Tamu istana

846 46 0
                                    

“Tolong hormati masjid. Jangan membuat onar di sini!” seru Raden Sabtu geram. Mendengar teguran halus itu, dua orang musafir bercambang lebat yang tengah tersulut emosinya itu itu menoleh ke arahnya.

“Tak mungkin kami membuat onar di sini. Kami hanyalah dua orang musafir yang ingin bersembahyang. Lelaki itu yang tak tahu tata karma. Kami bukanlah gembel yang membawa najis. Tak terima kami dengan mulut besarnya itu!”

“Aku hanya mengingatkan. Bersucilah dahulu, bersihkanlah badan kalian yang berdebu,” Lelaki pengurus masjid itu suaranya terdengar melunak.

“Nah, nah. Ini cuma salah paham. Janganlah persoalan sepele ini merusak ukuwah Islamiyah kita. Ayo, tuan berdua, benar apa yang disampaikan pria itu. Bersucilah dahulu sebelum masuk ke dalam masjid. Kalian antarkan dua tamu kita ini ke tempat berwudhu di luar sana,” ujar Depati Santun sekaligus memberi perintah kepada murid padepokan untuk mengantar dua musafir itu. Suara Depati Santun yang lemah lembut akhirnya dapat meredakan ketegangan.

“Baiklah, kami menurut saranmu!”

Mereka menolak diantarkan oleh murid padepokan. Tanpa bicara lagi keduanya berjalan sendiri ke luar. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya mereka lenyap di balik pintu masjid yang bertiang kayu bulat itu. Raden Sabtu menghela nafas panjang. Sudah cukup ketegangan yang dialaminya hari itu. Beruntung kesalahpahaman itu tak berlanjut.

“Payu, kito menghadap ke istana,” tukas Depati Huni.

Raden Sabtu dan rombongan kemudian berjalan kaki ke istana Kuto Gawang yang berada tak jauh dari Masjid Agung. Memasuki areal keraton, mereka langsung disambut oleh prajurit jaga. Pimpinan prajurit yang mengenali siapa tamu yang datang segera menyambut kedatangan mereka dengan salam hormat.

“Selamat datang, Raden Sabtu. Selamat datang para Depati yang terhormat. Ayo, aku antar ke dalam.”

“Terimakasih prajurit.” Depati Masyhur menjawab salam prajurit itu. Mereka mengekor di belakang dan baru berhenti di sebuah regol yang memang diperuntukkan untuk menerima tamu. Pimpinan prajurit itu mengantarkan mereka bertemu abdi dalem yang bertugas di regol tamu, selanjutnya meninggalkan mereka di sana.

“Silakan, Raden. Silakan beristirahat dan membersihkan badan terlebih dahulu. Kami akan segera siapkan makanan.” Abdi dalem itu membawa serta tiga orang bawahannya yang kemudian melayani kebutuhan mereka.

Regol itu cukup besar disertai dengan ruang terbuka yang cukup untuk melakukan pertemuan dengan lima ratus orang. Kursi-kursi berbahan kayu jati berukiran tersusun rapi. Sedangkan di depannya terdapat sebuah singgasana dengan kursi kebesaran. Di sanalah Ki Gede Ing Suro kerap menerima tamu yang berasal dari kerabatnya. Di istana Kuto Gawang, regol ini bukanlah regol utama. Jika menerima tamu dari luar, raja Palembang itu melakukan pertemuan di paseban yang terletak di Utara keraton. Paseban utama itu mampu menampung tiga ribu orang. Sehari-hari jika tidak digunakan, prajurit keraton menggunakan paseban utama sebagai salah satu tempat untuk berlatih.

Adzan magrib berkumandang. Mereka menunaikan sholat di mushala yang berada di dalam lingkungan keraton. Beberapa kerabat keraton nampak menyalami Raden Sabtu. Mereka  kagum dengan ketampanan paras lelaki keturunan raja-raja Demak itu. Ya, para kerabat keraton mayoritas adalah kerabat keraton Djipang yang ikut dalam pelarian bersama Pangeran Arya Mataram. Beberapa diantara mereka adalah kerabat yang kemudian menyusul datang. Mereka sebelumnya mengungsi di berbagai tempat di seputaran Ampel Delta, Lasem dan Purabaya. Para kerabat keraton menunduk takzim dengan pemuda yang baru berusia belasan tahun itu.

Ki Gede Ing Suro menerima kedatangan Raden Sabtu dan rombongan setelah sholat isya. Mereka diundang makan malam di lingkungan keraton dalem. Kerabat keraton Djipang yang pernah menjadi abdi dalem berpangkat punggawa itu memeluk Raden Sabtu dengan hangat. Ia juga menyalami para Depati yang ikut hadir dalam acara jamuan makan malam itu. Murid-murid padepokan Tinggi Panular juga ikut serta sehingga suasana malam itu berlangsung dengan sukacita.

“Bagaimana khabar Yang Mulia Pangeran Arya Mataram, Ngger. Adakah beliau berkenan menghadiri undanganku purnama ke depan?” tanya Ki Gede Ing Suro.

“Alhamdulillah beliau sehat wal afiat, Yang Mulia. Ayah berkenan datang ke Palembang setelah para Depati menyampaikan surat dari Yang Mulia,” jawab Raden Sabtu.

“Bagaimana  perjalanan kalian. Aku mendapat laporan bahwa saat ini bumi Palembang banyak didatangi oleh orang-orang asing berprilaku  aneh. Adakah perjalanan kalian terganggu?”

“Itulah salah satu hal yang hendak kami laporkan, Yang Mulia. Hampir saja kami tidak sampai ke sini, jika tidak mendapat pertolongan dari Raden Gatra dan gurunya. Perjalanan kami dihadang oleh orang-orang bercadar dan memiliki kepandaian sihir.” Raden Sabtu kemudian menceritakan penghadangan yang mereka alami. Ia juga menyampaikan tentang adanya utusan Banten yang dikawal oleh orang-orang bersorban dan berhidung mancung. Raden Sabtu curiga bahwa penghadangnya itu ada hubungannya dengan cerita yang disampaikan oleh Yai Belingis itu.

“Aih, kita harus memperketat penjagaan di dalam istana. Prajurit segera panggilakan Suma Banding kesini.” Ki Gede Ing Suro terkejut mendengar adanya upaya membuat kekacauan di Palembang. Ia segera memanggil penasehat kerajaan Suma Banding.

Dengan tergopoh-gopoh, Suma Banding masuk ke dalam regol paseban. Meski sudah berusia cukup lanjut, petinggi keraton Palembang itu memiliki tubuh yang bugar. Ia selalu menjaga kebugaran tubuhnya dengan rutin berlatih dengan beberapa pimpinan prajurit khusus pengawal raja.

“Nuwun sewu, Yang Mulia. Apakah yang membuat Yang Mulia gusar?” Suma Banding melepas tanya memecah keheningan.

“Kita kedatangan tamu-tamu yang bermaksud tidak baik, Suma Banding. Raden Sabtu dan rombongan telah merasakan niat buruk orang-orang itu yang menghadang perjalanan mereka di muara sungai Ogan. Adakah engkau mendapatkan berita dari para telik sandi?”

“Maafkan saya, Yang Mulia. Beberapa waktu lalu memang para telik sandi melaporkan adanya rombongan yang mengajak serta orang-orang asing bertubuh tinggi besar dan berhidung mancung. Mereka mengenakan sorban dan jumlahnya belasan orang. Aku telah memerintahkan kepada para telik sandi untuk mengawasi mereka, tetapi hingga hari ini belum ada laporan tentang kegiatan mencurigakan yang dilakukan rombongan tersebut.”

“Perintahkan agar menambah para telik sandi untuk disebar di seantero kotaraja. Jangan sampai kita kecolongan. Penghadangan Raden Sabtu menjadi bukti bahwa pergerakan mereka tak sanggup dikenali oleh para telik sandi. Aku ingin besok malam ini engkau mengumpulkan para telik sandi dan memberi perintah khusus kepada mereka untuk memperketat pengawasan terhadap orang-orang asing itu.”

“Sendiko dawuh, Yang Mulia.”

Suma Banding kemudian mengundurkan diri dari jamuan makan malam itu. Sebelum pamit ia menyempatkan diri untuk memeluk Raden Sabtu. Ketika Raden Sabtu masih belia, penasehan keraton Palembang itu kerap bermain dengannya di Lubuk Rukam. Ia memang kerap bolak-balik mengunjungi Pangeran Arya Mataram di tempat pengungsiannya di pinggiran sungai Ogan tersebut.

Sepenanak nasi, lima puluh telik sandi pilihan telah berkumpul di selasar regol paseban utama. Suma Banding langsung memimpin pertemuan dengan memberikan perintah khusus untuk mengawasi orang-orang bersorban yang dicurigai akan membuat keonaran di kotaraja. Selain bertugas sebagai penasehat raja, Suma Banding memiliki gugus tugas sandi. Ia yang berpengalaman sebagai perwira sandi mengepalai prajurit sandi pilihan yang bekerja langsung di bawah perintah raja. Keberadaan prajurit sandi itu terpelihara kerahasiaannya. Mereka bergabung dengan masyarakat biasa dan melakukan aktivitas sebagaimana rakyat biasa.

“Kalian pusatkanlah kegiatan keseharian di seputaran rombongan orang-orang bersorban itu menginap. Catat secara mendalam kegiatan mereka, jangan ada satu pun yang luput. Segera laporkan langsung kepadaku atau kepada baginda raja jika kalian mendapatkan berita yang sangat penting sekali.” Suma Banding memberi perintah.

“Hei, siapa kalian. Jangan mengacau di istana jika tidak ingin kepala kalian pisah dari badan!” Teriakan prajurit jaga terdengar hingga tempat telik sandi berkumpul. Belum sempat mereka mengetahui apa yang terjadi, tetiba masuk ke tempat pertemuan dua orang pria musafir dengan cambang dan brewok yang tak terurus. Mereka berkelebat cepat meninggalkan prajurit jaga yang mengejar di belakangnya.

“Berhenti, siapa kalian. Beraninya mengacau di dalam istana!” Hardik Suma Banding dengan suara keras.

(Bersambung)

Jangan lupa follow akunnya, like and comment ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now