Padepokan Tinggi Panular

1K 48 0
                                    

Sebagai kerajaan baru, Palembang di bawah kepemimpinan Ki Gede Ing Suro tidak mau membangun konflik dengan negara tetangga. Sistem pemerintahan yang dibangunnya melibatkan peran serta masyarakat dalam pemerintahan. Salah satunya dengan cara memanggil para pemuda untuk mengabdi kepada keraton menjadi prajurit.

Panggilan menjadi prajurit itu pun bukanlah panggilan paksa. Setelah melakukan pertemuan dengan seluruh pemimpin di daerah bawahan, barulah disepakati masing-masing daerah mengirimkan pemudanya untuk ditempa menjadi prajurit. Sistem pemerintahan yang diberlakukan adalah memperlakukan daerah-daerah sebagai bagian dari kerabat keraton.

Ki Gede Ing Suro mencari dukungan dari pemimpin-pemimpin daerah dengan mengesahkan kekuasaan mereka. Keraton Palembang melakukan pendekatan tanpa jalan kekerasan. Untuk memimpin daerah-daerah pendukung, diberlakukan sistem pemerintahan dengan mengesahkan jabatan-jabatan Depati. Hal itu merujuk kepada sistem pemerintahan di Pulau Jawa. Daerah-daerah pendukung dipimpin oleh seorang Adipati yang kekuasaannya meliputi wilayah kadipaten.

Namun mengingat penduduk di Palembang dan sekitarnya tidak sepadat di wilayah Jawa, maka keraton Palembang membuka daerah baru dengan menunjuk tokoh masyarakat setempat atau memberikannya kepada para pejabat keraton Palembang yang telah berjasa. Daerah baru itu adalah berstatus tanah perdikan sementara. Selama belum bisa mengelola kekayaan daerahnya sendiri, maka Depati di daerah baru tidak diwajibkan membayar pajak atau upeti. Raja bahkan membantu agar daerah baru itu bisa cepat mandiri.

Sore itu, di pinggiran sungai Ogan, Arya Belanga terlihat mengajar di padepokan Tinggi Panular. Banyak pemuda mondok di sana. Mereka belajar ilmu agama dan baca tulis Al-Qur’an. Beberapa orang yang berbakat termasuk kerabat dari Djipang belajar aksara Jawa. Sebagian lainnya belajar beladiri. Padepokan Tinggi Panular tak mengkhususkan murid-muridnya belajar baca tulis, sehingga dalam perkembangannya banyak murid yang memilih belajar beladiri.

Di padepokan itu terlihat seorang pemuda tengah mengawasi latih tanding. Ia adalah anak laki-laki Arya Belanga yang bernama Raden Sabtu Panular. Orang-orang memanggilnya dengan nama depannya, Raden Sabtu. Ia mendapat tugas khusus dari Ki Gede Ing Suro untuk memilih anak-anak muda yang berbakat dalam hal beladiri. Kendati usia Raden Sabtu masih sangat belia, namun ia sangat berbakat dalam mengatur pemerintahan. Ia juga memiliki wawasan yang luas. Bahkan Raden Sabtu lebih tertarik membaca buku tentang bagaimana mengatur pemerintahan ketimbang belajar ilmu silat.

Wawasannya di bidang pemerintahan itu membuatnya kerap dipanggil menghadap oleh raja Palembang. Ia diminta untuk memperbaharui aturan-aturan yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat. Piyagem Pangeran ing Djipang yang berlaku sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan, dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hukum adat  baik yang tertulis maupun tidak tertulis agar mendapat dukungan dari masyarakat.

Upaya memperkuat keraton dengan membuka daerah baru dan memberikan tanah perdikan sementara itu juga berasal dari usulannya. Jika tanah perdikan di Pulau Jawa hanya diberikan kepada anggota keluarga yang berjasa saja, namun keraton Palembang justru mendorong terbukanya daerah-daerah baru dengan memberikan konsep tanah perdikan. Tujuannya agar tercipta penyebaran penduduk di seluruh wilayah keraton Palembang.

Mereka yang terpilih atas usulan masyarakat disahkan menyandang jabatan Depati. Ia akan bertindak sebagai kepala Marga yang membawahi beberapa kampung sekitar. Sedangkan di beberapa daerah baru yang belum banyak penduduknya, ditunjuk salah satu kerabat keraton yang kemudian diberi pangkat pangeran untuk memimpin wilayah tersebut. Masa pemerintahan Depati hanya untuk dua kali masa jabatan, sedangkan pangeran dapat menjabat hingga lima periode jabatan.

Selain itu, keraton Palembang di bawah pimpinan Ki Gede Ing Suro juga mengikat kekerabatan dengan melakukan pernikahan antara kerabat dan abdi keraton dengan anggota keluarga penguasa di daerah. Oleh karena itu, dalam waktu singkat keraton Palembang telah memiliki sekutu dari wilayah-wilayah besar di sepanjang aliran Sungai Musi. Siasat mengikat kekerabatan dengan hubungan perkawinan itu sangat efektif. Dalam waktu dekat hampir seluruh daerah bawahan keraton Palembang adalah sanak keluarga sendiri.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora