Lelaki Bersorban

747 37 0
                                    

Dua orang bersorban nampak berjalan cepat menghampiri pohon besar tempat Arya Belanga dan Kedum beristirahat. Dua orang yang tengah melepas lapar itu terperanjat. Lelaki bersorban kemudian menjura hormat seraya mengucapkan salam. Penampilan mereka tidak mencurigakan. Tutur katanya pun enak didengar oleh telinga. Tetapi kedua orang yang telah banyak makan asam garam pengalaman itu tetap waspada.

“Assalamualaikum, tuan. Izinkan kami musafir yang kelaparan ini berbagi bekal dengan tuan. Itu juga jika tuan berdua berkenan,” salah seorang dari mereka berkata ramah.

“Waalaikumsalam, tuan bersorban. Sepertinya kalian berdua berasal dari tempat yang jauh. Kami tidak keberatan jika harus berbagai bekal dengan kamu, tetapi ada beberapa hal yang mesti kalian jelaskan terlebih dahulu,” jawab Arya Belanga.

“Oh, apakah kiranya itu, tuan. Janganlah sungkan, sampaikanlah kepada kami.”

“Di sepanjang perjalanan, kami menemukan wabah penyakit yang menyerang anak-anak. Setelah memeriksa mereka kami mendapati bahwa anak-anak itu telah diracun. Nah, berdasarkan cerita mereka, orang yang terakhir ditemui adalah tiga orang lelaki bersorban. Aku bertanya apakah itu ulah kalian berdua?” Kedum bertanya tanpa tedeng aling-aling lagi.

“Hai, hai. Rupanya sorban kami inilah yang membuat tuan berdua terus siaga. Kalau kami menjawab bukan kami pelakunya, pasti kalian berdua akan kembali melanjutkan pertanyaan. Tetapi kalau kami menjawab kami adalah pelakunya, pasti kalian akan menyerang kami berdua dan berarti itu sama dengan kami bakal kehilangan kesempatan untuk berbagi bekal, hahahaha….. Sungguh situasi yang sulit,” salah seorang dari lelaki bersorban malah tertawa aneh. Sorot matanya terlihat ganjil.

“Aih, apakah pertanyaanku barusan tidak mengganggu kalian. Apakah kecurigaan kami atas kalian juga harus ditanggapi dengan tawa? Aku sangat tak kenal pribadi seperti kalian ini,” potong Arya Belanga seraya menghardik.

“Tak perlu beramah-ramah lagi dengan orang aneh ini, kakang. Biarkan tinjuku ini yang akan membuat mereka mengaku,” Kedum tetiba menyerang dua lelaki bersorban.

“Engkau ternyata orang yang tak ramah, tuan!” Lelaki bersorban menyambut serangan Kedum sambil menggeser tubuhnya ke samping kiri dan kanan.

Meskipun tinjunya memukul tempat kosong, Kedum melanjutkan jurus pukulannya dengan ganas. Ia menyerang lawannya dengan jurus kebutan baju. Gerakan-gerakannya sangat aneh sehingga sulit untuk ditebak perubahannya. Ia nampak gesit memainkan gerakan yang tak beraturan seperti mengayun ke kanan dan ke kiri. Di kalangan prajurit pilihan yang berasal dari keraton Djipang, jurus yang tengah dimainkan oleh Kedum itu adalah jurus Ketam Padi. inti gerakannya diambil dari gerakan orang-orang mengetam padi. Tangannya membanting mengangkat, sedangkan kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh serta menendang ke kiri dan ke kanan.

Dua orang yang diserang Kedum tak kalah aneh. Salah seorang diantaranya mereka komat-kamit. Sedangkan seorang dari mereka lainnya mengeluarkan sebuah seruling dan menggunakannya sebagai senjata untuk menyerang Kedum. Suara dari lubang seruling bersuitan sehingga mengganggu pendengaran lawan. Beberapa kali seruling itu nyaris menyentuh kulit Kedum. Sementara seorang lainnya mulutnya terus komat-kamit membaca mantra.

“Lemaslah seluruh tubuhmu, tuan!” Lelaki bersorban yang sedari tadi merapal mantra, tetiba menghardik Kedum. Suara itu sangat keras terdengar di telinga Kedum. Sontak dirasakannya kuda-kudanya melemah seiring dengan perasaan kehilangan tenaga pada seluruh tubuh. Kedum ternyata terpengaruh oleh hardikan lawan.

“Tak mungkin seluruh badanmu lemas, Kedum. Engkau adalah lelaki gagah yang penuh dengan tenaga. Hei engkau lelaki asing bersorban, mengapa engkau justru menyerang kawanku dengan ular berbisa!” Teriakan Arya Belanga segera menyadarkan Kedum. Setelah mendengar suara tuannya itu, rasa lemas lunglai tak lagi dirasakannya. Teriakan Arya Belanga justru kali ini yang mempengaruhi lelaki bersorban yang bersenjatakan seruling. Orang itu tanpa sadar segera melempar seruling yang terbuat dari bambu berwarna kuning itu ke tanah.

“Aih, ternyata tuan bisa menyihir temanku. Apakah benar kami berdua saat ini berhadapan dengan Tuan Arya Belanga?”

“Iya, itu adalah tuanku. Hadapi saja kami orang jahat, mulutmu itu jangan banyak bertanya,” hardik Kedum. Ia segera melompat menendang lelaki bersenjata seruling yang saat itu lengah. Tanpa dapat dihindari, lelaki bersorban itu terkena tendangan Kedum dan pukulan bertubi-tubi hingga ia terlempar lima langkah. Orang itu meregang nyawa setelah sebelumnya muntah darah.

“Hei, jahatmu itu melebihi jahatnya kami, tuan. Terimalah pukulanku ini.” Lelaki bersorban itu segera memukul dengan kedua telapak tangannya. Kedum yang telah bersiap langsung menyambut pukulan lawan dengan jurus bumi.

“Des!” Dua pukulan beradu. Kedum merasakan hawa dingin langsung merasuk ke dalam tubuhnya melalui telapak tangan lawan. Beruntung ia menerima pukulan lawan dengan jurus yang mampu menyedot tenaga musuh itu.

Seketika raut wajah lelaki bersorban pucat. Tenaga dingin yang dilepaskannya melalui pukulan berhawa dingin tak mampu membuat lawannya terluka. Ia bahkan merasa bahwa tenaganya menyentuh sesuatu yang tanpa dasar. Tenaganya tersirap terus ke dalam tubuh lawan, tanpa ia mampu cegah. Sependidih air, Kedum melihat lawannya semakin lemah. Ia segera menghentikan pengaruh jurus bumi dan menendang lawannya dengan jurus ketam padi.

“Buk, prak!” Tubuh tinggi besar itu jatuh bergulingan di tanah. Seluruh tubuhnya kotor oleh debu. Lelaki bersorban itu tak mampu bangun lagi. Keadaan tak jauh berbeda dialami oleh pria bersorban pertama. Keduanya meregang nyawa tanpa meninggalkan cerita tentang kejahatan mereka menyebarkan wabah penyakit.

“Kuburkan mereka, Kedum. Menjadi kewajiban kita untuk mengurusi mayat dua orang ini!” seru Arya Belanga. Untuk memastikan lawannya telah mati, ia terlebih dahulu memeriksa tubuh mereka.

Bergegas Kedum menggali tanah di sekitar tempat itu. Dengan cekatan, ia menggunakan kayu yang dibuat tajam ujungnya untuk melubangi tanah. Sepenanak nasi, lubang untuk menguburkan kedua lelaki bersorban itu telah selesai dibuat. Tanpa banyak bicara Kedum mengangkat mayat lelaki tersebut dan meletakkannya di dalam lubang.

“Aih, aku terlambat. Dua adikku yang malang itu, tewas di tangan orang kampung ini. Ser….ser!” Entah darimana munculnya suara itu, Kedum tak sempat lagi menduganya. Ia yang hendak meletakkan mayat kedua di lubang kubur, tetiba diserang senjata rahasia dari belakang.

“Plak, dar!” Suara ledakan terdengar kencang. Saat itu di tangan Kedum telah terhunus sebatang keris yang baru saja digunakannya untuk menepis senjata rahasia lawannya. Namun ia kecele. Ketika kerisnya membentur senjata rahasia yang dilepas lawan, senjata berbentuk bola besar itu meledak. Serpihan ledakannya menjadi serangan susulan yang menyerang Kedum dari segala penjuru.

Kedum tak sempat lagi menghindar. Sebagai gantinya ia memutar keris di tangannya untuk melindungi dari serpihan senjata. Namun beberapa dari senjata rahasia itu ada yang mengenai tubuhnya. Hawa dingin segera menyerang. Tubuhnya menggigil. Arya Belanga yang berada agak jauh, terkesiap. Lelaki yang memiliki kekuatan batin itu tak sempat menolong abdinya itu. Dilihatnya Kedum terdorong lima langkah ke belakang. Beberapa serpihan dari senjata rahasia lawan membekas di lengan, kaki dan lehernya.

“Hahahaha….. rasakan kau. Tubuhmu baru saja terkena racun yang sulit dicari obatnya. Setimpal sudah dengan perbuatanmu membunuh adik seperguruanku!” Tetiba di tempat itu telah berdiri seorang lelaki bersorban dengan perawakan mirip dengan dua orang yang telah menjadi bangkai itu.

“Hai orang asing. Mengapa kalian meracuni kawula. Mengapa pula kalian memakai jubah dan sorban seperti itu tetapi kelakuan kalian bejat!” Arya Belanga segera menghardik lelaki yang baru saja melukai abdinya itu.

“Untuk menyebarkan kebaikan yang lebih baik, maka berlaku hukum perang. Kita boleh mencelakai orang jika dengan itu kebaikan yang lebih baik itu akan tercapai!”

“Aih, aturan dari mana lagi itu. Engkau jangan mengajarkan ajaran sesat. Cepat minggat dari tanah Ogan, jika masih sayang dengan nyawamu.” Arya Belanga yang penyabar masih memberi kesempatan kepada musuhnya untuk pergi.

“Aduh, gatal!” Tetiba Kedum berteriak kencang. Tubuhnya bergulingan di tanah. Tubuhnya bergulingan tak tentu arah dan justru mendekat ke arah musuh. Kegilaannya akibat pengaruh racun memotong pembicaraan mereka.

Dalam keributan itu, si lelaki bersorban sontak mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Bergegas ia membanting benda yang terbungkus oleh kain hitam itu ke tanah. Seketika benda itu meledak dan menimbulkan asap.

“Kedum, awas!” Arya Belanga segera berkelebat menyambar tubuh Punggawa Kedum yang terancam terkena asap beracun berwarna hitam.

(Bersambung)

Kuy yang suka kisah ini, follow akun penulisnya ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang