Penyamaran

752 37 2
                                    

“Bangkitlah. Ini bukan tempatnya untuk menunjukkan status kita.” Tangan lelaki itu dicekal oleh lawan bicaranya.

“Maafkan aku, Yang Mulia. Apakah gerangan yang membuatmu datang ke sini. Bagaimana khabar berita padepokan Tinggi Panular di Lubuk Rukam?”

“Engkau memang telah lama meninggalkan rumah. Jadi tidak tahu perkembangan padepokan. Semua murid dalam keadaan baik. Ayo, ikutlah aku kita pulang.”

Ajakan itu ditanggapinya dengan bimbang. Raut wajah prajurit telik sandi itu berubah-ubah. Tetapi sesaat kemudian ia menghela nafas dan menganggukkan kepalanya. “Baik, Yang Mulia. Kita pulang sekarangkah. Mengingat besok ada acara besar di Palembang, akankah kita melewatinya?”

“Aku melihat raut keraguan di wajahmu. Aku tahu apa yang tengah engkau kerjakan!”

“Ampunkan aku Yang Mulia Pangeran Arya Mataram. Tidak ada niatku untuk membangkang perintahmu. Jika hari ini aku meninggalkan rumah hal itu semata-mata karena tugasku sebagai prajurit Demak memanggil. Aku terikat Sabda Pandita Ratu, Yang Mulia,” ujarnya sambil menunduk lesu.

“Jangan ajari aku dengan ujar-ujar itu. Aku lebih tahu darimu!” hardik Pangeran Arya Mataram. Suaranya meninggi. Terlihat sekali jika ia kali ini marah besar dengan abdi setia itu.

“Hukumlah aku seberat-beratnya, Yang Mulia. Tetapi apakah jalan yang kutempuh ini salah jika aku diperintahkan trah keturunan raja Demak?”

“Adakah keturunan raja Demak yang lebih memiliki otoritas untuk memberimu perintah selain aku!”

“Ampunkan aku, Yang Mulia. Sabda Pandito Ratu itu adalah engkau Yang Mulia. Tak ada yang paling berhak memberi aku perintah selain dirimu. Tetapi jika engkau tidak memberi perintah, maka keturunan raja Demak lainnya dapat menurunkan Sabda Pandito Ratu-nya terhadapku.”

“Baik, jika itu maumu. Kita urung pulang ke Lubuk Rukam. Hari ini aku tetapkan sabdaku kepadamu, belalah keraton Palembang. Semua tindakan yang telah engkau lakukan untuk mencelakakan Palembang harus engkau tebus dengan menggagalkannya. Itulah Sabda Pandito Ratu untukmu!”

“Injih Yang Mulia. Aku akan kerjakan tugas darimu.” Lelaki itu kembali hendak bersujud, tetapi lagi-lagi tangannya dicekal oleh Pangeran Arya Mataram.

“Segeralah bertindak. Kuperhatikan  engkau baru saja menyusun rencana dengan musuh. Perbaikilah kesalahanmu. Setelah semua ini selesai, menghadaplah kepadaku!”

“Baik Yang Mulia, hamba nyuwun pamit.” Matanya sempat sekilas menyelidik, tetapi ia kemudian mampu menyembunyikan wajahnya dengan menunduk.

Prajurit telik sandi itu segera berlalu dari pandangan. Pangeran Arya Mataram menghembuskan nafas lega. Tak disangkanya tugas berat itu bisa diselesaikan dengan apik. Ia kemudian menempuh arah berlawanan. Baru sependidih, tetiba berkelebat sesosok bayangan. Orang itu menghadang jalannya. Lelaki itu berpakaian mirip dengan Pangeran Arya Mataram, namun memunggunginya.

“Hei, sobat. Siapakah gerangan dirimu yang mengganggu jalanku?” Pangeran Arya Mataram bertanya halus.

“Pertanyaanku sama denganmu. Siapakah engkau yang menyamar sebagai diriku?” Orang itu masih memunggunginya. Sontak lelaki yang terhadang jalannya pucat. Ia telah ketahuan.

“Aih, maafkan aku Yang Mulia. Aku menyamar sebagai dirimu karena keadaan sangat genting.”

“Kau pikir abdi setiaku itu tidak tahu penyamaranmu?”

“Aku berpikiran seperti itu Yang Mulia.”

“Engkau memang masihlah anak-anak yang belum tahu dalamnya laut dan tingginya gunung. Orang itu adalah abdi setiaku yang selama ini bertugas menyusup ke wilayah musuh. Menyamar dan bertukar peran sebagai orang lain adalah keahliannya. Dengan kemampuanmu menyamar seperti ini, bagaimana engkau punya kesombongan untuk menipunya?”

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang