Hilang waras

1.2K 46 0
                                    

Melihat si kepala plontos Cuncun menyembahnya, Raden Kuning terlihat gelagapan. Ia sendiri sepertinya tidak paham apa yang sedang terjadi. Litantong dan Asen masih menempel di tubuhnya. Tenaga dalam mereka tersedot ke dalam tubuhnya. Di saat genting tersebut berkelebat sebuah bayangan dan langsung menotok belakang leher Raden Kuning. Seketika tenaga liar dari tubuhnya buyar. Dua orang yang sebelumnya menempel di tubuh Raden Kuning terpental. Meskipun wajah kedua perompak itu pias, namun nyawa mereka tertolong.

“Aih aih, siapakah gerangan engkau anak muda. Mengapa dalam usiamu yang sangat muda ini, tenaga dalammu jahat sekali?” Orang yang baru datang itu langsung bergumam sendiri. Tubuh orang itu telah bungkuk, rambutnya pun telah memutih semua. Jenggotnya teruntai panjang menutupi dagu. Kedatangan orang itu, tiga perompak Hokkian langsung menjura hormat.

“Ah kiranya tabib Yu yang menyelamatkan nyawa kami. Terimalah hormat dari anak muridmu ini!” Litantong segera menghampiri orang yang disebutnya sebagai tabib Yu. Tiga orang perompak itu mencium tangan orang yang sudah sepuh tersebut. Ya, orang tua berambut putih itu adalah tabib Yueren. Ia masih terhitung kerabat Chen Zu Yi, kepala perompak Hokkian di perairan Palembang yang dihukum gantung oleh Kaisar Yongle. Kepandaiannya dalam ilmu pengobatan sudah sangat langka dan ia telah lama menyepikan diri di perkampungan Hokkian yang diketuai oleh Litantong.

“Hei orang tua, bagus juga tongkatmu itu. Ayo sekali lagi kau pukulah aku dengan tongkat itu. Rasanya pening di kepalaku ini bisa hilang jika terkena pukulan tongkatmu.” Raden Kuning yang tadi sempat duduk terdiam, tetiba kembali lagi gilanya.

“Hei anak muda. Aku bisa menolong dirimu, tetapi syaratnya engkau harus menurut apa yang aku perintahkan.” Tabib Yu kemudian meminta Raden Kuning untuk mengikutinya masuk ke areal pemukiman perompak.

“Ayo monyet kuning, kita ikuti tabib Yu. Di tempatnya banyak pisang yang bisa kita makan. Kita harus berbuat baik dengan orang tua itu supaya dia mau memberi jatah pisang.” Cuncun kembali merayu Raden Kuning agar mau mengikuti tabib Yu. Hanya sependidih air, mereka telah sampai ke perkampungan perompak.

Rumah-rumah itu kesemuanya terbuat dari kayu. Ada puluhan rumah yang berjejer membelakangi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh anak-anak kecil. Melihat banyak anak-anak yang mendekat, Raden Kuning kumat gilanya. Ia kemudian jejingkrakan menari menirukan gaya monyet sehingga menarik perhatian anak-anak. Wajahnya yang tampan dan senyumnya yang ramah membuat anak-anak di perkampungan perompak tidak takut dengan ulahnya. Mereka malah di sepanjang jalan mengikuti Raden Kuning meniru gaya monyet.

“Huhuhu hehehe hihihihi.... Ayo semua kita minta pisang dengan orang tua itu.” Raden Kuning terbahak. Air liurnya bahkan ikut menyembur berbarengan dengan tawanya.

Rumah tempat tabib Yu adalah rumah kayu paling besar di kampung itu. Rumah Litantong berada di sebelah rumahnya juga memiliki ukuran besar. Rombongan itu langsung menuju rumah tabib Yu karena ingin melihat apa yang akan dilakukannya terhadap Raden Kuning. Litantong segera memerintahkan anak buahnya untuk mengambil pisang dari rumah warga untuk dihidangkan di rumah tabib Yu. Ia khawatir jika Raden Kuning tidak melihat pisang, maka prajurit kurang waras itu kembali mengamuk.

Tabib Yu mengajak tamu-tamunya untuk naik ke rumah kayunya. Mereka langsung masuk. Di dalam terdapat tikar dari anyaman bambu yang dibentangkan untuk tempat duduk para tamu yang datang. Sesuai dengan kebiasaan di sana, setiap tamu yang datang diterima di dalam rumah dan dipersilakan duduk di atas tikar. Raden Kuning ikut duduk bersila ketika dilihatnya Cuncun dan Asen telah lebih dulu duduk. Tabib Yu sempat memperhatikan bahwa orang muda aneh itu selalu mengikuti apa yang diperbuat Cuncun dan Asen. Ia lalu meminta keduanya untuk menyuruh Raden Kuning agar mau duduk membelakanginya.

“Ayo cepat monyet kuning. Engkau duduklah dengan membelakangi tabib Yu. Ia akan memeriksa tubuhmu apakah bisa diberi makan pisang atau tidak.” Asen terkekeh pelan. Benar saja, Raden Kuning sontak mengikuti perintah itu.

Dengan perlahan, Tabib Yu menotok dua titik di pundak dan di kepala bagian belakang. Tabib Yu tak mau gegabah. Ia menggunakan kayu semacam sumpit untuk membantunya menotok syaraf Raden Kuning. Totokan di belakang pundak berhasil. Tetapi ketika memberi totokan di belakang kepala, Tabib Yu kaget. Ada gulungan tenaga besar sekali menolak totokannya. Akibatnya, sumpit itu tertolak dan tidak berhasil melumpuhkan syaraf di bagian kepala belakang.

“Sudah kuduga. Anak muda ini pastilah kehilangan warasnya karena mengalami luka di belakang kepalanya. Anehnya, ada tenaga asing yang melindungi bagian kepalanya ini. Aseng, coba kau perintahkan ia agar tidak melawan.” Tabib Yu bicara sambil mengambil kotak pengobatan yang berisi jarum tak jauh dari tempat mereka bersila. Ada tiga buah jarum yang dikeluarkan dari dalam kotaknya. Jarum itu berukuran kecil dan menjadi salah satu pendukung ilmu pengobatan tabib Yu. Dengan sekali totok, jarum kecil itu menusuk ke bagian kepala Raden Kuning. Akibat tusukan jarum, Raden Kuning kelojotan. Raden Kuning pingsan seketika.

Dengan cekatan, tabib Yu memeriksa bagian belakang kepala prajurit Djipang itu. Dirasakannya melalui jarum yang menusuk bagian belakang tubuh pasien itu mengalir tenaga liar. Tenaga itu seolah melindungi luka di bagian kepalanya sehingga tabib Yu kesulitan untuk mengobatinya. Ya, menurut perkiraan tabib Yu, pemuda itu telah mengalami pendarahan di bagian otak. Jika darahnya tidak bisa dihancurkan, maka seumur hidup ia akan seperti sekarang ini, gila.

“Ah, kasihan sekali anak muda ini. Aku yakin jika anak ini sebelumnya adalah orang berkepandaian tinggi. Tetapi di dalam tubuhnya sekarang ada tenaga parasit yang membuatnya gila. Untuk menghancurkan darah yang menggumpal di otaknya, anak muda ini harus minum ramuanku setiap pagi, siang, sore dan malam. Asen dan Cuncun, kalian berdua mendapat tugas untuk merayunya agar mau minum obat setiap hari.” Tabib Yu memberikan perintah kepada dua orang perompak yang memiliki tingkat kepandaian paling rendah itu.

“Kami berdua siap melaksanakan tugas, tabib Yu!” keduanya menjawab kompak.

Tabib Yu kemudian melepas tiga jarum yang menotok di pundak dan bagian belakang kepala Raden Kuning. Di saat bersamaan buah pisang berwarna kuning segar dibawa oleh anak buah Litantong. Raden Kuning yang baru tersadar segera mengambil pisang tersebut dan membagikannya kepada dua temannya, lelaki mata sipit bertubuh ceking dan berkepala plontos.

“Hehehehe, ayo kita makan pisang ini monyet ceking. Jika sudah kenyang baru kita bagikan kepada monyet-monyet lain di tempat ini. Eh, kita sekarang ini ada dimanakah?” Raden Kuning berkata-kata dengan mulut dipenuhi buah pisang. Suaranya terdengar berat, tetapi masih bisa dimengerti oleh mereka yang hadir di situ.

“Setelah kita makan pisang, kita juga harus minum ramuan ini. Agar engkau tetap menjadi raja monyet kuning di tempat ini.” Aseng melirik temannya sebelum akhirnya terkekeh. Kedua perompak itu seperti menikmati sekali tugas barunya sebagai pengasuh Raden Kuning.

Tanpa banyak tanya, Raden Kuning langsung merebut mangkuk porselen berukiran tulisan kanji itu. Tak berpikir panjang, ia langsung meminumnya. Keanehan terjadi ketika ia telah meneguk habis ramuan tabib Yu. Tubuhnya langsung berkelojotan dan dari bagian kepalanya mengeluarkan uap panas. Litantong yang ikut menyaksikan keanehan itu hanya diam mematung sebelum akhirnya tabib Yu sendiri yang memberi penjelasan.

“Ramuan obatku ini terlebih dahulu akan membuat tenaga liar yang menjadi parasit di tubuh Raden Kuning sedikit demi sedikit hilang. Setelah itu baru aku akan mengobati pendarahan di otaknya. Cepat atau lambatnya pengobatan ini bergantung kepada anak muda ini sendiri. Jika tubuhnya dapat dengan baik merespon ramuanku, maka ia bisa diobati dalam waktu singkat!”

(Bersambung)
Vote vote

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now