Pesanggrahan Kawedar

1.9K 71 4
                                    


“Assalamualaikum Eyang Kyai. Aku cucumu Wulan izin silaturohim.”

Putri Retno Wulan menarik tangannya untuk ikut duduk bersimpuh di depan sebuah bangunan yang paling besar di pesanggrahan itu. Tak lama terdengar suara orang batuk dari dalam. Ketika sosok itu muncul di hadapan keduanya, ia mengenakan baju Jawa dan blankon menghiasi kepalanya. Kumisnya yang tebal itu telah berubah warna menjadi putih. Meskipun terlihat sepuh, namun pria yang disapai Raden Said itu masih terlihat gagah dan sehat.

“Wa alaikum salam, cucuku. Siapakah gerangan pria berkulit kuning yang datang bersamamu. Sepertinya aku belum pernah melihat dia datang ke sini. Ayo duduk di meja petilasan di depan sana. Janganlah berlama-lama engkau duduk bersimpuh seperti itu.” Suaranya sangat tenang dan mengandung kewibawaan.

“Maaf Eyang, pria ini temanku, namanya Wirayudha. Ia pelajar yang baru datang ke Tuban untuk mencari ilmu pengetahuan.”

Sorot mata orang disapa Eyang Kyai itu tajam menerawang. Selanjutnya ia nampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Subhanallah cucuku, sungguh banyak sekali aral merintang di depanmu. Ayo lekas ikuti aku ke petilasan!”

Di petilasan itu duduk Eyang Kyai, Raden Kuning dan Putri Retno Wulan. Dengan isyarat tanggannya, Eyang Kyai meminta Wuwu mundur ke belakang. Kini dua lelaki berbeda zaman itu saling berhadapan. Sorot mata Eyang Kyai yang tajam seolah menusuk ke dalam sanubari Raden Kuning. Kendati ingin sekali ia menundukkan kepala, tetapi tatap mata itu seolah menghipnotis kesadarannya sehingga tak mampu ia menggerakkan kepala.

“Aku melihat engkau dalam seribu bentuk. Saat ini bentukmu jauh dari kepribadian sebenarnya. Mengapa engkau bersembunyi cucuku.” Eyang Kyai memegang nadinya dan seketika ia kaget. Denyut  nadi Raden Kuning menolak kehadiran benda asing. “Aih kau rupanya…., Lir i lir!” Eyang Kyai sontak kaget. Sekilas diliriknya cucu muridnya Wuwu. Kemudian ia meneruskan perkataannya. “Engkau sepertinya berjodoh denganku, cucu. Tetapi ada satu syarat yang harus engkau penuhi.”

“Nuwun sewu Eyang. Benarkah semua perkataan Eyang. Apa syarat yang harus aku penuhi?” Raden Kuning bertanya sambil membungkukkan pundaknya.

Eyang Kyai memalingkan pandangannya ke Putri Wulan. Dengan isyarat ia meminta cucu muridnya itu untuk pergi meninggalkan petilasan. Wuwu paham sekali jika Eyangnya seperti itu artinya ia tidak ingin diganggu. Wuwu kemudian menunduk hormat dan beringsut meninggalkan mereka berdua.

“Nadimu menolak kehadiranku tadi. Sepertinya engkau terbalik menafsirkan kidung Lir i lir yang diturunkan oleh Kakanda Sunan Ampel kepada Raden Fatah. Tidak perlu engkau bercerita, aku tahu asalmu dari Djipang dan engkau pastilah kerabat dekat Arya Penangsang. Hanya orang pilihan saja yang belajar ilmu sangkan paraning dumadi. Kau terkunci, Lir ilir....!”

Eyang Kyai lagi-lagi menghembuskan nafas beratnya. Raden Kuning hanya terdiam. Tak sanggup ia menjawab perkataan pria sepuh yang dihormati umat ini. Apa yang disampaikan olehnya semuanya benar. Ia mempelajari tafsir sangkan paraning dumadi yang berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dan penciptaan manusia dan alam semesta. Kesemuanya kembali kepada satu Zat Yang Esa. Tetapi ia tak bisa menerjemahkan kidung Lir i lir. Akibatnya latihannya mentok. Setiap ia coba bangkit, nadinya berubah kacau.

“Dalem Eyang Kyai. Hamba mohon petunjuk. Apapun syaratnya dan resikonya, aku manut!”

“Baiklah. Syaratnya engkau harus rela akan kehilangan semua yang kau punya saat ini. Jika engkau memang berjodoh, engkau akan dapat menembus batas kemampuanmu, jauh sekali dari pencapaianmu sekarang. Tetapi jika engkau tidak berjodoh, maka dirimu akan jadi orang biasa selamanya.”

Syarat yang disampaikan Eyang Kyai itu sangat berat untuk dilakoni Raden Kuning. Terlebih saat ini ia sedang bertugas sebagai telik sandi untuk meloloskan keluarga Keraton Djipang dari upaya pemusnahan keluarga Arya Penangsang. Ia tak punya waktu banyak. Tetapi kesempatan langka ini tak mungkin ia lewati begitu saja. Alih-alih mendapat informasi tentang rute pelarian ke Palembang, ia justru mendapat anugerah diberi petunjuk oleh salah satu manusia pilih tanding yang namanya dikenang hingga akhir zaman.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Where stories live. Discover now