Luka parah

877 43 2
                                    

Seketika keraton heboh. Berita menghilangnya Depati Santun segera menyebar. Semua kecurigaan mengarah kepada kesimpulan bahwa istana telah disusupi. Hingga malam meninggi, orang yang dicari belum terdengar kabar beritanya. Suma Banding segera menyebar telik sandi untuk melacak keberadaan Depati Santun. Terakhir ia terlihat menunaikan sholat magrib di lingkungan keraton. Setelah itu ia seperti menghilang ditelan bumi.

Ki Gede Ing Suro melanjutkan pertemuan terbatas dengan Raden Sabtu dan para depati. Selain membahas mengenai hilangnya Depati Santun, para depati menyampaikan agar raja Palembang itu menunda penetapan depati di wilayah Muara Sungsang dan sekitarnya. Keraton perlu menghimpun kesepakatan terlebih dahulu dengan beberapa kelompok mantan perompak yang pengaruhnya masih kuat di sana. Jika salah menunjuk orang untuk memimpin wilayah tersebut, dikhawatirkan akan menjadi titik lemah keraton Palembang. Mengingat bahaya sewaktu-waktu dapat mengancam, sebagai pintu masuk Sungai Musi wilayah tersebut harus dijadikan benteng pertama bagi keamanan kerajaan.

“Ya, aku pun telah memikirkan tentang itu. Seandainya Raden Kuning telah kembali dari Pulau Jawa, tentunya hal ini tidak akan menjadi pemikiranku. Ia sendiri telah mengikat keluarga dengan kelompok Li dan Mentrabang yang memiliki banyak pengikut di sana. Baiklah, untuk sementara kita utus saja perwakilan dari abdi keraton untuk menjabat sebagai depati sementara. Menurut pandanganku, wilayah itu tetap harus segera ditata agar pemerintahan dapat berjalan dan rakyat merasakan adanya kehadiran keraton Palembang di sana.” Ki Gede Ing Suro tidak sepakat untuk menunda pengisian jabatan depati. Tetapi ia setuju bahwa depati yang ditunjuk bertugas sementara hanya untuk menata pemerintahan sambil menunggu terpilih depati yang dikehendaki oleh rakyat di sana.

“Maaf beribu maaf, Yang Mulia. Menurut pandanganku lebih baik jika keraton mengundang terlebih dahulu para pimpinan di sana untuk kita adakan pisowanan agung. Dalam pertemuan itu, kita bahas tentang rencana pengisian depati. Memang pengisian jabatan depati di sana sudah sangat mendesak untuk segera ditetapkan. Jadi lebih baik jika kita tidak menunggu kembalinya Paman Raden Kuning.” Raden Sabtu menyampaikan pemikirannya.

“Mengundang seluruh pemimpin di Muara Sungsang tentulah suatu hal yang baik. Tetapi kita juga harus ingat bahwa mereka sebelumnya adalah kelompok-kelompok keras yang sangat sulit untuk diajak bicara. Aku khawatir jika mereka diundang dalam pisowanan agung, justru akan terjadi ketidaksepakatan dan hanya akan mengakibatkan perpecahan.”

“Ya, benar apa yang disampaikan oleh Yang Mulia, Raden. Kita tidak perlu menunda pengisian jabatan depati, tetapi cukup diisi oleh utusan keraton Palembang yang akan menjabat sementara di sana. Menurutku hanya Raden Kuninglah yang mampu menyatukan kekuatan-kekuatan lokal di Muara Sungsang. Jadi, pisowanan agung akan dilaksanakan setelah Raden Kuning pulang dari tugasnya di tanah Jawa,” Depati Huni kali ini yang sepakat dengan keputusan Ki Gede Ing Suro.

Setelah mendengar berbagai masukan terkait pengisian jabatan depati di Muara Sungsang. Ki Gede Ing Suro kemudian memerintahkan agar Suma Banding untuk menindaklanjutinya. Para depati yang sengaja berkunjung ke Palembang untuk menyampaikan persoalan tersebut akhirnya dapat bernafas lega. Awalnya mereka khawatir kebijakan keraton Palembang untuk pengisian depati di sana justru akan berakhir dengan terjadinya kekacauan akibat adanya ketidakpuasan.

Udara dingin malam itu seperti mencucuk tulang. Raden Sabtu yang mengadakan rapat di regol yang tak berdinding itu terlihat mengerenyutkan dahinya menahan datangnya kantuk dan rasa dingin. Semilir angin malam beserta beberapa ekor kelewar yang terbang ke sana-sini mencari sumber makanan, menambah riuh malam itu. Tetiba seorang telik sandi meminta izin untuk melaporkan.

“Ampun seribu ampun Yang Mulia. Depati Santun telah ditemukan,” jelas telik sandi.

“Oh ya, dimanakah ia berada. Mengapa tak langsung kau bawa kesini,” tanya Ki Gede Ing Suro heran.

“Ampun Yang Mulia. Saat ditemukan, kondisinya kritis. Sepertinya ia terkena racun sehingga hingga sekarang tidak sadarkan diri. Sekarang ia masih mendapat pertolongan tabib istana.”

“Aih. Siapa yang berani meracuni tamuku. Ayo, kita lihat keadaannya sekarang!”

Tanpa banyak bicara lagi, Ki Gede Ing Suro membubarkan rapat. Sang telik sandi bergegas melangkahkan kaki menuju rumah tabib istana di mana Depati Santun kini berjuang melawan maut. Seluruh peserta rapat terbatas itu mengikuti langkahnya dari belakang.

Meskipun disinari cahaya lampu temaram. Suma Banding dapat melihat jika wajah Depati Santun sepucat kapas. Bibirnya membiru tanda ia mengalami luka di bagian dalam. Tabib istana terlihat menusukkan jarum di beberapa titik vital di tubuhnya. Dalam keadaan tak sadarkan diri, pria paruh baya itu merespon akunpuntur sang tabib dengan meringiskan wajahnya.

“Bagaimana keadaannya, tabb. Adakah nyawanya bisa tertolong?” Raden Sabtu akhirnya tak mampu menahan tanya.

“Hmmm…., kondisinya sangat parah, Raden. Aku sendiri telah memberi pertolongan dengan mendeteksi penyebaran racun di tuuhnya. Tetapi, seperti yang terlihat ia hingga saat ini tak menunjukkan respon yang baik. Aku pastinya akan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk keselamatan jiwa Depati Santun,” jelas sang tabib.

“Lalu jika ia masih tak sadarkan diri seperti sekarang, apakah tusuk obat akupuntur dapat mengobati berbagai penyakit. Jika, hingga malam nanti ia tidak juga siuman, apa yang harus kita lakukan?” Ki Gede Suro kali ini yang bertanya.

“Jika hingga malam ia tak juga merespon pengobatan yang hamba lakukan, maka rujuklah pasien ini dengan tabib penyembuh lainnya!”

Mendengar pernyataan sang tabib terlihat Ki Gede Ing Suro manggut-manggut. Ia sepertinya sepakat untuk memberi tambahan waktu bagi upaya tabib untuk mengeluarkan racun dalam tubuh Depati Santun. Tetiba terdengar suara riuh yang berasal dari suara prajurit jaga. Mereka yang sebelumnya berada di dalam sontak terkejut dan bergegas menuju asal suara rebut. Di halaman rumah tabib istana yang berada di komplek abdi dalem lingkungan keraton itu prajurit menangkap seorang pria paruh baya yang berprilaku seperti orang gila.

“Seto Kalyan. Ia kepala juru masak istana!” Suma Banding berteriak kaget.

“Mengapa ia bisa dalam kondisi seperti ini?” tanya Ki Gede Ing Suro heran.

“Kami menemukannya tergeletak pingsan di gudang penyimpanan bahan makanan. Beberapa prajurit yang mengenali berupaya membangunkannya. Karena tak kunjung siuman, prajurit membawanya ke sini untuk diobati. Namun di tengah perjalanan, ia siuman dan mengamuk seperti orang gila. Sejumlah prajurit yang membawanya bahkan terluka akibat amukannya, Yang Mulia,” jelas salah seorang prajurit.

“Segera bawa ia ke dalam. Biarkan Masrento Akib, tabib istana yang mengobatinya!” perintah Suma Banding. Ia kemudian menghampiri Seto Kalyan dan menotok pundaknya. Seketika kepala juru masak istana itu lemas. Dua orang prajurit segera memeluk tubuhnya sebelum terjatuh ke tanah. Ia segera dibawa masuk ke dalam rumah tabib.

“Hehehehe….. Mengapa ada keramaian di keraton ini aku tak diundang?” Terdengar suara seorang nenek cekikikan. Semua yang hadir segera terkejut dengan kehadirannya. Prajurit jaga segera membentuk blokade membentengi junjungan mereka Ki Gede Ing Suro.

(Bersambung)

Vote like and comment ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Kde žijí příběhy. Začni objevovat