Tabib Gendeng

850 45 5
                                    

“Aih, kiranya Nyai Derimas yang datang. Maafkan kami yang tak mengetahui kehadiranmu. Kami baru kedatangan penyusup yang meracuni Depati Santun dan kepala juru masak istana. Tabib tengah berupaya mengobati mereka tetapi belum membuahkan hasil. Jika engkau berkenan, sudi kiranya memeriksa mereka.” Suma Banding yang mengetahui kepandaian nenek berkebaya itu segera meminta pertolongan.

“Mano pacak aku ngobati segalo macam uwong keracunan. Ilmuku cuma pacak ngobati uwong gilo bae, hihihihi… Cak kupanggilke budak gilo Raden Gatra. Suit, suit, suit!” Nyai Derimas memoyongkan mulutnya hingga menimbulkan suara bersuitan. Tak lama berselang, muncul dua orang aneh. Yang pertama orang tua cebol dan yang kedua anak kecil cengengesan.

“Ngapo pulo Nyai manggil kami ke sini. Belum selesai Yai Belingis maling makanan di dapur. Jingoklah mulutnya masih ngunyah tu, hahahaha!” Raden Gatra datang sembari mengejek gurunya sendiri. Diejek muridnya yang nakal, Belingis malah cengengesan. Mulutnya masih mengunyah sisa-sisa makanan. Dua butir nasi bahkan masih menempel di pipinya yang keriput.

“Selamat datang Kakek Belingis. Raden Gatra cepat kamu salim dengan rajo dan tuo-tuo di sini pacak kualat kamu kagek!” Raden Sabtu yang tahu keanehan keponakannya itu tak mau berbasa-basi dengan mereka. Dia menegur Raden Gatra yang masih cengengesan di tempat itu tanpa memberi salam dan hormat kepada Ki Gede Ing Suro dan petinggi keraton Palembang yang berasa di tempat itu. Terlebih petinggi di keraton Palembang itu masih terhitung kerabat ayahnya sendiri.

“Aih, ini putra Raden Kuning yo. Payu kesinilah kamu budak kecik, sungkem dengan wong tuo kami di sini!” Suma Banding segera mengulurkan tangannya.

“Plak. Aduh!” Raden Gatra mengaduh kesakitan. Kepalanya baru saja dipukul oleh Kakek Belingis.

“Ngapo Yai mukul kepala aku?”

“Kamu tuh masih dak begerak. Cepat enjuk hormat kepada raja dan petinggi keraton.”

Dengan bersungut-sungut Raden Gatra akhirnya menghampiri Ki Gede Ing Suro. Ia menyambut uluran tangan raja Palembang itu dan mencium tangannya. Hal yang sama dilakukannya kepada Suma Banding, senopati, para depati hingga prajurit jaga yang siaga di sana. Melihat kelakuan lucu muridnya, Nyai Derimas malah ketawa cekikikan.

“Nah itu baru cucu aku. Memang caknyo kamu tu harus belajar adab dan sopan santun di keraton Palembang. Jangan cak mak ini, liar cak wong hutan, hihihihi.” Nyai Derimas terpingkal-pingkal.

“Dak endak aku Nyai. Biarlah aku melok kamu jadi wong hutan bae,” ujar Raden Gatra masih bersungut-sungut.

“Cepatlah kamu perikso yang sakit di dalam. Kalau memang wong itu keracunan, cepat kau sedot racunnya. Kasihan wong itu kalu dak cepat diobati!” seru Belingis. Kali ini suaranya terdengar tegas. Tanpa banyak bicara, Raden Gatra segera masuk ke rumah tabib istana.

Anak kecil itu membuka paksa mata Depati Santun. Sepertinya ia berusaha mendeteksi fisiknya untuk menentukan apakah benar orang itu terkena racun. Selanjutnya ia membuka pakaian Depati Santun dan memeriksa tubuhnya.

“Wong ini memang keno racun. Pastilah racun masuk lewat makanan karena aku dak nemui ado luka di tubuhnyo.” Raden Gatra segera mengeluarkan sebilah pisau kecil dari balik pakaiannya. Dengan cepat ia melukai lengan bagian kanan Depati Santun. Dari lukanya itu, darah mengucur dan berwarna hitam kental. Racun sudah bercampur dalam aliran darahnya.

“Aku sudah meminumkan obat kepadanya. Tapi obat itu dak bereaksi dalam tubuhnya,” ujar tabib.

Raden Gatra hanya manggut-manggut saja. Ia kemudian memasukkan tangan kanan ke dalam ketiaknya. Tangannya menggosok-gosok dan baru berhenti sependidih air. Di tangannya terdapat gulungan daki berwarna hitam.

“Ambilkan aku segelas air minum!”

Raden Gatra kemudian mencelupkan tangannya ke dalam gelas air minum itu. Dengan cekatan, ia mengaduk tangannya di dalam gelas sehingga daki dari tubuhnya segera bercampur dengan minuman.

“Nah, kau minumkan lah air minum ini.”

“Jangan main-main Raden Gatra!” seru Suma Banding.

“Dia tidak main-main Paman. Seluruh tubuhnya memang mengandung obat terhadap segala jenis racun. Biarkan ia meminumkan air itu,” potong Raden Sabtu.

Mendapat pembelaan seperti itu, Raden Gatra semakin percaya diri. Ia meminumkan air bercampur dengan kotoran daki tubuhnya. Dengan cepat, air minum itu segera masuk ke dalam tubuh Depati Santun.

“Tunggulah sepenanak nasi. Insya Allah wong ini pacak sehat lagi,” ujarnya. Raden Gatra selanjutnya mengambil kembali pisau kecil dari balik pakaiannya. Namun kali ini ia tidak melukai lengan Seto Kalyan yang saat itu masih dalam keadaan lemas tertotok. Ia menggunakan pisau itu untuk menyayat jarinya sendiri.

“Ambilkan aku satu gelas air minum lagi!”

Dengan bergegas, tabib istana memberikan air minum seperti yang diminta anak kecil aneh itu. Selanjutnya Raden Gatra meneteskan darah yang keluar dari luka di jarinya ke dalam air minum. Dengan cara yang sama, ia mengaduk air minum yang telah ditetesi darahnya hingga rata. Ia kemudian memberikan air minum itu ke mulut Seto Kalyan hingga tak bersisa.

“Wong tuo, apolah dosa kamu ini. Ngapo nian ado wong yang jahat cak ini dengan kamu. Tunggulah denget bae, insya Allah atas perkenan dari-Nya racun ini segera hilang.” Raden Gatra menyelesaikan pengobatannya yang super aneh tersebut. Tanpa ragu, ia menotok beberapa bagian dari tubuh juru masak istana itu, hingga ia terlepas dari totokan. Meski sudah terbebas, Seto Kalyan hanya berdiam diri saja. Ia tidak mengamuk seperti sebelumnya. Matanya yang menyorot ganjil perlahan-lahan berangsur membaik.

“Nah, tugasku sudah selesai Yang Mulia. Boleh dak aku dengan Yai Belingis makan lagi di dapur istana?”

“Aih, jangan kamu yang ke dapur, anakku. Biar abdi dalem keraton bae yang bawa makanan ke regol tamu. Ayo prajurit kalian antar tamu-tamu kita ini dan siapkan makanan yang enak-enak. Kami sebentar lagi akan menyusul,” jawab Ki Gede Ing Suro.

Guru dan murid aneh itu berjalan mengekor di belakang prajurit jaga. Sebentar saja tubuh mereka telah menghilang dari pandangan. Benar saja, sepenanak nasi berlalu Depati Santun siuman. Matanya mengerjap-ngerjap perlahan sebelum akhirnya membuka seluruhnya.

“Di mana aku sekarang. Masih hidupkah aku?”

“Engkau ada di rumah tabib istana, Depati Santun. Engkau baru saja siuman dari pingsan yang panjang. Bisakah engkau menceritakan hal ihwal petaka yang membuat dirimu pingsan?” tanya Suma Banding.

“Selepas sholat magrib, aku berjalan-jalan di lingkungan keraton. Tanpa aku sadari, langkah kakiku mengantar ke dapur keraton. Di tempat itu aku bertemu dengan juru masak istana, Seto Kalyan. Kami berbincang-bincang di depan gudang tempat penyimpanan makanan, lalu datanglah seorang abdi yang membawakan kami makanan. Tanpa curiga aku melahap makanan itu. Setelah itu aku tak tahu apa-apa lagi,” jelas Depati Santun. Obrolan mereka terhenti karena Seto Kalyan akhirnya sadar dari lamunannya.

“Apa yang terjadi kepadaku?” Seto Kalyan bertanya seperti orang linglung.

“Kalian berdua diracuni orang. Coba engkau ceritakan peristiwa terakhir sebelum dirimu linglung,” tukas Suma Banding.

“Aku melihat Depati Santun pingsan setelah menyantap makanan. Ketika peristiwa terjadi, abdi dalem yang mengantar makanan itu belum pergi jauh. Aku langsung mengejarnya. Saat menghentikan langkahnya, ia menoleh dengan sorot mata berapi. Aku langsung seperti orang linglung. Orang yang menyamar sebagai abdi dalem itu memerintahkanku menelan benda seperti pil. Setelah itu aku langsung hilang ingatan,” jelasnya.

“Ternyata istana telah dimasuki penyusup. Hai kalian para prajurit, segera sita semua makanan yang ada di dapur istana. Aku ingin memeriksa semua yang ada di dapur.” Suma Banding dan beberapa prajurit serta Ki Gede Ing Suro bergegas menuju dapur istana. Langkah mereka terhenti di depan gudang penyimpanan bahan makanan. Di tempat itu telah menghadang lima orang bercadar.

“Hahaha…., tak kusangka ternyata tugas kita jadi semudah ini. Raja Palembang datang sendiri ke sini mengantar kepalanya!” seru orang bercadar.

(Bersambung)

Jangan lupa follow akunnya, vote and comment

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now