Cerita lalu

1K 42 0
                                    

“Biarkan mereka pergi putriku. Raden Gatra tidak akan kenapa-napa. Mereka berdua adalah kakak dan adik seperguruanku. Yang cebol itu bernama Belingis dan yang perempuan bernama Derimas. Kami bertiga dulunya terikat dalam sumpah janji saudara seperguruan. Panjang ceritanya. Nyai Derimas berselisih paham dengan ibumu sehingga akhirnya kami bermusuhan. Dulu saat kami masih terikat sumpah sebagai adik kakak, aku pernah berikrar bahwa jika memiliki keturunan laki-laki akan kuberikan keturunanku itu kepada Derimas untuk diasuhnya sebagai murid. Begitu pula sebaliknya, jika Derimas yang memiliki putri, maka aku yang akan mengasuhnya sebagai murid. Saat Putri Cala mengidap penyakit aneh, aku sudah curiga jangan-jangan itu adalah ulah Kakang Belingis yang menginginkan aku mati dengan berhutang janji. Jika Putri Cala sakit, maka tak mungkin ia bisa menikah dan memberiku keturunan cucu laki-laki. Kakang Belingis memang selama ini iri kepadaku karena aku dan Derimas sangat dekat.” Mentrabang pandangannya menerawang ke arah larinya dua pendekar aneh itu. Suaranya terdengar parau dan mengandung nada kesedihan.

Putri Cala hanya bisa menangis sesunggukan. Raden Kuning tak mampu berkata-kata karena sadar bahwa mereka kini berada di tengah pusaran konflik masa lalu Mentrabang yang kini menjadi ayah mertuanya. Mentrabang kemudian merangkul pundak putrinya dan mengajak mereka pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan menuju rumah mereka hanya diam membisu. Alangkah cepatnya kebahagiaan berlalu dari tempat itu. Padahal baru beberapa saat yang lalu seluruh warga ikut tertawa senang melihat pimpinannya bersuka cita.

Di ruang tamu rumahnya, Mentrabang memulai kisah hidupnya. Dulu mereka bertiga yaitu Belingis, Mentrabang dan Derimas merupakan saudara seperguruan. Guru mereka adalah Pangeran Aji Sepinggir yang terkenal memiliki kesaktian madraguna di seputaran Gunung Seminung. Meskipun keturunan raja, guru mereka lebih memilih menyepi bertapa di Gunung Seminung memisahkan diri dari hiruk pikuk duniawi. Tiga muridnya berlatar belakang berbeda. Belingis adalah murid tertua yang ditemukan guru mereka di sebuah dusun yang terbakar. Saat itu Belingis kecil yang terlahir cacat diselamatkan gurunya dari kobaran api.

“Aku bertemu dengan guruku dengan cara yang berbeda. Kami berjumpa ketika pelabuhan Musi ramai dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Ayahku adalah salah seorang saudagar keturunan Hokian dan ibuku adalah orang Palembang asli. Konflik terjadi ketika Chen Zhu Yi yang selama ini menjadi sahabat ayah ditangkap karena dianggap membangkang dengan Kaisar China. Ayah yang membela Chen Zhu Yi menjadi korban politik saat itu dan dianggap sebagai kaki tangan perompak. Beliau tewas setelah mengadu nyawa dengan ratusan prajurit. Guru datang di saat yang tepat. Ketika keluarga kami semua dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati, guru datang menyelamatkanku.” Mata Mentrabang berkaca-kaca.

Putri Cala baru kali ini mendengar kisah hidup ayahnya. Wajar jika selama ini ayahnya yang lembut ketika berada di daratan seketika berubah ganas saat merompak kapal saudagar asal Tiongkok di lautan. Putri Cala mengambilkan ayahnya segelas minuman. Mentrabang langsung meneguk habis air itu. Ia kemudian melanjutkan ceritanya.

“Lain lagi dengan Derimas. Ia sebenarnya masih terhitung keponakan guru. Sejak kecil ia ikut dengan guru yang terhitung pamannya dari sebelah ayah. Cinta dan sayangnya kepada sang guru membuatnya rela meninggalkan kemewahan dunia dan ikut gurunya menyepi di Gunung Seminung. Kami sejak kecil telah terikat tali persaudaraan yang erat. Bahkan ketika kecil kita selalu bersama-sama dalam suka dan duka. Akhirnya aku dan Derimas berikrar untuk saling menukar anak keturunan. Hubungan kami berdua sangat dekat hingga akhirnya Kakang Belingis merusak persaudaraan kami. Di tengah malam yang sunyi, ia dengan kegilaannya menyamar sebagai diriku dan merusak kepercayaan Derimas terhadapku. Setelah peristiwa itu Derimas menuntut aku untuk menikahinya. Tetapi karena aku memang tidak merasa pernah berbuat yang tidak senonoh terhadapnya, aku menolak menikahinya. Bukan karena alasan aku tidak mencintainya, tetapi aku menolak karena selama ini telah menganggapnya sebagai adikku sendiri. Saat Derimas tahu bahwa yang merusak dirinya adalah Kakang Belingis, ia mengamuk dan nyaris membunuh Kakang Belingis. Beruntung guru kami yang bijak segera turun tangan menyelesaikan persoalan yang ada di antara kami dan menikahkan mereka berdua. Lalu, persoalan kedua muncul setelah muncul ibumu dalam kehidupanku.” Mentrabang kembali menghela nafas panjang. Kesedihan jelas sekali terlihat di sana. Raden Kuning yang dari tadi hanya terdiam memeluk erat istrinya.

“Kenapa dengan kehadiran ibu. Apakah bibi Derimas cemburu, ayah?” Putri Cala tak tahan menutupi penasarannya.

“Ya, Derimas mulai uring-uringan ketika ibumu hadir. Terlebih ketika kami telah dinikahkan oleh guru. Rasa tidak senangnya terhadap ibumu ditunjukkan terang-terangan. Saat ibumu hamil dirimu, beberapa kali mereka terlibat perseteruan. Mengingat hal itu, aku meminta restu guru untuk pergi merantau dengan ibumu. Malang tak dapat ditolak, ibumu meninggal dunia ketika melahirkanmu. Dan aku yang patah hati akhirnya membalas dendam orang tuaku dengan memimpin pasukan perompak.”

Meskipun telah terpisah puluhan tahun, ternyata Derimas dan Belingis masih ingat atas janji yang pernah diikrarkan oleh Mentrabang. Saat melihat Putri Cala telah kembali bersama suami dan putranya, mereka sengaja muncul dan menculik Raden Gatra sebagai penebus janji Mentrabang. Akibat peristiwa itu, Mentrabang mengurungkan untuk mengadakan pesta penyambutan Putri Cala di kampung mereka. Sebagai gantinya, Raden Kuning dan Putri Cala dinikahkan ulang oleh Huanglo dengan cara Islam agar tidak ada keragu-raguan atas status pernikahan keduanya.

Raden Kuning selanjutnya menghimpun kekuatan di sana dan melatih mereka layaknya seorang prajurit. Ia tidak hanya mengajarkan cara bertempur, tetapi juga mereka diajarkan tentang strategi perang sebagaimana dipelajarinya dari pengalaman selama menjadi prajurit Djipang maupun tambahan pengetahuannya berdasarkan kitab kedua Mantra Sembilang yang berisi tentang strategi dan taktik berperang. Raden Kuning membagi waktunya antara istri tuanya yang berada di Muara Sungsang dan di tempat itu, ia juga melatih anggota perompak di sana menjadi prajurit.

Hingga tiba saatnya, Raden Kuning mendapat tugas untuk memata-matai orang asing yang berkuasa di keraton Palembang yang bernama Ki Gede Ing Suro. Awalnya mereka hanya ingin mencari informasi saja. Tetapi akhirnya justru Raden Kuning bertemu dengan pamannya Pangeran Arya Mataram dan kembali menemukan kesadarannya.

“Begitulah kisah hidupku selama terpisah dengan dirimu, Paman. Hampir dalam kurun waktu itu, aku tidak ingat siapa diriku dan dari mana asalku. Beruntung ada kelompok Shi Jin Qing yang berupaya mempengaruhi kelompok kami untuk menentang penguasa baru di Palembang yang ternyata adalah saudara sendiri, Punggawa Tuan alias Ki Gede Ing Suro. Hampir aku salah tangan. Jika saja paman Pangeran Arya Mataram tidak turun tangan mencegah tangan jahatku, bagaimana mungkin setelah ini aku dapat menaruh mukaku?”

“Lalu saat ini, dimanakah keberadaan Raden Gatra, putramu. Apakah sudah ada petunjuk?” Pangeran Arya Mataram yang sedari tadi terdiam akhirnya membuka pertanyaan.

“Itulah yang merisaukan hatiku, paman. Hingga kini keberadaan Raden Gatra tidak tentu rimbanya. Maksud tujuanku sampai ke Dusun Tanjung Ase Lubuk Rukam ini tidak lain juga aku maksudkan untuk mencari informasi terkait keberadaannya?” Raden Kuning tertegun.

“Jika yang kau maksudkan adalah sepasang suami istri aneh yang memiliki seorang putra, aku mengetahui keberadaannya,” ujar Pangeran Arya Mataram.

“Dimanakah mereka, Yang Mulia. Rinduku akan putraku itu sudah tak tertahankan lagi?”

“Engkau harap bersabar. Nanti aku sendiri yang akan mengantarkanmu. Mereka berdua berhutang budi denganku. Urusan hutang piutang mereka di masa lalu dengan mertuamu pasti akan bisa diselesaikan. Saat ini aku memiliki tugas untukmu,” tegas Pangeran Arya Mataram.

“Sendiko dawuh gusti. Hamba siap menjalankan tugas!” Suara Raden Kuning tegas.

“Sebentar lagi kita akan ikrarkan kadipaten Palembang menjadi kerajaan. Kita perlu berhitung tetangga kiri kanan yang mungkin akan menjadi penghalang. Tugasmu adalah menghimpun seluruh pasukan yang telah engkau bentuk dan engkau harus memimpin pasukan itu untuk memperkuat Palembang jika ada serangan dari luar.”

“Jika hanya tugas itu, insya Allah saya siap melakukannya, Yang Mulia!”

“Bukan itu saja. Mengingat Banten mengancam kita, maka engkau harus pulang ke tanah Jawa untuk mendapat restu dari Eyang Kyai sekaligus menunaikan janji lamamu di sana. Jangan pulang jika belum kau dapat restu darinya!”

“Izinkan aku membawa putraku pulang dulu, Yang Mulia. Aku juga perlu waktu untuk merapatkan barisan prajurit bentukanku dan menyatukannya dengan prajurit yang telah dibentuk oleh Ki Gede Ing Suro!”

“Hihihihi………….., rupanya anak menantu Mentrabang ada di sini. Kebetulan sekali aku belum pernah mencicipi kepandaiannya. Mohon maaf paduka Arya Saketi, aku minta izinmu mengadu kepandaian dengan pria berkulit kuning ini!”

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ