Mencari Pengkhianat

747 37 4
                                    

Di tengah ketidakmengertian Senopati Bagas Rilau atas apa yang terjadi, Wedana Sahibul dan pengikutnya melarikan diri. Mereka mundur teratur dari kepungan prajurit Wirabraja. Di saat itu, Senopati Bagas Rilau mendekati Raden Sabtu.

“Apa sebenarnya yang terjadi, Raden. Mengapa engkau mengajak pasukan pulang ke istana. Aku tak paham jalan pikiranmu?” tanya Senopati Bagas Rilau.

“Aku masih menduga-duga, Paman. Namun berdasarkan petunjuk tersembunyi dari Wedana Sahibul aku makin curiga jika mereka tengah menerapkan siasat licik.  Aku khawatir musuh justru saat ini telah masuk ke lingkungan istana.” Raden Sabtu segera bergegas menuju kudanya.

“Adakah informasi yang engkau sembunyikan, Raden. Apakah hal itu menyangkut diriku?” Senopati Bagas Rilau menjejeri langkah Raden Sabtu.

“Terus terang, Paman Senopati Bagas Rilau. Kami sebelumnya mencurigai pasukan Wirabraja. Tindakan prajurit Manjar Bisma yang membunuh pelayan saat prajurit diracuni membuat Paman Suma Banding membatasi ruang gerak pasukanmu ini.” Raden Sabtu menghela nafas panjang.

“Aih, mengapa tidak dilakukan tabayun langsung kepadaku, Raden. Lalu apa yang ada di dalam pikiranmu sekarang ini?”

“Soal adanya pengkhianat di dalam tubuh pasukan Palembang sudah terbukti kan Paman. Jika gugus prajurit Wirabraja bersih, maka artinya sebaliknya. Ketika Paman Suma Banding menugaskan Senopati Sentri Payu untuk menugaskan orang kepercayaannya untuk mengamankan penginapan Mandau justru seluruh jago tanding kita kena diracuni. Ini bisa berarti bahwa Senopati Sentri Payu berkhianat atau ia juga dikhianati anak buahnya.”

“Tak mungkin Senopati Sentri Payu berkhianat Raden. Aku kenal baik dengannya.”

“Ya, aku pun berharap dia tidak menjadi bagian dari pengkhianatan ini. Apalagi aku mendengar langsung dari Paman Suma Banding bahwa Senopati Sentri Payu ikut terluka parah saat menggerebek gudang yang dicurigai menjadi sarang para pengkhianat. Yang aku khawatirkan ada banyak prajurit gugus Ulung yang telah disusupi pengkhianat. Setelah gagal menangkap musuh, prajurit kesatuan Ulung pasti telah kembali ke lingkungan istana. Bagaimana jika para penyusup itu menyerang kediaman raja. Sementara Paman Suma Banding saat ini terluka dan kita malah terpancing keluar dari istana. Bukankah keterangan dari Wedana Sahibul tadi menyiratkan hal itu, Paman?”

“Aih, aku memang tidak berwawasan luas sepertimu, Raden. Tadi aku sempat kesal dengan keputusan Raden melepaskan para prajurit pengkhinat. Ternyata Raden justru mengkhawatirkan keselamatan raja. Bodoh sekali aku ini bisa dengan mudah diperdaya musuh. Ayo Raden kita bergegas menuju istana.”

“Ayo, Paman. Aku duluan!” Raden Sabtu langsung melompat ke atas pelana kuda. Kakinya membedal perut kuda dan tangannya memacu tali kekang dengan kuat. Seketika kuda pilihan itu melesat menuju Utara.

Menyusul berbagai peristiwa penyusupan menjelang ajang adu tanding, keraton Palembang hanya bisa dilalui melalui pintu Utara. Posisi keraton yang dikelilingi sungai-sungai yang melingkar membuat pertahanan alam. Sebelah Utara berbatasan dengan sungai Musi yang kini dipagar keliling dengan cerucup kayu unglen.

“Cepat sebrangkan aku prajurit!” Kuda yang ditumpangi Raden Sabtu langsung melompat ke atas rakit.

“Siap Raden!” Dengan sigap dua orang prajurit jaga memberi hormat. Mereka segera menyebrangkan rakit menuju sebrang. Keraton Palembang memutus jembatan yang semua pintu masuk dari Sungai Lunjuk, Sungai Buah dan Sungai Taligawe. Hal itu agar lalu lintas keluar masuk orang dapat dikontrol oleh para prajurit jaga.

Lelaki muda dan gagah itu menuntun tali kekang kuda ke tepi tiba di daratan. Ia langsung disambut oleh belasan prajurit jaga yang bersiaga. Sepertinya keadaan di lingkungan istana tidak seperti yang dikhawatirkan oleh Raden Sabtu. Matahari di ufuk Barat hanya menyisakan sedikit saja pancaran cahaya. Sebentar lagi gelap tiba.

“Apakah Senopati Sentri Payu dan pasukannya telah kembali?” tanya Raden Sabtu.

“Senopati Sentri Payu dalam keadaan terluka Raden. Ia sedari tadi telah dibawa ke tabib istana. Prajurit kesatuan Ulung juga baru saja kembali,” jawab salah seorang prajurit jaga. Jika melihat usianya, pastilah prajurit itu adalah penanggung jawab di pos jaga pintu masuk istana.

“Baik, aku segera menengok keadaannya.” Raden Sabtu kembali naik ke pelana kuda. Hanya dengan sekali hentakan, kuda pilihan itu kembali berlari cepat masuk ke lingkungan keraton Palembang.

Regol menuju barak prajurit tempat para tabib istana mengobati para keracunan ramai orang lalu lalang. Ratusan prajurit dari gugus tugas kesatuan Ulung ternyata baru kembali. Raden Sabtu berusaha meredakan detak jantungnya. Ia langsung menuju tempat di mana dirinya terakhir kali bicara dengan penasehat Suma Banding.

“Kesini, Raden. Engkau harus melihat sendiri kehebatan air rendaman tubuh Raden Gatra yang berkhasiat menawarkan racun.” Orang yang memangil itu ternyata Senopati Sentri Payu. Ia sudah segar bugar seperti tidak pernah terluka sebelumnya. Padahal saat dibawa ke barak prajurit sepenanak nasi tadi, tubuhnya terluka ledakan bom paku.

“Aih, engkau tidak mengalami luka parah seperti berira yang aku dengar, paman senopati. Syukurlah ternyata engkau sudah sehat seperti sedia kala,” jawab Raden Sabtu.

“Aku tadinya terluka karena bom paku dan racun, Raden. Tetapi setelah meminum air rendaman tubuh Raden Gatra, semua lukaku sembuh. Ajaib sekali memang kesaktian Raden Gatra itu.”

“Wah ternyata Raden Gatra lah yang telah berkhasiat menyembuhkan. Palembang beruntung karena memiliki bocah sakti luar biasa itu. Tadinya aku sangat mengkhawatirkan keselamatan paman Sentri Payu. Alhamdulillah engkau telah disembuhkan. Lalu, dimana gerangan bibi Putri Cala?”

“Saat terluka, aku dalam keadaan tidak sadarkan diri, Raden. Sehingga aku kurang begitu paham kemana gerangan tuan Putri Cala pergi. Tetapi menurut pasukanku, ia pamit hendak menyelidiki keberadaan para perusuh.”

“Hei, kalian berdua. Kesinilah segera. Kita harus menghadap raja. Dari dalam barak prajurit muncul penasehat kerajaan, Suma Banding. Ia juga sepertinya sudah pulih. Tubuhnya tang tadinya terluka juga tidak menampakkan lagi warna pias di wajahnya.

“Aih, paman Suma Banding. Engkau juga sudah pulih seperti sedia kala. Syukurlah para ahli strategi dari Palembang ini telah sehat semua. Apa yang baru engkau sampaikan tadi, paman?” Raden Sabtu memeriksa sekujur tubuh Suma Banding. Ia kembali berdecak kagum. Bagaimana mungkin tubuh anak kecil yang diasuh kakek nenek kurang genap itu bisa mengandung obat penawar segala racun.

“Ayolah, kalian berdua cepat ikuti aku. Kita harus segera melapor kepada raja!” Suma Banding terdengar tegas. Raden Sabtu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dengan kedipan matanya ia berupaya memberi isyarat kepada penasehat kerajaan itu untuk meminta waktu. Tetapi entah karena tidak menangkap isyarat mata dari Raden Sabtu ataukah karena keadaan sudah sedemikian gentingnya, Suma Banding mengacuhkan isyarat itu.

Raden Sabtu yang mencium adanya aroma pengkhianatan terpaksa mengikuti kemauan Suma Banding. Tak ada waktu lagi untuk meninggalkan pesan untuk Suma Banding yang langsung ditempel oleh Senopati Sentri Payu. Raden Sabtu yang terkenal memiliki banyak ide, akhirnya mengikuti keduanya dari belakang.

“Ayo cepat, Raden. Jangan sampai raja terlambat mengetahui keadaan sekarang!” Suma Banding justru menegur Raden Sabtu yang berjalan perlahan. Sekelompok prajurit di bawah kendali Senopati Sentri Payu nampak berkeliaran di sepanjang regol yang menghubungkan barak prajurit dengan bangunan lain. Mereka segera mengambil sikap siap ketika para pemimpin pasukan itu melintas.

“Maafkan saya penasehat keraton. Mengingat gentingnya suasana menurutku kita harus membawa serta pengawalan.” Tanpa  menunggu persetujuan, Senopati Sentri Payu segera memberikan isyarat kepada prajurit yang masih dalam posisi siaga. Segera sepuluh orang prajurit kesatuan Ulung mengawal mereka dari belakang. Ketika itu wajah Raden Sabtu terlihat tambah panik. Dengan berlari kecil, ia berupaya mengejar langkah dua orang pemimpin prajurit keraton Palembang yang berada di depan.

“Aduh!” Tetiba Raden Sabtu jatuh menyungkur di tanah.

(Bersambung)

Kenapa lagi dengan Raden Sabtu. Biat yang penasaran tunggu lanjutan kisahnyaa ya.

Jangan lupa follow akun penulis ya....

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now