Amanat untuk Tuban

1.5K 62 0
                                    

"Tak sudi aku menyerah dengan anak kemaren sore seperti engkau Senopati Tuban. Biarkan kita mengadu ilmu!" Si Tua Buta langsung menyerang ke arah Senopati yang terkenal bijaksana itu. Sementara Bujang Jawa dan Punggawa Tuan langsung merangsek menyerang prajurit Tuban. Kegaduhan di alun-alun Kota Tuban itu langsung membuat kawula sekitar masuk ke dalam rumah. Warung-warung yang berada di sekitar alun-alun pun seketika ditutup pemiliknya.

Dahsyat sekali serangan yang dilakukan oleh tiga orang pilih tanding itu. Sebentar saja puluhan prajurit Tuban kalang kabut tak tentu arah. Batok kelapa butut berubah menjadi senjata hebat menimbulkan suara mengaung melumpuhkan para prajurit yang mengerumuninya.

Bujang Jawa bertarung tak kalah ganas. Dikeluarkan senjata andalannya yaitu tongkat kayu pendek menyerupai toya. Dengan senjata sederhananya itu, ia menotok prajurit Tuban yang berusaha melukainya. Prajurit yang terkena totokan Bujang Jawa langsung terpental dan tak mampu berdiri lagi.

Punggawa Tuan menyerang dengan tangan kosong. Bajunya yang gombrong mengibaskan angin dan berubah menjadi senjata ampuh. Belasan prajurit jatuh tersungkur terkena pukulan dan kibasan bajunya. Semakin banyak prajurit yang tersungkur, semakin banyak pula mereka yang mengepung tiga orang berkepandaian tinggi itu.

"Hai, kalian prajurit. Semua mundur. Biar aku yang menjajal kepandaian mereka!" Suara mentereng itu berasal dari suara Senopati Glagah Watu. Ia langsung merangsek menyerang Bujang Jawa yang tengah mengambil nafas. Mereka berdua langsung berkelebat tak kelihatan lagi tubuhnya. Hanya bayangan orang berkejaran di udara yang nampak di tengah malam remang bulan separuh itu.

"Aiiih, ternyata engkau murid Kanjeng Gusti Arya Penangsang. Sungguh beruntung malam ini aku mendapat kesempatan untuk menjajal ilmu saktinya." Suara Glagah Watu berubang riang. Senopati Tuban ini memang terkenal suka sekali dengan ilmu kanuragan. Bertarung dengan lawan tangguh akan membuatnya gembira. Di kala itu ratusan prajurit Tuban terus berdatangan. Mereka menonton pertarungan itu dengan seksama. Sementara si Tua Buta dan Punggawa Tuan juga sudah meloloskan diri dari kepungan prajurit Tuban, melihat jalannya pertarungan dari pinggir arena.

Senopati Glagah Watu kemudian melolos keris dari pinggangnya. Keris itu langsung berkelebatan meninggalkan cahaya samar ketika dimainkan oleh sang empunyanya. Tongkat toya Bujang Watu mendapat lawan kali ini.

"Trang," suara beradunya ujung tongkat yang berbahan baja saat berbenturan dengan ujung keris membuat semakin mencekam suasana malam.

"Bujang Jawa bertemu lawan tangguh kali ini. Dari angin pukulannya, aku sangat yakin jika senopati ini ada hubungannya dengan Sunan Muria. Dua prajurit ini kelihatannya sama-sama imbang." Si Tua Buta berbisik kepada Punggawa Tuan.

"Ya, aku juga merasa bahwa keduanya imbang. Tak kusangka jika Bujang Jawa ini pernah mendapat petunjuk Pangeran Raja Adipati Arya Penangsang yang sakti. Wajar saja jika kepandaiannya jauh berada di atasku," jawab Punggawa Tuan.

Dalam hatinya Punggawa Tuan heran, mengapa orang dengan kepandaian tinggi seperti ini hanya menjadi telik sandi. Tetapi keheranannya itu justru membuatnya mahfum sehingga Pangeran Arya Mataram pun kenal dekat dengan Bujang Jawa. Namun ia tidak sempat memikirkan kejanggalan perihal Bujang Jawa. Saat ini Punggawa Tuan khawatir dengan kedatangan banyak prajurit di tempat itu. Sementara itu pertarungan antara Glagah Watu dengan Bujang Jawa memasuki saat-saat menegangkan. Hingga akhirnya terdengar pekikan Bujang Jawa.

"Argh.....!"

Tongkat kecilnya terlepas dari tangan, sementara tubuhnya terhuyung empat langkah ke belakang. Namun nasib tak jauh berbeda dialami oleh lawannya. Senopati Glagah Watu juga terpental ke belakang enam langkah, namun kerisnya tidak ikut terlepas dari tangan. Kedua prajurit sakti itu saling tersenyum. Jelas terlihat kegembiraan di raut wajah keduanya. Memang aneh pertarungan ini. Meskipun berpotensi kehilangan nyawa, dua prajurit gagah itu tidak merasakan takut. Bujang Jawa kemudian menggenjot tubuhnya disusul oleh lawan. Mereka kembali berkelebatan saling serang menyerang. Prajurit yang menonton pertarungan nampak diliputi suasana tegang.

"Trang-trang-aduh!" Sebuah kelebatan bayangan membubarkan pertarungan. Berdiri di tengah-tengah mereka sang Pangeran Sekar Tandjung, putra mahkota kadipaten Tuban. Selanjutnya menyusul di belakangnya Bekel Soka Lulung dan beberapa pasukan pengawal pangeran.

"Kalian tidak usah bertempur lagi. Kedatangan mereka bertiga tidak merugikan Kadipaten Tuban. Kalian semua prajurit segera kembali ke barak. Mewakili Kadipaten Tuban aku mohon maaf atas kelancangan prajuritku. Atas nama kanjeng romo Pangeran Haryo Balewot aku mengajak kalian untuk singgah ke keraton Tuban, Kanjeng Romo telah menunggu kedatangan kalian." Pangeran Sekar Tanjung menjura kedua tangannya dan memberikan hormat.

"Maafkan aku terlalu lama menghadap Kanjeng Gusti Adipati Tuban. Aku tak mengira ada gerakan prajurit Tuban di bawah pimpinan langsung Kakang Glagah Watu. Beruntung telik sandi Pangeran Sekar Tanjung langsung melapor ke keraton," Soka Lulung membungkukkan tubuhnya tanda penyesalan. Bujang Jawa langsung merangkul tubuhnya dan mengajaknya berjalan beriringan.

Tak ada yang istimewa di keraton Tuban. Keraton yang dulunya sangat mewah itu kini telah berganti rupa. Nampak sekali jika Adipati yang berkuasa  Raden Haryo Balewot membuang sekat yang sebelumnya dibangun antara kawula dengan rajanya di masa kerajaan Majapahit. Di masa pemerintahan Syekh Abdurrahman, Keraton Tuban dipindahkan dari alun-alun Utara ke alun-alun Selatan. Tempat ibadah yang sebelumnya berada di kompleks keraton sekarang dibangun di alun-alun kota Tuban. Masjid itu menjadi tempat ibadah seluruh rakyat Tuban pemeluk agama Islam. Di kala itu hampir mayoritas rakyat Tuban telah memeluk agama Islam dari sebelumnya menganut agama Hindu. Saat ini hanya sedikit saja rakyat Tuban yang masih memeluk agama Hindu dan sebagian kecil lainnya masih menganut agama kepercayaan leluhur.

Masjid yang berdiri di alun-alun Kota Tuban itu berdiri megah dan menjadi sarana komunikasi antara rakyat dengan rajanya. Setiap sholat Jumat Adipati beserta seluruh keluarganya menunaikan  sholat di sana. Sehabis sholat Jumat itulah Adipati Tuban menyerap aspirasi dari rakyatnya. Terkadang di waktu sholat fardhu Pangeran Haryo Balewot juga bersembahyang di masjid itu.

Bujang Jawa yang berbasis telik sandi seketika mencatat dalam ingatan tata letak bangunan dan arsitektur keraton Tuban. Komplek keraton Tuban hanya ditandai dengan gapura kecil tanpa pintu gerbang. Sekeliling keraton juga tidak dibangun tembok tinggi. Satu-satunya tanda yang membedakan bangunan itu adalah keraton hanyalah adanya prajurit yang berjaga di sekitar gapura. Rumah Adipati Tuban berlokasi di keraton ndalem dan diapit oleh rumah keluarga keraton. Rumahnya beratap joglo khas Jawa dan berukuran paling besar dibanding bangunan lainnya. Terdapat surau berukuran cukup besar di sana. Bujang Jawa menduga pasti surau ini adalah tempat keluarga Pangeran Haryo Balewot menunaikan ibadah sholat fardhu. Sebelum sampai ke rumah Adipati Tuban mereka melewati Pendopo yaitu sebuah ruang besar terbuka yang menjadi tempat Adipati melakukan rapat dan menerima tamu serta mengadakan kegiatan pemerintahan.

Pangeran Sekar Tanjung membawa mereka langsung menuju komplek perumahan keraton Tuban. Di antara pendopo dengan komplek keraton ndalem ada sebuah ruangan transisi yaitu ruang Pringgitan. Mereka diterima di ruang itu. Hanya sependidih air mereka menunggu, Pangeran Haryo Balewot muncul di Pringgitan dan langsung menyapa para tamunya.

“Assalamualaikum saudaraku. Selamat datang di Keraton Tuban.” Suara berat Pangeran Haryo Balewot cukup bersahabat meskipun sorot matanya masih terlihat tegang.

Serentak para tamunya menjawab salam itu. Setelah Adipati Tuban mengambil tempat duduk berhadapan dengan para tamunya, si Tua Buta mengambil alih obrolan.

“Salam hormat dari saya orang tua buta ini Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Balewot. Aku terikat amanah dengan guruku untuk mengantarkan keris pusaka Kyai Layon ini kepada Adipati Tuban. Engkau juga terikat takdir dengan keris ini begitu pula dua temanku ini. Sebagaimana mungkin telah dilaporkan oleh Bekel Soka Lulung sebelumnya, keris ini akan menjadi momok di masa mendatang. Keris ini dibuat oleh seorang Mpu di Gresik dan diserahkan kepada Syekh Jalaludin. Aku diperintahkan guruku di Palembang untuk mengambil keris Kyai Layon dari seseorang di Gresik untuk diantarkan kepada Adipati Tuban.”

Si Tua Buta nampak menghela nafas berat. Sepertinya ada hal yang memberatkan hatinya untuk melanjutkan cerita tentang keris Kyai Layon ini. Sementara para pendengarnya nampak terdiam menunggu kelanjutan cerita tentang keris bergagang gading berkepala ular itu.Setelah mengambil nafas Panjang, ia melanjutkan cerita.

“Keris ini akan dipakai untuk senjata saling bunuh anak keturunanmu, Pangeran Haryo Balewot!”

(Bersambung)

Jika suka cerita ini vote ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now