Pengacau Muncul

784 44 2
                                    

Des, dar!” Terdengar suara pukulan beradu. Maulana Husen terdorong tiga langkah ke belakang. Tetiba di atas panggung telah berdiri Kakek Belingis. Tubuhnya yang cebol dan rambutnya yang panjang awut-awutan seketika mendatangkan keheranan dari penonton.

“Aih, ganas sekali pukulanmu anak muda. Jika saja aku terlambat turun tangan, pasti orang Santun ini akan tinggal nama.” Belingis segera memeriksa nadi Depati Santun. Kepalanya menggeleng-geleng. Ia segera menoleh ke arah tempat Suma Banding duduk.

“Depati Santun terkena racun. Pengerahan tenaga berlebihan membuat racunnya menjalar ke jantung. Menurut dugaanku, seluruh wakil dari keraton Palembang pastilah juga mengalami nasib serupa. Sebelumnya Rengkaling mengalami keadaan serupa. Saat ini si Santun ini. Coba kalian semua yang akan bertanding, pusatkan tenaga di bawah pusar dan arahkan tenaga kalian ke seluruh pembuluh darah. Jika nafas kalian sesak, maka hentikanlah pengerahan tenaga itu.” Belingis berteriak lantang.

Seketika suasana menjadi ramai. Para jagoan yang akan bertanding segera melaksanakan petunjuk dari Kakek Belingis. Mereka menghimpun tenaga dalam dan mengarahkannya ke seluruh tubuh. Benar saja, sebentar saja terdengar suara orang-orang bergumam gaduh.

“Benar katamu orang tua. Aku tak mampu mengerahkan tenagaku ke seluruh tubuh. Sepertinya ada yang menghalangi tenagaku untuk melakukan itu. Dan, nafasku pun terasa sesak,” ujar Depati Huni diantara riuh rendah suara kepanikan penonton.

“Aku juga, aku juga, aku juga,” suara itu seperti paduan suara membuat suasana berubah penuh ketegangan.

“Kalian jangan panik. Karena keadaan ini, maka ajang adu tanding akan kami hentikan. Seluruh perwakilan dari kerajaan tetangga akan mendapat pengobatan dari tabib terbaik milik kami. Aku mewakili raja menghaturkan permohonan maaf atas ketidaknyamanan ini.” Suma Banding menyampaikan pengumuman penting tentang penghentian adu tanding.

“Hei engkau penasehat kerajaan. Aturan mana yang membolehkan engkau membatalkan ajang adu tanding ini. Engkau tidak boleh bertindak adigang-adigung atas nama keraton Palembang. Aku sebagai salah satu wakil dari Malaka menolak keras penghentian adu tanding ini.” Suara penolakan itu dikumandangkan seorang lelaki sepuh bersorban. Ia duduk tenang diantara para utusan dari Malaka. Sorot matanya tajam dan jika mendengar betapa keras suaranya, maka Suma Banding mahfum jika orang yang baru saja bicara itu memiliki kepandaian paripurna.

“Mohon maaf, Tuan. Sebagai tuan rumah kami memiliki hak untuk meneruskan ataupun menghentikan pertandingan. Kami melihat ada orang yang sengaja hendak mengacaukan jalannya adu tanding ini. Seluruh peserta diracuni sehingga tidak bisa melanjutkan pertandingan. Jika engkau memaksakan adu tanding ini tetap diteruskan, kami jadi curiga mengapa engkau tidak ikut terkena racun?” Suma Banding menjawab dengan cerdas. Lelaki bersorban yang disindir itu tetapi masih terlihat tenang.

“Aku hanya meminta engkau agar tidak bertindak sewenang-wenang. Alasan sebagai tuan rumah justru tidak bisa untuk dipermaklum. Kami datang jauh-jauh mewakili kerajaan untuk menghadiri undangan kalian. Tetapi setelah berada di sini, engkau atas nama tuan rumah membatalkan secara sepihak adu tanding ini. Pernahkah keputusan itu engkau sepakati dengan kami. Padahal kedatangan kami kesini karena kami menghargai undangan dari kalian.” Lelaki bersorban tetap ngotot minta agar pertandingan dilanjutkan.

“Baik. Aku akan menuruti kehendakmu, Tuan. Aku umumkan kepada seluruh undangan yang hadir, apakah kalian setuju untuk sementara pertandingan ini dihentikan?” Suma Banding bertanya dengan suara lantang.

“Setuju………..!” jawab penonton hampir berbarengan.

“Kami tidak setuju!” Lelaki bersorban kembali menyerukan penolakan.

“Engkau sudah dengar sendiri, penonton menghendaki adu tanding ini dihentikan sementara!” Suma Banding mulai kehilangan kesabaran. Matanya mengerjap tak tenang. Terlihat sekali jika ia tengah mengendalikan emosinya.

“Hanya pihak kami yang tidak setuju dengan penghentian pertandingan. Maka, menurutku kalian harus menetapkan jika kami utusan dari Malaka yang menjadi juara dalam ajang adu tanding ini. Itu saja tuntutan kami!” Lelaki bersorban kembali mengutarakan keinginannya.

“Aih, aturan dari mana yang engkau pakai, Tuan. Jika engkau memang bersikeras ingin melanjutkan pertandingan, biarlah aku yang akan menghadapi kalian.” Tetiba Kakek Belingis menyela perdebatan mereka. Ia berkelebat langsung naik ke atas panggung. Dengan wajah mengejek ia memanggil lelaki bersorban dengan panggilan jarinya.

“Hei lelaki asing yang mengaku dari Malaka. Jangan lagi engkau banyak cincong. Ayo hadapi aku.” Belingis terlihat emosi. Baru selesai ia menantang lelaki bersorban, tetiba melesat lelaki separuh baya yang juga mengenakan sorban.

“Hadapi aku, kakek cebol!” Lelaki itu langsung menyerang dengan jurus ganas.

“Aih, mana bisa seperti ini. Aku menantang kawanmu yang banyak omong itu. Minggirlah engkau!” Belingis mengibaskan tangannya. Seketika terdengar suara bercicit yang timbul dari kibasan tangannya. Utusan Malaka yang menyerangnya langsung terhuyung ke samping. Baru sekali kibas, terlihat sekali bahwa Belingis memiliki kepandaian jauh di atas lawannya. Belum sempat ia mengejek lawannya, tetiba lelaki bersorban yang sedari tadi ngotot ingin melanjutkan pertarungan melompat ke dalam arena.

“Mundurlah engkau, dia bukan tandinganmu. Ayo hadapi aku kakek cebol jumawa!” Lelaki bersorban langsung menyerang dengan senjata aneh. Senjata itu sepertinya terbuat dari tulang manusia. Di ujung senjata tulang itu terdapat beberapa lubang sehingga setiap senjata itu diayunkan terdengar suara yang memekakkan telinga.

Belingis terlihat mengubah gerakannya. Ia membuat gerakan menotol ke tanah sehingga tubuhnya seperti per yang melompat-lompat tak tentu arah. Lelaki bersorban itu kesulitan untuk menjangkau tubuh kakek Belingis yang kecil cebol itu.

“Sekarang engkau rasakan pukulan mayat hidup ini!” Lelaki bersorban mengubah gerakannya menjadi lambat. Ia terlihat berkonsentrasi mengerahkan tenaganya. Sebentar saja wajahnya berubah warna menjadi biru. Dengan tenang ia mengembangkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya melemparkan senjata tulang manusia tinggi ke atas. Sekejap senjata aneh itu hilang dari pandangan.

“Baik, jika engkau ingin segera menyelesaikan pertandingan ini, maka aku akan mengadu jiwa denganmu.” Belingis menghentikan gerakan menotol. Kedua tangannya dikembangkan dan didorong ke arah lawan.

“Des!” Suara itu berasal dari kedua jurus pukulan yang beradu. Kedua tangan itu saling menempel satu sama lain. Belingis masih terlihat percaya diri dengan pertarungan mereka ini. Ia terus mengerahkan seluruh tenaganya unutk merobohkan lawan dengan cepat.

Namun tanpa disadarinya, tetiba dari atas langit meluncur senjata tulang manusia tadi dilepaskan lawannya. Senjata itu seperti memiliki mata karena langsung mengarah ke batok kepala Belingis.

"Awas senjata kakek cebol." Seorang penonton berteriak kencang memperingatkan. Seketika Belingis sadar atas bahaya yang mengancam jiwanya. Namun ketika ia berupaya melepaskan tangannya, belitan tenaga lawan membuat tangannya lengket. Tenaga lawan terus menyedot tenaga Belingis. Seketika kakek cebol sakti itu berkeringat dingin.

(Bersambung)

Jangan lupa follow ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang