Diserang

948 44 1
                                    

Raden Sabtu bersama lima orang Depati dan murid padepokan terpilih berangkat pagi-pagi sekali. Seusai menunaikan sholat subuh, mereka bertolak ke dermaga. Lima ekor kuda pilihan yang semula ditunggangi para Depati ditinggalkan di padepokan. Depati Santun menyarankan agar perjalanan mereka menggunakan jalan air saja. Melintasi jalan darat beresiko bertemu hewan buas.

Perahu lesung bertiang tunggal melepas sauh di dermaga.  Beberapa murid padepokan yang mengantar kepergian mereka melambaikan tangan tanda perpisahan. Sungai Ogan jernih airnya ketika musim kemarau. Beberapa hewan penghuni sungai nampak jelas terlihat hilir mudik di bawah perahu menambah indah suasana sungai di pagi hari.

Matahari yang baru terbit, sinarnya menyilaukan mata. Pagi langsung menyeruak seolah sudah membuat janji dengan matahari yang muncul tanpa malu-malu. Tetes embun masih terlihat bergelayutan di batang pohon yang tumbuh liar di sepanjang sungai. Raden Sabtu berdiri di buritan perahu memandang keindahan alam sambil tak henti mengucap syukur.

“Raden Sabtu, tidakkah menurutmu apa yang sudah direncanakan oleh Yang Mulia Ki Gede Ing Suro untuk mengundang para orang sakti mengadu kepandaian di keraton Palembang terlalu berlebihan. Aku kurang sepakat dengan politik menonjolkan diri seperti itu. Dalamnya laut masih bisa diselami, tetapi dalamnya keinginan orang yang berada di dalam hati, siapakah yang bisa mengetahuinya?” Depati Huni yang terkenal kritis tetiba muncul di belakangnya.

“Aih kiranya Depati Huni yang bertanya. Aku tak mungkin memiliki pandangan yang berbeda dengan Paman Gede Ing Suro. Tetapi anggapan bahwa membuat sayembara adu tanding itu memang tidaklah tepat secara pemerintahan. Tetapi hal itu menjadi wajib karena tradisi itu sudah menjadi budaya orang Melayu memperkenalkan diri salah satunya lewat adu pencak. Paman Gede Ing Suro terlihat ingin mengedepankan budaya Melayu dalam hal memperkenalkan diri kepada negeri tetangga,” ujar Raden Sabtu.

“Ah, umurmu yang masih sedemikian muda ini, bagaimana mungkin pemikiranmu begitu luas. Aku kagum denganmu, Raden. Sebelumnya aku hanya melihat bahwa adu tanding ini hanya akan jadi ajang pamer kesaktian saja. Tetapi, engkau dengan mudah dapat menebak alasan apa kiranya yang melatarbelakangi kebijakan keraton Palembang itu.” Depati Huni tersenyum simpul. Ia seperti tercerahkan saat berbicara dengan orang yang pantas menjadi anaknya itu.

“Aih, paman. Aku tidak sepandai apa yang engkau kira. Kebetulan aku cukup paham cara berpikir raja Palembang. Jika saja aku tidak mengenal Paman Gede Suro, mungkin aku juga punya pemikiran sepertimu.” Raden Sabtu merasa tak enak mendapat pujian.

“Ah, engkau sudah pandai, ternyata juga pandai merendah, Raden. Pemikiran orang sepertimu inilah yang dibutuhkan Palembang untuk menata pemerintahan. Aku sendiri nanti yang akan bicara dengan Yang Mulia agar memintakan jabatan khusus buatmu di Palembang.”

“Jangan paman. Biarlah aku mendampingi ayahku di Lubuk Rukam. Ilmuku belum banyak. Masih banyak hal yang perlu aku pelajari dari ayah.”

“Ya, Raden. Tetapi setidaknya engkau menjadi salah satu tim perumus yang bertugas menyusun tata kelola pemerintahan di Palembang. Aku yakin dengan ikut andilnya pikiranmu, mka peraturan yang dibuat akan lebih baik lagi.”

Kedua orang yang berlatar belakang usia yang berbeda itu ngobrol tentang banyak hal, khususnya soal pemerintahan. Depati Huni makin takjub mendengar ide-ide Raden Sabtu akan Palembang di masa mendatang. Bagaimana Raden Sabtu memaparkan betapa strategisnya jalur sutera Malaka.

“Jalur perdagangan sutera di Malaka telah mengundang tamu-tamu bermata biru, bangsa Portugis. Mereka tidak saja datang berdagang tapi menguasai Malaka. Raja-raja pendahulu di Kerajaan Demak hanya berhasil mengusir Portugis dari Jayakarta, tetapi gagal mengusir mereka dari Malaka. Kini, di bumi Palembang ancaman orang-orang bermata biru itu masih terasa lewat armada maritim mereka yang suka berpatroli di jalur sutera Malaka.” Raden Sabtu dengan mudah dapat menjelaskan peranan Portugis di Malaka.
Ya, jejak Portugis di Nusantara terlihat di Maluku. Mereka mencari rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Kapal perangnya dilengkapi meriam dan bedil sehingga senjata milik prajurit Jawa dan Sumatera kalah canggih. Orang-orang bermata biru Portugis sangat mahir menggunakan senjata mesiu. Raden Sabtu mengetahui kisah tentang Portugis dari tutur Pangeran Arya Mataram.
Tak terasa malam menyergap perahu lesung bertiang layar telah masuk perairan Sungai Musi. Perjalanan sekira sepertiga lagi tiba. Raden Sabtu melihat ada perahu nelayan mendekat dari kejauhan. Awalnya ia tak menaruh curiga dengan perahu yang didayung perlahan itu. Namun seseorang mendayung perahu terlihat melemparkan sesuatu benda ke perahu yang ditumpanginya.

“Hati-hati kita diserang musuh!” Raden Sabtu berupaya menangkis benda yang dilempar ke perahu. Benda berbentuk bungkusan putih kecil itu meledak dan menimbulkan asap. Raden Sabtu yang miskin pengalaman terjebak. Benda itu berisi racun asap. Ia yang berada di buritan kapal tak sempat menahan nafas sehingga menghirup asap beracun. Kepalanya terasa berat dan ia langsung tak sadarkan diri.

Para Depati yang terlatih segera melolos senjata. Mereka menahan nafas dan bersiap menghadapi serangan berikutnya. Perahu nelayan yang melempar bom asap telah menjauh dari perahu yang ditumpangi mereka. Sependidih air, tak ada lagi serangan yang datang. Murid padepokan yang ikut menumpang di perahu segera memeriksa kondisi Raden Sabtu.

“Raden Sabtu terkena asap beracun. Jika tidak diobati, maka nyawanya bisa terancam. Ayo, kita bersandar di depan sana. Kita perlu segera mencari tabib.” Depati Santun memberi petunjuk.
Dengan cekatan para murid padepokan mengarahkan layar ke pinggir sungai. Kalau tak salah hitungan Depati Santun, mereka saat ini sudah hampir tiba di penghujung hilir sungai Komering. Tak ada siapa-siapa di dermaga kecil tempat perahu mereka sandar. Dermaga itu  sepertinya sudah lama tidak digunakan lagi oleh nelayan.

“Suuuts, trang, trang.” Tetiba meluncur senjata rahasia menyerang mereka. Dengan sigap Depati Rengkaling menggerakkan senjata di tangannya. Suara benda logam nyaring terdengar. Paku-paku beracun jatuh di tanah.

Beberapa orang bercadar melompat menyerang penghuni perahu yang belum sempurna merapat ke dermaga. Melihat gelagat tak baik, perahu urung disandarkan di dermaga. Depati Huni mengerahkan tenaganya untuk mendorong perahu kembali ke sisi lain sungai.

Dilihatnya belasan orang bercadar melompat dari pohon dan semak perdu di pinggiran sungai. Beruntung mereka segera menyadari betapa bahaya mengintai. Depati Masyhur segera menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Depati Sabtu. Ia menotok di beberapa bagian tubuh anak muda itu.

“Kita harus segera mencari pertolongan. Aku khawatir tubuh Raden Sabtu tak mampu menahan ganasnya asap racun. Saat ini aku telah memperlambat penyebaran racun di tubuhnya. Arahkan perahu terus berlayar ke Palembang. Sepertinya musuh memang sudah mengintai kita sejak lama. Semua bersiaga, jangan lengah.” Depati Masyhur kali ini memberi perintah.

“Mereka mengejar kita. Bersiap. Lihat ke belakang!” Depati Rengkaling memberi peringatan. Ia kembali melolos keris dari pinggangnya. Nampak lima perahu nelayan mengejar laju perahu lesung yang ditumpangi mereka.

Aksi kejar-kejaran perahu di hilir Sungai Komering itu mewarnai subuh yang masih gelap. Penumpang perahu lesung yang merupakan orang-orang pilihan membantu dengan mengerahkan tenaganya untuk mempercepat laju perahu. Akibatnya perahu pengejar belum juga mampu mendekati mereka. Hingga pagi menjelang, perahu kecil yang mengejar semakin jauh tertinggal di belakang. Mereka hampir tiba di kawasan Sungai Gerong.

Tetiba ombak di muara sungai Komering membesar. Seketika perahu oleng seperti dipermainkan air. Entah tenaga apa yang bisa menggerakkan air di sungai sehingga menimbulkan gelombang seperti itu. Tetiba di depan mereka muncul dari dalam sungai seekor hewan ikan raksasa yang baru saja menggoyang perahu. Di atas tubuh ikan itu duduk seorang pria bersorban seperti mengendarai seekor kuda.

“Jangan terpengaruh, kita sedang dipermainkan oleh ilmu sihir!” Depati Santun yang bermata awas segera mengenali jika mereka tengah menghadapi orang yang memiliki ilmu sihir hebat.

“Menyerahlah kalian. Jika tidak ingin melihat ikan ini mengamuk!” Orang itu mengeluarkan gertakan memgancam.

“Tutup mata kalian!” Perintah Depati Santun.

(Bersambung)

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang