Obat segala racun

907 59 6
                                    

Raden Gatra menceburkan diri ke dalam air beracun. Kepalanya bahkan dicelupkannya hingga ia tenggelam di tempayan besar. Mimi Aisyah kemudian bermaksud menarik tubuh cucunya itu dari dalam tempayan. Tetapi, suaminya dengan isyarat tangan melarangnya. Ia kemudian mengurungkan niatnya menyelamatkan Raden Gatra dari rendaman air beracun. Sebagai gantinya ia hanya berjaga di dekat perapian.

“Byur, Mimi…., segar!” Raden Gatra muncul dari dalam tempayan. Ia kelihatannya baik-baik saja. Air beracun di dalam tempayan sepertinya tidak mampu meracuni tubuhnya.

“Hei…., lihat aneh sekali air tempayan ini. Tadi berwarna hitam pekat. Sekarang berubah menjadi bening kembali.” Mimi Aisyah bergumam dengan suara kencang. Pangeran Arya Mataram kemudian menghampiri tempayan dan menyaksikan sendiri bahwa air telah kembali normal. Putih, bening. Ia segera memeriksa air di tempayan dengan mencelupkan tangannya. Tak ada bau amis menyengat di sana. Sisa racun yang keluar dari tubuh Nyai Derimas seperti raib ditelan bumi.

“Kalau tidak salah penglihatanku ini, sisa racun di air dalam tempayan diserap habis oleh tubuh Raden Gatra. Tubuhnya berfungsi menetralisir racun. Ini pasti ada hubungannya dengan jamur yang dikonsumsi orang tuanya ketika terjebak di gua Sembilang. Luar biasa, ternyata khasiat jamur itu melekat di tubuh cucuku ini hingga tubuhnya berkhasiat sebagai penawar racun. Subhanallah, Allah Maha Kuasa atas umat-Nya!” Pangeran Arya Mataram mengelus janggutnya sambil menengadahkan tangannya ke atas. Mulutnya komat-kamit berdoa, memuji kebesaran Sang Maha Pencipta.

“Eh, jadi selama ini sia-sia aku mengobati istriku dengan kodok hijau. Dan ternyata obat untuk penawar racun itu berada sepanjang hari bersama kami. Ai, kalu aku tau cak itu, dak jauh-jauh kami balek ke Palembang untuk nyari obat. Payu muridku Raden Gatra, peluk dulu guru kamu yang belagak ini!” Orang tua cebol bernama Belingis itu langsung memanggil muridnya mendekat. Dengan masih menggunakan pakaian basah, Raden Gatra menyambut uluran tangan gurunya. Dua orang guru dan murid itu tertawa terbahak-bahak sambil menari dan berjingkrakan sehingga suasana menjadi riuh rendah. Mereka berdua seperti tak menghiraukan orang lain berada di sana. Pangeran Arya Mataram dan Mimi Aisyah hanya melongo melihat kelakuan ganjil cucu keponakannya tersebut.

“Berhentilah kalian tertawa dan menari seperti orang gila, hai orang cebol dan anak murid gendeng. Dari tadi kalian tidak ada yang mengkhawatirkan kesehatanku. Coba kau kemari muridku. Periksa luka dalamku ini. Kalau saja aku tahu muridku ini bisa menjadi penawar racun, tak akan mau aku buru-buru pergi dari Malaka!” Nyai Derimas yang sudah berganti pakaian tetiba menghentikan aksi konyol guru dan murid itu. Raden Gatra langsung menghampiri gurunya. Tanpa sungkan anak kecil berusia sepuluh tahun itu menyingkapkan kaki kanan Nyai Derimas yang terkena pukulan beracun. Luka yang tadinya hitam legam itu telah mengempis. Warna hitam masih terlihat di sekitar luka. Obat penawar racun yang diberikan oleh Pangeran Arya Mataram telah menghilangkan pengaruh ganas racun, tetapi belum seratus persen menyembuhkan lukanya.

“Aku dak ngerti Nyai, cak mano caro ngobati kamu. Biar aku cocop bae yo, luko di betis Nyai ini!” Tanpa meminta persetujuan Raden Gatra menghisap luka di kaki Nyai Derimas. Ia kemudian memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya. Tindakan itu diulanginya beberapa kali sampai warna darah yang disedotnya berwarna merah.

“Nah, warno darah Nyai la merah lagi. Itu artinyo luko beracun ini sudah sembuh nian. Hore, aku minta upah Nyai.” Raden Gatra meloncat kegirangan. Dengan bersungut Nyai Derimas mencoba menggerak-gerakkan kakinya tanpa kesulitan. Sumringah ia merasakan kesembuhan. Lalu dengan mata melotot ia bicara dengan Raden Gatra.

“Payu budak murid gilo. Kamu naiklah dewek ke punggung aku. Kito berangkat sekarang.” Belum selesai Nyai Derimas bicara, Raden Gatra sudah bergelayutan di pundaknya. Nyai Derimas menggendong muridnya itu dengan wajah masih bersungut-sungut.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang