Pisowanan Agung

1K 40 0
                                    

Matahari belum tinggi ketika sepasang pengantin baru itu menghadap Adipati Tuban. Kedatangan mereka adalah untuk melaporkan perihal keris Kyai Layon. Dengan hati-hati Raden Kuning menyampaikan pertemuannya dengan si Tua Buta Agam. Ia juga menyampaikan bahwa saat ini Kyai Layon menghilang.

“Hanya ada dua pilihan yang disarankan oleh beliau, pertama saya diminta memusnahkan Kyai Layon dan yang kedua menyerahkan kepada keraton Tuban, Yang Mulia. Awalnya saya memilih mendapat murkan Yang Mulia dengan memusnahkan keris bertuah itu, tetapi tetiba ia hilang dari balik pinggang saya.” Raden Kuning menuturkan dengan terperinci. Ia khawatir Raden Balewot murka dengan cerita itu.

“Astaghfirullahal adzim. Sedari awal aku sudah khawatir dengan aura Kyai Layon. Terlebih keris pusaka itu diantar oleh kerabat kakek buyutku dari Gresik. Jika memang takdir keris itu akan membawa huru-hara di Tuban, pilihanmu untuk memusnahkannya sudah tepat.” Raden Balewot menghela nafasnya.

“Selama ini Kyai Layon memang telah banyak menolong saya. Dengan memegang keris itu, saya bisa mengimbangi kesaktian Mpu Bengawan Sanca yang memiliki ilmu racun. Kyai Layon sudah menyatu dengan diri saya, tetapi ternyata takdir buruknya di Tuban tetap tidak terhapuskan,” ujar Raden Kuning.

“Sepertinya aku juga harus menyelenggarakan pisowanan agung hari ini juga. Mengingat seluruh kerabat kita tengah berkumpul karena menghadiri pernikahan kalian, maka hari ini adalah saat yang tepat untuk urun rembuk terkait Tuban ke depan. Kalian pulanglah dulu, sore ini kalian berdua datanglah ke paseban untuk hadir dalam pisowanan agung.” Raden Balewot meninggalkan regol keraton dalem tempat mereka bertemu.

Raden Kuning dan Putri Wuwu kemudian meninggalkan keraton dalem dan kembali ke tempatnya. Mereka berdua mendapatkan hadiah sebuah rumah di sebelah Selatan keraton . Rumah itu tidak seberapa besar, tetapi sangat apik dan memiliki halaman luas. Di samping kiri rumah terdapat istal tempat tamu menambatkan kuda dan di halaman belakangnya terdapat lapangan luas dan yang kini telah ditempati oleh prajurit pengawal Raden Kuning.

Baru saja tiba di rumah, Putri Wuwu berubah pikiran. Ia mengajak suaminya untuk berkeliling Tuban. Raden Kuning mengajak serta lima orang prajurit untuk mengawal mereka. Dalam perjalanan di pagi itu, keponakan Adipati Tuban tersebut menjadi penunjuk jalan sekaligus pemandu. Semua sudut kotaraja Tuban mereka kunjungi sebelum akhirnya sampailah mereka ke alun-alun kota. Di tempat itu, Raden Kuning memiliki sejumlah kenangan dengan sahabatnya Soka Lulung.

“Ayo kita mampir ke rumah sahabatku, Soka Lulung. Aku kira menjelang sholat jumat ini, ia pasti kembali ke rumah.” Tanpa meminta persetujuan istrinya, Raden Kuning membelokkan kudanya menuju rumah Soka Lulung.

Rumah kayu bertingkat dua itu ternyata banyak sekali mengalami perubahan.  Rumah kayu itu sudah dipugar sehingga kelihatan lebih luas dan lebih apik. Terakhir kali menjadi tamu di rumah itu, Raden Kuning datang malam hari sehingga tidak sempat memperhatikan perubahan itu. Jika sebelumnya Soka Lulung masih berpangkat bekel, tetapi saat ini pangkatnya telah dinaikkan menjadi senopati. Jasa-jasanya atas keselamatan keraton Tuban membuat ia dianugerahi kenaikan pangkat langsung oleh Raden Haryo Balewot.

“Assalamualaikum,” Raden Kuning mengucapkan salam. Kudanya ditambatkan oleh prajurit pengawal di istal yang terdapat di halaman depan rumah yang banyak ditumbuhi pohon mangga itu.

“Wa alaikum salam. Aih, ternyata ada tamu istimewa yang datang hari ini. Masuklah Raden, suamiku Soka Lulung baru saja tiba di rumah. Sebentar saya panggilkan beliau.” Yang membuka pintu ternyata Nyai Perwatih, istri dari Senopati Soka Lulung, Meskipun tak mud a lagi, wanita paruh baya itu masih terlihat cantik.

Raden Kuning beserta istrinya diterima di ruang dalam rumah. Tak lama berselang, Soka Lulung muncul dari peraduan dengan menggunakan sarung. Di kepalanya bertengger kopiah berwarna hitam. Ia sepertinya telah bersiap untuk menuju masjid agung yang berada tak jauh dari alun-alun kota.

“Nah kebetulan sekali. Ayo bergegaslah Raden Kuning, kita menunaikan sholat jumat di masjid agung. Nyai, tolong ambilkan kopiah dan sarung untuk Raden Kuning. Kedua sahabat itu selanjutnya berjalan kaki menuju masjid  agung. Sementara suaminya pergi sholat, Putri Wuwu ditemani Nyai Perwatih di ruang tamu.

Dalam perjalanan pulang dari masjid agung menuju rumah Soka Lulung, Raden Kuning menceritakan perihal kedatangan tua buta Agam. Soka Lulung yang mengenal baik kakek sakti segala tahu itu mendengarkan dengan seksama.

“Aih, jadi pisowanan agung yang akan dilaksanakan sore ini ada hubungannya dengan ceritamu, Raden. Lalu kemanakah raibnya keris Kyai Layon. Jika engkau yang sakti saja tidak dapat merasakan perginya Kyai Layon, bagaiamana aku yang berkepandaian rendah ini dapat memberikan saran.” Soka Lulung menggelengkan kepalanya. Obrolan keduanya kemudian dilanjutkan di sebuah saung yang terdapat di belakang rumah.

“Itulah yang aku tidak habis pikir, mengapa aku tidak mendapat firasat jika Kyai Layon akan pergi. Mungkin karena tak sepakat dengan keputusanku yang akan memusnahkannya.”

“Apakah paduka Agam tidak menyampaikan petunjuk terkait hal itu?” tanya Soka Lulung.

“Tidak sama sekali, ia hanya memberiku dua pilihan sebagaimana yang telah aku ceritakan tadi.”

Obrolan mereka tentang keris Kyai Layon terhenti ketika Raden Kuning menyampaikan bahwa takdir Kyai Layon berada di pusaran konflik singgasana Tuban. Keduanya terlihat sungkan untuk membahas penerawangan tua buta Agam karena membahas singgasana Tuban adalah hal tabu bagi seorang prajurit. Obrolan dua sahabat lama itu kemudian berlangsung santai. Raden Kuning menceritakan beberapa peristiwa yang dialaminya ketika berada di Palembang. Termasuk saat ia terluka parah karena bertanding dengan Mpu Bengawan Sanca yang ketika itu masih bernama Aaradhya Cupat.

“Ayo, Kakang. Kita pamit pulang. Sebentar lagi waktu sholat ashar, kita harus sudah berada di rumah karena sore ini akan ada pisowanan agung.” Putri Wuwu tetiba datang ke saung belakang rumah dan menyela pembicaraan mereka.

“Baiklah, sepertinya memang sudah saatnya kami mohon diri, Senopati. Nanti kita akan bertemu di pisowanan agung.” Raden Kuning menjura hormat kemudian memeluk sahabatnya Soka Lulung. Sependidih air, kuda yang ditumpangi mereka melesat menuju Selatan kotaraja.

Mereka berdua kemudian bersiap untuk menghadiri pisowanan agung, sebuah forum urun rembuk keraton untuk membahas persoalan-persoalan penting yang terkait dengan keputusan besar yang akan diambil oleh adipati. Raden Kuning tak paham kiranya keputusan besar apakah yang akan diputuskan dalam pisowanan agung tersebut.

Putri Wuwu memerintahkan prajurit untuk menyiapkan kereta kuda terbaik. Mereka diantar oleh satu unit pasukan menuju keraton Tuban. Jika pagi hari tadi kedatangan mereka ke lingkungan keraton hanya menggunakan kuda, tetapi menghadiri pisowanan agung tersebut, kerabat dekat adipati Tuban itu memilih menggunakan kendaraan resmi.

Meskipun telah berumur, Raden Haryo Balewot masih terlihat gagah duduk di singgasananya. Ia membuka pisowanan agung itu dengan mengucapkan salam. Seluruh peserta pisowanan agung adalah kerabat dekat dan pimpinan tinggi prajurit Tuban. Pada kesempatan pertama, Raden Balewot mempersilakan Raden Kuning untuk menyampaikan petunjuknya mengenai keris Kyai Layon.

Semua mata peserta pisowanan agung tertuju kepadanya ketika Raden Kuning menyampaikan perihal pandangan tua buta Agam tentang akan ada huru hara di masa depan karena keris Kyai Layon. Peserta pisowanan agung bahkan bergumam riuh ketika mengetahui keris sakti itu telah raib tak tentu rimbanya saat ini.

“Mohon maaf Yang Mulia. Malam tadi aku bermimpi memegang Kyai Layon. Dan tetiba saat terbangun, Kyai Layon telah berada di dalam genggamanku!” seru Pangeran Sekar Tanjung.

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora