Sinjar

867 45 5
                                    

Seketika prajurit yang mengawal Punggawa Wijamanggala melompat keluar masjid menuju asal suara. Di halaman depan masjid nampak berdiri tegak seorang remaja berparas tampan. Yang membuat para prajurit sungkan adalah aura yang memancar dari tubuh anak muda itu. Sinar matanya yang sejuk dan pembawaannya yang tenang, menambah mentereng penampilannya.

“Apa maksud engkau hei anak muda bau kencur dengan ucapanmu tadi?” salah seorang prajurit akhirnya memiliki keberanian untuk menegur anak muda itu.

“Apa telingamu tuli, hei paman. Mengapa kalian mengaku muslim tetapi membuat onar di rumah Allah dan mengganggu orang sholeh?” Meskipun bicara dengan nada datar, suara anak muda itu seolah mencengkeram semangat para prajurit yang berada di hadapannya.

“Kami tidak seperti yang engkau tuduhkan, anak muda. Baru saja kami selesai beribadah.” Prajurit itu kembali menjawab pertanyaan dengan nada kalem. Seluruh semangat prajurit itu seperti hilang di hadapan pemuda gagah tersebut.

“Panggilah pemimpin kalian. Biar ia saja yang bicara denganku.” Belum sekedipan mata, Punggawa Wijamanggala sudah keluar dari masjid. Di belakangnya nampak mengekor Kakek Huanglo.

“Ada keperluan apakah engkau ingin bicara denganku, anak muda?”

“Aih, ternyata pemimpin pasukan onar ini adalah orang yang baik. Aku hanya ingin memastikan kalian tidak membuat onar di tempat ibadah, paman. Dan aku juga ingin melihat apakah kalian ada nyali mengganggu kakekku Huanglo.” Nada bicara anak muda itu teratur sebagaimana pemuda terpelajar. Punggawa Wijamanggala tak mengira jika di bekas perkampungan perompak itu ada anak muda yang seperti itu.

“Hahahaha...... ternyata engkau adalah cucu dari kakek Huanglo. Jangan khawatir anak muda, selama aku yang menjadi pimpinan prajurit di tempat ini, kakek Huanglo tidak akan ada yang berani mengganggu. Hei, bukankah engkau anak muda yang membantu tabib Yueren melarikan diri tadi?”

“Alhamdulillah, ternyata dugaanku bahwa Paman adalah orang yang baik tidak salah adanya. Ya, akulah yang membantu Kakek Yu dari pengeroyokan di pinggiran dermaga tadi. Apa kalian tidak malu mengeroyok orang yang sudah sangat sepuh. Apalagi sampai melibatkan ratusan prajurit perang segala. Aih, sungguh kelewatan.” Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tutur bahasanya yang teratur dan nadanya yang kalem membuat Punggawa Wijamanggala semakin tertarik dengannya.

“Dalam suasana pertempuran, tindakan tadi tidaklah dapat tergolong pengeroyokan anak muda. Siapakah sesungguhnya engkau. Perasaanku mengatakan bahwa engkau bukanlah pemuda asli perkampungan ini.”

“Hei, paman. Janganlah engkau membelokkan pertanyaanku dengan jawaban sesederhana itu. Aku adalah pemuda asli sini. Namaku Sinjar. Aku adalah cucu dari kakek Huanglo. Meskipun kalian didukung oleh ribuan prajurit, jika kalian merusak rumah ibadah dan mengganggu kakek Huanglo, maka aku akan bersedia berkalang tanah.” Kali ini pemuda yang mengaku bernama Sinjar itu meninggikan nada suaranya.

Punggawa Wijamanggala sejenak terperangah. Bagaimana mungkin ia yang menjadi pimpinan ribuan prajurit itu diancam oleh anak semuda itu. Suasana hatinya berubah tak enak. Tetapi sebagai orang kenyang asam garam pengalaman, ia menahan diri. Perasaannya semakin kuat jika pemuda di hadapannya itu bukanlah pemuda sembarangan. Namun di satu sisi Punggawa Wijamanggala tak ingin terlihat lemah di hadapan prajuritnya. Rasa penasarannya sebagai seorang yang mahir dengan berbagai ilmu kanuragan membuat ia akhirnya tidak bisa menahan diri lagi untuk menjajal kemampuan anak muda itu.

“Nanti jika engkau penasaran dengan pengetahuan tentang bagaimana bertempur di medan perang, aku bersedia mengajarimu hei pemuda bernama Sinjar. Tetapi hal itu tak mungkin aku berikan gratis melainkan harus melalui perjanjian.”

“Jangan engkau berteka-teki, paman. Belum tentu juga aku mau mendengar penjelasanmu tentang perang. Jika memang engkau telah menjamin rumah ibadah dan kakek Huanglo tidak akan diusik, maka selesailah tugasku. Terimakasih untuk itu dan aku mohon pamit.”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang