Menjemput restu Pangeran

1.2K 40 0
                                    

“Semua telah tertata dengan baik, Yang Mulia. Aturan telah ditetapkan, masyarakat senang dan Islam begitu pesat perkembangannya. Namun sebagaimana sebuah pemerintahan yang memiliki rakyat dan wilayah, aku berpendapat agar ada prosesi penetapan Yang Mulia sebagai raja di Palembang. Hal itu tidak saja berfungsi sebagai pengakuan, tetapi juga menjadi khabar bagi negara-negara tetangga.” Suma Banding yang mendapat jabatan sebagai penasehat memberikan sarannya.

“Ya, aku pun telah memikirkannya. Tetapi apakah sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk meminta restu Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Mengingat kita belum memiliki pertahanan dan keamanan yang kuat. Aku khawatir jika tersiar berdiri keraton Palembang baru di sini akan mengundang datangnya musuh.” Ki Gede Ing Suro menimpali.

“Memang kita belum kuat betul untuk dapat menghadang serangan dari luar. Menurut pandanganku baiknya segera kita buat benteng yang akan melindungi dari serangan luar. Saat ini memang prajurit kita sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan diri, tetapi tanpa pertahanan yang kokoh jika diserang dalam jangka waktu yang panjang, pasti kita akan kalah.” Kali ini Bujang Jawa mengutarakan pendapatnya.

“Jika kita tidak dapat memutuskan perihal penting ini, biarlah aku kembali ke Lubuk Rukam. Nanti Yang Mulia Pangeran Arya Mataram yang akan memberikan pandangannya.” Punggawa Kedum akhirnya buka suara.

Setelah menguasai Palembang dan telah membangun keraton berarsitektur Jawa di Kuto Gawang, empat orang pimpinan keraton Palembang baru itu masih berbeda pendapat untuk pengesahan beridrinya keraton Palembang. Ki Gede Ing Suro sependapat dengan semua pendapat yang diutarakan bawahannya itu. Rapat itu akhirnya memutuskan untuk mengirim Punggawa Kedum pulang ke Lubuk Rukam untuk meminta pendapat junjungan mereka Pangeran Arya Mataram. Mendapat restu dari pewaris keraton Djipang itu adalah sebuah keharusan mengingat pandangan dan pemikiran beliau sangat matang dan bijaksana. Sayangnya, keturunan raja-raja Majapahit itu tidak lagi berkenan menyandang kemewahan sebagai raja baru. Ia lebih memilih menjadi orang biasa saja yang menekuni kehidupan sebagai penyiar Islam di pedalaman.

“Baiklah, aku sepakat dengan semua pendapat kalian. Semua ada alasan pembenarnya. Punggawa Kedum, engkau pulanglah ke Lubuk Rukam dan mintalah restu dan pendapat dari Yang Mulia Pangeran Arya Mataram!”

Selain mengutus Punggawa Kedum pulang, Ki Gede Ing Suro juga meminta Bujang Jawa untuk membuat rencana pertahanan keraton. Meskipun keraton Kuto Gawang telah dikelilingi pagar yang kokoh, tetapi untuk dapat bertahan dari gempuran musuh perlu perencanaan pertahanan lainnya. Hal ini mengingat kelompok perompak dan saudagar China yang telah ditaklukkan dapat sewaktu-waktu menjadi ancaman.

“Memang pertahanan kita sangat rentan. Jika musuh menyerang, maka mereka akan langsung ke pusat jantung pertahanan, keraton Kuto Gawang,” ujar Suma Banding.

“Betul sekali, penasehat. Menurutku keraton Kuto Gawang wajib memiliki kubu pertahanan di luar sana. Jika musuh menyerang sudah pasti akan datang dari arah Sungai Musi dan dari arah Sungai Komering. Oleh karena itu, perlu ada pertahanan berlapis dengan membuat kubu-kubu di Pulau Kemaro, Plaju, dan Sungai Gerong. Aku mengusulkan agar dipasang pagar cerucuk memotong Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju.” Bujang Jawa menyampaikan pemikirannya.

“Ah benar sekali, Bujang Jawa. Saranmu ini hebat sekali. Segera masukkan rencanamu itu dalam rencana keraton. Dan yang paling penting adalah kita harus mengangkat orang yang tepat untuk menjadi pemimpin di kubu-kubu pertahanan itu. Setelah ini, kita juga harus memikirkan pertahanan jalur darat karena itu menjadi hal yang sangat penting juga. Perlu ada benteng di daratan untuk melindungi keraton Kuto Gawang.” Ki Gede Ing Suro mengangguk setuju. Mereka terus berpikir keras untuk membangun keraton Palembang yang kuat yang akan terus berkembang dan mampu bertahan hingga akhir zaman.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now