raden Sabtu mengernyitkan dahinya. Ia seperti berpikir keras. Dugaannya pasti ada yang tidak beres dengan pembebastugasan Senopati Sentri Payu.

"Keselamatan keraton adalah hal yang utama Senopati Sabtu. Janganlah engkau dipusingkan dengan peristiwa ini!" Suma Banding memperingatkan Raden Sabtu.

"Iya, Paman. Tetapi aku merasakan ada yang janggal dari peritiwa ini. Hei prajurit. Engkau kembalilah ke tempatmu. Setelah ini aku ingin bertemu dengan pasukan Ulung di alun-alun. Kalian yang baru saja melepas tanda kepangkatan. Kenakan kembali pangkat itu jika kalian tidak ingin ditangkap karena memberontak. Untuk kalian camkan, beritakanlah dengan baik kabar yang baru saja kalian dengar ini." Raden Sabtu mengibaskan tangan kanannya. Seketika prajurit muda itu undur diri.

"Baiklah. Kalian semua para pimpinan prajurit. Segeralah kembali ke pos kaliang masing-masing. Tunggulah perintah selanjutnya!" Suma Banding mengambil alih kendali perintah.

Malam itu purnama bersinar sedikit. Angin malam berhembus lebih kencang dari biasanya. Suara jangkrik dan serangga malam yang bersahutan menjadi ornamen dari suasana yang genting dan mencekam di lingkungan keraton. Raden Sabtu segera menuju alun-alun untuk bertemu dengan prajurit yang akan dipimpinnya. Sementara Suma Banding dan Senopati Bagas Rilau kembali meninjau para prajurit dan pendekar pilih tanding yang masih menjalani pengobatan di barak.

****

"Menyerahlah orang tua pikun. Jika engkau mengaku kalah, maka rakyatmu tidak akan ada yang disakiti!" Lelaki bersorban itu membujuk kakek tua berbaju putih.

"Tidak ada kata menyerah dalam hidupku, orang asing. Ayolah kita lanjutkan pertarungan kita. Keluarkanlah seluruh kepandaianmu, aku belum kalah!" Kakek berbaju putih itu memutar tongkatnya. Seketika dua orang itu melanjutkan pertarungan.

Lelaki bersorban itu ternyata juga tak tergolong muda lagi. Usianya sekitar lima puluhan. Gerakannya gesit, langkah kakinya lebar. Ia menggunakan tangan kosong. Kebutan bajunya yang gombrong menjadi senjata ampuh untuk mengancam lawan.

"Janganlah engkau memaksakan kehendakmu, tabib Yueren. Lebih baik engkau simpan tenagamu untuk mengobati rakyatmu yang terluka. Jangan salahkan Mpu Taliwa jika janggutmu yang putih masai itu rontok terkena pukulanku." Suasana hiruk pikuk terdengar ketika orang yang mengaku bernama Mpu Taliwa itu mengempos tenaganya.

Pertarungan di pinggir sungai kecil itu terhenti. Para penyerang yang menggunakan tiga kapal besar tak sebanding dengan anggota kelompok Li yang mendiami kampung itu. Beberapa diantara mereka kini telah ditawan. Sedangkan yang terluka dibiarkan saja terbaring di pinggiran sungai. Anak-anak dan perempuan telah melarikan diri ke dalam hutan belantara. Ketika perkampungan perompak itu didatangi kapal besar, Tabib Yu memerintahkan Huang lo dan istrinya Jhiwyen untuk membawa anak-anak dan perempuan melarikan diri.

Dahi tabib Yu mengernyit. Jika saja dirinya tidak sedang bertemu lawan tangguh, tentu saja ia akan memberi pengobatan kepada pengikutnya yang terluka. Namun melawan lelaki bersorban itu tabib Yu yang memiliki kepandaian tinggi, keteter.

"Biarkan aku yang tua ini mengadu nyawa denganmu, orang asing." Tabib Yu menarik tongkat dan menancapkannya di tanah. Sesaat ia berkonsentrasi menghimpun tenaga untuk menerima pukulan tangan kosong Mpu Taliwa.

"Des, argh!" terdengar suara keras akibat beradunya kedua pukulan. Tak pernah terbayang di benak Mpu Taliwa jika lawannya yang telah renta mampu menandingi tenaga dalamnya. Wajah Mpu Taliwa berubah pucat. Tenaga tabib Yu berubah-ubah. Kadang panas, kadang dingin. Sungguh tinggi kepandaian orang tua berpakaian putih-putih itu.

Keringat sebesar biji jagung terlihat di wajah lelaki bersorban. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Sementara wajah tabib Yu terlihat data. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia kewalahan. Sungguh kakek tua itu telah menunjukkan kehebatannya. Ya, tabib Yu adalah mantan orang kepercayaan Chen Zu Yi yang pernah menguasai dermaga Pelabuhan Musi. Di usianya yang renta itu, ia masih gagah berkeliling perkampungan di Muara Sungsang untuk memberi pengobatan.

"Biar aku bantu engkau, adikku. Tetiba dari arah belakang Mpu Taliwa melesat sesosok bayangan. Orang itu juga mengenak sorban. Ia langsung menempelkan kedua tangannya ke tubuh Mpu Taliwa. Seketika suasana berbalik. Mpu Taliwa yang sebelumnya berada di ujung tanduk seolah mendapat limpahan tenaga dari langit. Kini ia mampu menandingi tenaga dalam tabib Yu. Di wajahnya seketika menyeringai senyuman.

"Masih engkau tak mau menyerah, tabib Yu. Aku khawatir nyawamu nanti copot dari jasadmu yang renta itu. Terimakasih kakang Mpu Bayan. Terlambat sedikit saja engkau datang, mungkin aku sudah terkapar terluka dalam di pinggir sungai ini!" seru Mpu Taliwa.

Ya, orang yang baru saja datang membantu itu adalah Mpu Bayan. Melihat adik seperguruannya berada di ujung tanduk, lelaki yang baru saja membuat keributan di ajang adu tanding keraton Palembang itu langsung turun membantu.

"Ya, adi Taliwa. Memang sebelumnya tersiar kabar jika di perkampungan Li ini terdapat seorang tabib yang berkepandaian tinggi. Ternyata berita itu bukan berita bohong. Engkau telah merasakan kehebatannya." Mpu Bayan menjawab salam dari adik seperguruannya.

"Aih, kalian ini orang bermartabat ternyata beraninya main keroyokan. Lepas!" Tetiba di tempat itu muncul remaja tanggung yang melepas pukulan tangan kosong. Angin yang keluar dari tenaga pukulannya berciutan menyasar lelaki bersorban yang tengah mengeroyok tabib Yu. Mpu Bayan menyambut pukulan tangan kosong itu dengan tangan kirinya.

"Aduuuh!"

(Bersambung)

Siapakah orang yang baru datang menolong tabib Yu. Bacakan kisah selanjutnya ya..... mohon maaf agak terlambat update. 

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now