Alasan Telik Sandi

688 35 3
                                    

Di saat keadaan kritis itu, tetiba mata Belingis berkilat ganjil. Didahului dengan suara gelak tawanya yang keras, kedua tangannya yang melekat di tangan lawan langsung terlepas. Di saat itulah ia bergulingan di tanah sehingga senjata tulang yang mengancam batok kepalanya meleset dan menancap di tanah. Nyaris saja jagoan kawakan dari Palembang itu kalah dalam helaan nafas saja.

“Aih, cerdik sekali engkau, Tuan. Tak salah jika engkau tadi berlagak seperti jagoan. Hehehe... untung saja si Belingis buyan ini segera memanggil aku. Kalau tidak mana bisa nyawa busuknya ini kuselamatkan!” Belingis bertingkah seperti orang gila. Ia mengatai dirinya sendiri. Ya, baru saja kakek sakti itu mengeluarkan jurus langka yang jarang digunakannya. Jurus itu hampir punah karena tidak ada yang sanggup mewarisinya. Jurus langka itu adalah jurus “memanggil roh gila”. Untuk dapat menguasai jurus aneh itu, orang yang mempelajarinya harus berlakon gila.

Belingis baru mampu menguasai jurus memanggil roh gila ketika ia ditinggalkan oleh kekasihnya yang kemudian menjadi istrinya, Nyai Derimas. Ketika bertirakat laku gila, ia mempelajari kitab peninggalan gurunya. Dalam kegilaannya Belingis mendapatkan sebuah ilmu langka nan gaib yang saat ini bisa menyelamatkannya dari marabahaya.

Orang yang menguasai jurus memanggil roh gila akan terlepas dari pengaruh tenaga dalam dan tenaga batin lawan. Dalam keadaan setengah gila, ilmu sihir sekuat apa pun tidak akan mampu mempengaruhi pikiran Belingis. Yang ada di benak Belingis saat itu hanyalah bermain-main dengan lawannya.

Sambil melompat-lompat kecil, Belingis yang berlakon gila menuju ke arah lawannya. Senjata lawan yang berbahan mirip tulang manusia masih menancap di tanah tak jauh dari lelaki bersorban. Saat Belingis hanya berjarak tiga langkah darinya, lelaki bersorban tetiba melontarkan tubuhnya jauh ke belakang. Di saat bersamaan, senjata mirip tulang manusia meledak dan menimbulkan kabut asap tebal. Belingis yang berada di dekat ledakan tak ayal menghisap asap beracun itu.

“Aih curang sekali caramu. Aku kena kau racuni!” Mata Belingis kembali berkilat normal. Segera ia melompat ke belakang. Kendati telah menutup pernafasannya, tetapi asap beracun tak terhindarkan olehnya. Sebelum ia terjerembab jatuh di arena, sesosok bayangan berkelebat menyambar tubuhnya. Tetiba di tempat itu tercium wangi Melati. Orang yang menyelamatkan Belingis ternyata seorang nenek-nenek berkebaya.

“Nyai Derimas!” Para jagoan yang masih menonton pertarungan seketika mengenali sosok wanita sakti itu.

Belingis yang keracunan segera menghentikan nafasnya. Sementara penolongnya menjejalkan sebuah pil berukuran besar ke dalam mulutnya. Dengan cekatan jari tangannya menotok di sejumlah titik vital di pundak dan dada suaminya itu. Tanpa banyak pertanyaan, Kakek Belingis segera mengunyah pil tersebut. Meskipun tengah terluka akibat racun ganas, kakek cebol itu justru menyunggingkan senyuman.

“Aiih, ternyata bidadariku yang muncul. Untunglah engkau segera datang, Derimas. Jika terlambat saja, kepalaku yang tua ini mungkin sudah benjol tersungkur di tanah.” Kakek Belingis terkekeh. Dalam keadaan terluka seperti itu saja, ia masih terlihat jenaka.

“Dasar orang tua bangkotan bau tanah. Tak pernah sadar jika nyawa sudah di ujung tanduk. Berhentilah tertawa seperti itu, kau harus mengirit tenagamu kalau tidak ingin nyawamu segera melayang. Pil itu hanya menghentikan sementara racun ganas itu.” Nyai Derimas bersungut-sungut.

Di saat yang sangat menegangkan itu, tetiba lelaki bersorban yang tadinya melompat ke belakang telah melesat kembali ke arena. Jarak antara mereka hanya terpaut lima langkah saja. Ia yang baru datang langsung tersenyum mengejek.

“Bukan asap itu yang meracuni tubuhmu, kakek cebol. Tetapi asap itu hanya menjadi pemicu bagi racun ganas yang sebelumnya telah bersemayam di tubuhmu. Bukan hanya engkau yang terkena racun, tetapi istrimu dan muridmu juga saat ini telah keracunan,” ujarnya bangga.

“Jangan engkau melantur, Tuan. Bagaimana mungkin aku bisa bisa kau racuni. Sedangkan kita saja baru bertemu di tempat ini,” ujar Nyai Derimas jengkel.

“Asap yang kalian hisap tadi merupakan pemicu bagi racun ganas yang sebelumnya telah bersemayam di tubuh kalian. Bukan hanya kalian saja yang kena racun, tetapi semua peserta adu tanding ini telah terkena racun. Berbeda dengan racun pada umumnya, racun yang bersemayam di tubuh kalian akan muncul dan menyebar ke aliran darah jika ada pemicunya. Sebagaimana yang telah kalian lihat, salah satu pemicunya adalah mengeluarkan tenaga dalam berlebihan. Selain itu, sebagaimana yang kalian lihat barusan, pemicu lainnya bisa melalui asap beracun yang baru terhisap oleh Kakek Belingis.”

“Engkau belum menjawab pertanyaanku, lelaki sombong. Bagaimana engkau meracuni kami?” Kakek Belingis mengulangi pertanyaan istrinya.

“Kalian memang pasti tidak menyadarinya karena kalian larut dalam upaya memperdaya orang kami,” sinisnya.

“Siapa yang engkau maksudkan?” tanya Belingis.

“Keluarlah telik sandi. Engkau sendiri yang harus menjelaskan kepada mereka!” Lelaki bersorban berteriak lantang. Tetiba berkelebat sesosok bayangan yang langsung naik ke atas panggung.

“Nuwun sewu, Tuan. Hamba datang!”

“Engkau… Aih, akhirnya engkau berani muncul, Bujang Jawa. Terkutuklah kau yang telah mengkhianati tuanmu sendiri!” Seru Kakek Belingis marah. Seketika suasana di tempat itu langsung bergemuruh. Orang-orang yang mengenal Bujang Jawa terlihat tidak percaya jika telik sandi kepercayaan Pangeran Arya Mataram itu dapat berada di pihak musuh.

“Ya, betul Kakek Belingis. Aku Bujang Jawa!”

“Hei, setan bersorban apa yang telah merasukimu sehingga prajurit setia sepertimu bisa menjadi penjahat kapiran seperti ini,” Nyai Derimas memotong perbincangan mereka.

“Aku hanya menjalani takdirku, Nyai. Sebagai seorang telik sandi Demak, aku dilatih untuk berikrar setia dengan anak keturunan raja-raja Demak. Mereka yang datang ini membawa titah Raden Ayu Kirana, permaisuri Banten. Mereka meminta janji setiaku terhadap Demak.”

“Hei, Bujang Jawa. Bagaimana jika dalam menjalankan perintah itu engkau harus mengkhianati junjunganmu Pangeran Arya Mataram,” bentak Nyai Derimas.

“Sepanjang titah dari keturunan raja-raja Demak itu tidak mengharuskan aku melawan gusti pangeran, aku pasti akan menerima titah itu. Tetapi jika dalam menjalankan titah tersebut aku diperintahkan untuk mencelakai junjunganku yang juga garis keturunan raja Demak, maka aku pasti akan bersedia berkalang tanah menolak tugas tersebut,” tukasnya.

“Aih, pusing aku. Dari dulu memang urusan raja-raja ini selalu menjadi urusan kapiran. Aku tidak mengerti ada orang buyan seperti kau di dunia ini Bujang Jawa,” gerutu Nyai Derimas.

“Lalu, bagaimana engkau bisa meracuni kami?” potong Belingis.

“Ingatkah ketika Kakek Belingis dan Raden Gatra menyamar sebagai gusti pangeran. Kalian saat itu menghadangku dan memberikan titah palsu. Di saat itulah aku menaruh racun di tubuh kalian, Kakek Belingis.” Bujang Jawa menyilakan tangan di depan dada dan menunduk hormat.

“Hei, jika engkau meracuni kakek cebol ini saat kalian bertemu, bagaimana caramu meracuniku. Jangan engkau asal banyak tai gigi, Bujang Jawa. Aku merasa sehat-sehat saja sekarang. Lihat jurus!” Nyai Derimas bermaksud membokong Bujang Jawa.

“Aih, kenapa dadaku. Hoak!” Nenek sakti itu jatuh terjerembab. Tubuhnya terkulai lemas. Serangan maut yang ditujukannya untuk melukai Bujang Jawa telah berbalik melukainya. Dari bibirnya terlihat keluar darah segar. Tenaga dalam yang dikerahkannya saat akan membokong lawan, telah memicu racun di dalam tubunya.

“Aku sudah jelaskan tadi. Sayangnya engkau tak mau mendengarkan aku, Nyai!” seru Bujang Jawa.

“Hahahaha..... bagus sekali kelakuanmu itu, Bujang Jawa. Segera berlutut dan menyembah leluhur seribu kali!” Tetiba di tempat itu terdengar suara berwibawa. Mendengar suara itu, Bujang Jawa sontak pucat pasi.

(Bersambung)

Siapakah lelaki yang baru datang. Tunggu sambungannya besok ya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang