Bersitegang

723 39 1
                                    

Suma Banding terpelanting ke sebelah kanan. Tubuhnya terjerembab lalu bergulingan di tanah. Kaki lawannya seperti tembok baja yang keras sehingga menyebabkan Suma Banding berteriak kesakitan. Jika dilihat dari kerasnya kaki yang beradu itu, pastilah saat itu Suma Banding telah terluka. Sungguh sikapnya yang sembrono telah membuat Suma Banding mendapat pelajaran. Lelaki sepuh bersorban yang kini menjadi lawan Suma Banding itu sungguh tak mengesankan sebagai prajurit pilih tanding. Namun dengan sekali gebrak saja, orang yang disegani di Keraton Palembang itu harus jatuh bergulingan.

Hanya sekedipan mata, Suma Banding terkejut. Dengan sigap prajurit yang telah banyak makan asam garam di medan perang itu tersadar dan segera melompat berdiri. Ia langsung memasang kuda-kuda dan menyeringai menatap lelaki sepuh bersorban.

Dalam pandangan mata batin Suma Banding, orang yang dihadapinya kali ini memiliki ketenangan batin. Sorot mata lelaki sepuh itu terkadang teduh, tetapi terkadang juga menyorot tajam. Sambil menghela nafas perlahan, Suma Banding mulai merasa getir menghadapi lawan. Tak pernah ia merasakan aura sehebat lawan yang tengah dihadapinya ini.

“Jangan engkau merasa di atas angin, Tuan. Salahku tadi terlalu gegabah meremehkanmu. Kesalahan itu harus ku tebus dengan jurusku. Hiyaat!” Suma Banding menerjang lawannya.

Orang yang diserang nampak terlihat tenang. Ia mundur dua langkah ke belakang dan kaki kanannya bergeser cepat ke sisi kiri Suma Banding. Di mata penonton, lelaki sepuh bersorban berusaha menghindari serangan penasehat kerajaan. Tetapi ternyata prakiraan itu salah. Setelah berhasil menghindari pukulan Suma Banding, lelaki itu mendorong kedua tangannya ke setinggi dada. Sekilas ia hanya nampak mendorong sekenanya. Tetapi belum sampai kedua tangan itu menyentuh kulit lawannya, angin pukulan terlebih dahulu membuyarkan serangan Suma Banding.

“Coba hadapi jurusku, Tuan Suma,” suara lelaki sepuh bersorban seperti berbisik di telinga Suma Banding.
Belum sempat menjawab bisikan lawan, Suma Banding kembali disibukkan gerakan yang tak mampu ditebaknya. Jurus-jurus yang dimainkan lelaki sepuh bersorban penuh dengan tipu daya. Tetiba ia menghentikan serangannya. Sesaat Suma Banding dapat bernafas lega.

“Engkau bukan lawanku, Suma Banding. Aku tak ingin melukai orang yang pandai sepertimu. Jika tidak ada jagoan lagi yang mampu melawanku di arena ini, segeralah umumkan kemenangan kami.” Mata lelaki itu menyorot teduh namun mampu menghipnotis semangatnya.

“Mana mungkin aku mengaku kalah hanya dalam hitungan langkah saja, orang tua. Aku akui tadi konsentrasiku buyar karena menyambut tendangan kakimu. Tetapi jangan karena itu engkau merasa besar kepala. Aku belum kalah!”

“Berlutut!” Tetiba lelaki bersorban itu berteriak lantang. Matanya berubah menjadi seram. Aura yang dipancarkannya sangat magis.

Suma Banding tetiba seperti orang yang mengalami tekanan. Seluruh tubuhnya bergetar. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk melawan perintah suara yang dikirimkan oleh lawannya. Kedua kaki Suma Banding perlahan-lahan terdorong ke depan bersiap mengambil posisi berlutut, sedangkan tangannya terbuka seperti orang yang tengah bersiap berlutut.

“Hei, ilmu apa yang engkau gunakan kepadaku. Ini, sihir!” teriak Suma Banding tersadar.

Meskipun telah berupaya agar ia terbebas dari pengaruh sihir, tetapi tekanan yang dikirimkan melalui suara itu amatlah kuat sehingga seluruh kelenjar dalam tubuh Suma Banding berkeringat. Wajahnya yang sebelumnya tenang, kini berubah menjadi orang yang tengah melawan benda tak nampak. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Adipati Arya Karang Widara itu terlihat merapatkan kedua tangannya di dada. Ia berupaya sekuat tenaga melawan pengaruh suara yang menghendakinya berlutut.

“Mengapa engkau belum berlutuh, Suma Banding. Cepatlah kau beri hormat kepada tuanmu ini.” Kembali suara orang tua bersorban itu menggetarkan hati Suma Banding. Kali ini tanpa bisa ia tahan lagi, penasehat kerajaan Palembang yang terkenal banyak akalnya itu menjura hormat kepada lawannya. Dari raut wajahnya nampak jika ia telah terpengaruh dengan ilmu sihir. Tanpa ragu-ragu, Suma Banding berjalan mendekat ke arah lawan.

Melihat orang nomor dua di keraton Palembang itu sedemikian mudahnya diperdaya, lelaki tua bersorban menyunggingkan senyum. Kedatangan Suma Banding ke arahnya menjadi pertanda bahwa sihir yang digunakannya tak mampu ditangkal oleh lawan. Jika saja musuhnya itu demikian mudah ditaklukkan, maka tugas mereka menaklukkan Palembang tentunya akan berjalan dengan mulus pula.

“Hiyat, rasakan jurusku!” Tetiba Suma Banding menyerang lelaki bersorban dengan ganas. Lelaki yang semula merasa di atas angin itu langsung terperanjat. Serangan cepat dan ganas itu tak pernah sama sekali diperhitungkannya. Akibat kelengahannya itu, pukulan tangan kosong Suma Banding mampir di pundak kirinya. Lelaki sepuh bersorban jatuh terjengkang ke belakang. Ia sekarang yang mengaduh kesakitan. Pertarungan hidup dan mati itu berlangsung singkat. Suma Banding yang semula tertekan oleh sihir lawan, tetiba membalikkan keadaan dalam sekejap. Sungguh hal itu tidak bisa diramal oleh penonton yang masih setia menyaksikan adu tarung tersebut.

Melihat keadaan berbalik, tiga orang lelaki bersorban melompat ke arena. Mereka membawa rekannya yang terluka akibat pukulan Suma Banding. Dengan cekatan, kelompok lelaki bersorban menghilang di balik keramaian penonton.

“Engkau ternyata sungguh orang tua yang sarat pengalaman, Suma Banding. Bagaimana bisa pengikutku yang telah menguasai separuh lebih kepandaianku bisa engkau perdayai?” Tetiba di hadapan Suma Banding telah berdiri kakek bersorban. Janggutnya sudah memutih. Tetapi tubuhnya masih tegap berdiri. Wajah kakek bersorban ini tak mampu dibaca oleh Suma Banding. Roman wajahnya datar. Ia membawa sebuah kipas berbahan besi.

“Siapa lagi engkau ini, Tuan. Sedari tadi aku tidak pernah melihatmu ada di sekitar arena. Apa hubunganmu dengan para lelaki bersorban?” Suma Banding tak mampu menahan penasarannya.

“Aku adalah pemimpin mereka. Lelaki bersorban yang engkau sebut tadi adalah adik seperguruanku. Namaku San Bayni. Orang-orang lebih suka memanggilku Mpu Bayan. Seperti mereka, aku datang ke Palembang ini mewakili kerajaan Malaka. Bagaimana caramu tadi melepaskan pengaruh sihir?” tanyanya.

Suma Banding seperti tak menghiraukan pertanyaan lawan. Ia justru yang balik bertanya dengan kakek bersorban.

“Apakah engkau juga ingin kami melanjutkan pertarungan ini?”

“Engkau sepertinya salah duga, Tuan. Kami tidak melarang pertandingan dihentikan. Yang kami minta adalah kalian mengumumkan bahwa Malaka yang menjadi pemenangan adu tarung.”

“Kalau kami tidak mau?” Suma Banding memotong perkataan musuhnya dengan tanya.

“Kalian harus menghadapi ampuhnya jurusku. Lihat serangan!” Mpu Bayan tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya mengibas-ngibaskan kipas besi di tangannya.

Suma Banding yang telah memasang kuda-kuda kecele. Lawannya ternyata tidak menyerangnya. Ia hanya terus mengibaskan kipas besi. Setiap kibasan itu menimbulkan suara melengking. Suma Banding tak sadar jika itulah sejatinya serangan lawan.

Tetiba telinga penasehat kerajaan itu dipenuhi dengan suara bising. Setiap kibasan kipas semakin menambah suara bising di telinganya. Saat itu ia baru tersadar jika lawan menyerangnya melalui suara. Suma Banding langsung menutup telingannya dengan kedua tangan. Sayangnya tindakan itu sedikit terlambat. Dari sela-sela jari yang menempel di telinga, nampak menetes darah segar.

“Aih. Ilmu siluman apakah ini. Mengapa semangatku seperti terhempas ke tempat yang jauh,” Suma Banding bergumam sendiri. Ia yang masih berusaha mengatasi pengaruh suara kipas, tidak menyadari jika lawannya telah menghentikan kibasan kipas. Suma Banding belum sadar jika kipas besi itu kini mengarah kepalanya. Penonton yang menyaksikan pertandingan bergumam kencang.

(Bersambung)

Apa yang akan terjadi selanjutnya. Baca kisahnya besok ya. Jangan lupa follow akun penulisnya ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang